SUMBANGAN POSITIVISME TERHADAP PASTORAL ORANG MUDA

             Generasi muda adalah orang-orang yang memiliki potensi dalam berkarya, baik di masyarakat maupun Gereja. Generasi muda menjadi harapan bangsa dan Gereja untuk membangun dunia yang lebih baik. Di dalam diri generasi muda terdapat tanggungjawab untuk membentuk kehidupan yang harmonis. Generasi muda perlu diajak dan dilibatkan dalam setiap karya pelayanan baik di tengah masyarakat maupun di tengah Gereja. Keterlibatan generasi muda dapat dibangun dengan memotivasi mereka terus-menerus untuk berkarya. Adanya suatu motivasi yang baik membuat generasi muda semakin bersemangat untuk menunjukkan potensi mereka. Paus Fransiskus mengatakan: “Orang muda adalah masa kini Gereja, mereka memperkaya kita dengan ketelibatan mereka. Orang muda bukan lagi anak-anak, mereka sedang dalam masa hidup di  mana mereka mulai memikul tanggung jawab yang berbeda, dengan berpartisipasi bersama orang dewasa lain dalam pengembangan keluarga, masyarakat dan Gereja” (Paus Fransiskus, 2019).

            Generasi muda zaman sekarang memiliki berbagai tantangan yang sangat kompleks. Pencarian terhadap jati diri membuat generasi muda cenderung memilih hal-hal yang menyenangkan pribadi dibandingkan hal-hal yang berguna bagi kehidupan bersama. Generasi muda lebih memilih terlibat dalam kelompok teman sepergaulan daripada dalam kelompok yang besar, seperti masyarakat dan Gereja. Generasi muda lebih menyukai kegiatan yang bersifat profan dibandingkan kegiatan yang bersifat religius, misalnya orang muda katolik lebih memilih bermain game online dibandingkan mengikuti ibadat orang muda katolik. Di samping itu, kurangnya dukungan terhadap orang muda membuat mereka enggan terlibat aktif di Gereja maupun masyarakat. Seringkali orang muda dicari hanya untuk melaksanakan pekerjaan tertentu seperti petugas parkir Gereja atau seksi perlengkapan dalam kegiatan tertentu. Dalam keadaan seperti ini, orang muda perlu didorong untuk memiliki sikap positif terhadap setiap realitas yang dialami, sehingga pada saat mereka jatuh dalam tantangan zaman mereka dapat bangkit dengan lebih optimis menghadapi kehidupan. Salah satu pemikiran yang menarik dalam menjawab fenomena sosial orang muda ialah Positivisme yang dikemukakan oleh Auguste Comte.

            Isidore Marie Auguste Francois Comte atau yang lebih dikenal dengan nama Auguste Comte lahir pada tahun 1798 di Monpellier Selatan.  Keluarganya tergolong keluarga kelas menengah dan menganut agama katolik yang saleh. Ia mengenyam pendidikan di sekolah Politeknik Paris pada tahun 1814 sampai 1817.  Setelah menyelesaikan pendidikan dia diangkat menjadi sekretaris Saint Simon (seorang ilmuwan sosial dan ahli filsafat protososialis), tetapi ia kemudian memisahkan diri pada tahun 1824 karena ia khawatir bahwa sang mentor ‘mencuri’ beberapa pemikiran yang dikemukakannya tanpa mencantumkan namanya.  Ia menerbitkan buku Sistem Politik Positif pada tahun 1924. Setelah itu, Ia masih menghasilkan beberapa karya lain (The Positive Philosophy, A General View of Positivism dan sebagainya). Pada tahun 1858 ia meninggal (Pickering, 2009).

Auguste Comte  adalah filsuf dan ilmuwan sosial terkemuka yang sangat berjasa dalam perkembangan ilmu kemasyarakatan atau sosiologi. Comte dapat dikatakan sebagai perintis Positivisme Perancis (J.D.Y. Peel, 2000). Positivisme  merupakan suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu-ilmu alam (empiris) sebagai sumber pengetahuan yang benar dan menolak nilai kognitif dari studi filosofis. Positivisme tampil sebagai jawaban ketidakmampuan filsafat spekulatif untuk memecahkan masalah filosofis yang muncul sebagai suatu akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan (Ted Benton dan Ian Craib, 2008). Istilah Positivisme menjadi popular di tangan Comte.

Positivisme berasal dari kata positif. Dalam karyanya  comte memakai istilah filsafat positif (Cours de Philosophie Positive). Filsafat merupakan sistem umum tentang konsep-konsep mengenai manusia, sedangkan positif merupakan teori yang bertujuan menyusun fakta-fakta yang teramati. Menurut Comte ilmu pengetahuan tidak bisa melampaui faktra, sehingga positivisme menolah metafisika. Dalam karyanya Discour sur lesprit positif, Comte menerangkan mengenai istilah positif. Pertama, positif itu merupakan  hal yang nyata. Hal ini mengandaikan bahwa objek filsafat positivism itu ialah hal-hal yang nyata dan dapat dijangkau akal. Positif mengarah pada hal-hal yang bermanfaat, maka tujuan dari filsafat positivisme ialah menghasilkan hal-hal yang mendukung kemajuan. Positif itu bersifat menyakinkan, maka segala keraguan itu dihilangkan. Positif menunjukkan hal yang jelas atau tepat, maka setiap pemikiran itu harus jelas dan tepat. Positif selalu mengarah pada penataan dan penertiban pola pikir (Wibisono Koento, 1983).

Comte melihat bahwa masyarakat merupakan suatu keseluruhan organis yang terdiri atas bagian-bagian yang saling berhubungan (Nanang Martono, 2016). Sebagai suatu  bagian yang saling berhubungan, penelitian tentang masyarakat membutuhkan metode empiris. Comte memaparkan tiga metode penelitian empiris yaitu: pengamatan, eksperimen dan perbandingan. Dalam proses pengamatan, peneliti dituntut melihat dan mencatat semua fakta dalam masyarakat. Untuk mendapatkan fakta itu dapat dilakukan dengan terlibat secara langsung maupun tidak langsung. Fakta yang sudah didapatkan dipakai sebagai bahan pembanding satu sama lain.

Metode empiris dipakai oleh Comte untuk membangun gagasannya tentang perkembangan masyarakat yang bersifat revolusioner. Masyarakat berkembang melalui hukum tiga tahap yaitu: tahap teologis, tahap metafisika, tahap positivistik. Pertama, tahap teologis merupakan tahap yang paling lama dalam sejarah manusia. Tahap teologis ditandai dengan kepercayaan manusia bahwa semua fenomena diciptakan zat adikodrati. Periode ini dapat dibagi menjadi tiga yaitu fetisisme (paham bahwa segala sesuatu memiliki kehidupan sendiri yang berbeda dari kehidupan manusia), politheisme (paham bahwa segala sesuatu itu atur oleh kekuatan-kekuatan yang ada di sekeliling manusia) dan monotheisme (segala benda dan fenomena yang terjadi berasal dari satu kekuata mutlak yaitu Tuhan yang Maha Esa). Kedua, tahap metafisika merupakan tahap yang ditandai dengan kepercayaan akan hukum-hukum alam melalui akal budi. Manusia menganggap bahwa pikiran bukanlah ciptaan zat adikodrati. Pikiran dikatakan sebagai ‘kekuatan abstrak’ yang melakat pada manusia, sehingga manusia mampu menciptakan semua fenomena. Manusia mulai meninggalkan dogma-dogma karena keyakinan terhadap kemampuan akal budi sebagai sumber kebenaran. Ketiga, tahap positivistik merupakan tahap yang ditandai dengan kepercayaan pada data empiris sebagai sumber pengetahuan. Sifat pengetahuan itu sementara dan tidak mutlak.

            Setiap peristiwa memiliki sebab akibat. Berbagai fenomena di tengah masyarakat tentu memiliki penyebab dan akibat. Filsafat positivisme yang dikemukakan Auguste Comte memberi cara pandang yang baru mengenai fenomena  yang membawa perubahan dalam kehidupan sosial masyarakat. Hal yang baik dari pemikiran Auguste Comte ialah bahwa segala fenomena kehidupan dapat dijelaskan secara positif, sehingga membawa perubahan yang memajukan masyarakat. Cara pandang Comte memberi arah yang jelas pada setiap orang dalam menjelaskan fenomena berdasarkan fakta yang konkret. Dengan demikian, kehidupan sosial masyarakat dapat senantiasa berkembang dari waktu ke waktu.

            Melalui positivisme setiap orang dapat menjelaskan realitas kehidupan secara konkret dan valid. Dengan semangat optimis setiap orang didorong untuk bertindak aktif dan kreatif menghadapi masa depan. Di dalam positivisme aspek rasionalitas-ilmiah ditekankan sehingga hal-hal yang dikaji sangat konkret. Kendati demikian, positivisme juga memiliki hal yang perlu diperhatikan yaitu objek kajian yang real membuat iman orang terhadap Tuhan menjadi kabur karena objeknya tidak tampak. Positivisme menitikberatkan kajiannya pada hal-hal empiris berdasarkan panca indera manusia yang bersifat terbatas. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa positivisme sangat baik ketika seseorang berusaha mengkaji fenomena yang bersifat empiris, akan tetapi ketika hal itu berkaitan dengan iman, positivisme dapat membuat orang kehilangan rasa percaya terhadap apa yang diimani.

            Kehidupan orang muda dengan berbagai tantangan yang dihadapi merupakan sebuah fenomena sosial. Pencarian terhadap jati diri membuat mereka cenderung menyukai yang real atau konkret dibandingkan dengan sesuatu yang bersifat abstrak. Teori Perkembangan Psikosial Erik Erikson, menempatkan orang muda ke dalam tahap perkembangan manusia remaja dan dewasa muda, yang ditandai dengan pencarian identitas diri dan pergulatan membangun intimasi. James E. Marcia, seorang psikolog klinis dan perkembangan, secara khusus mengungkap lebih detail mengenai dinamika perkembangan seseorang yang sedang berproses mencari identitas diri. Marcia menungkapkan bahwa perkembangan ego ditandai dengan ada atau tidaknya krisis (eksplorasi) dan komitmen. Dalam proses mencapai identitas diri ada empat jenis identitas seseorang yaitu identity confusion (ciri: mengalami kebingungan, belum mampu mencari dan menentukan pilihan), identity moratorium (ciri: cukup mampu melakukan eksplorasi dalam banyak alternatif pilihan tapi belum mampu membuat komitmen), identity forecluosure (ciri: individu mampu membuat komitmen tetapi tanpa proses eksplorasi), dan identity achievement (ciri: individu mampu membuat komitmen setelah mempertimbangkan berbagai alternatif  pilihan yang ditemukan selama proses eksplorasi). Dari identitis diri yang keempatlah orang muda dapat didorong untu terus bertumbuh dan berkembang (Komisi Kepemudaan Konferensi Waligereja Indonesia, 2020).

            Dalam menghadapi kehidupan orang muda yang sedang mencari identitas diri, positivisme memberi suatu cara untuk menyelesaikan berbagai fenomena sosial yang mengkungkung generasi muda. Positivisme menjelaskan berbagai fenomena secara empiris sehingga mudah dicerna oleh generasi muda. Melalui metode penelitian empiris (pengamatan, melakukan eksperimen dan perbandingan), pastoral kaum muda akan dapat dengan mudah menyentuh kehidupan orang muda secara lebih dekat. Positivisme sangat terbuka terhadap ilmu-ilmu empris yang mengkaji fenomena sosial. Maka, penelitian mengenai orang muda secara empiris dapat dilakukan dengan memahami kondisi aktual mereka berada, khususnya dalam pencarian identitas diri.

            Pastoral orang muda dapat digambarkan sebagai suatu proses bercocok tanam di lahan pertanian. Proses ini dipersiapkan dengan mengolah tanah (tanah dicangkul, mencabut rumput liar dan batu disingkirkan). Bila tanah telah diolah, benih-benih dapat disebar dengan lembut. Setiap hari benih itu disirami dan dilindungi dari serangga dan binatang. Kemudian kuncup daun diharapkan mekar secara perlahan. Kuncup ini akan bertumbuh menjadi batang dan carang yang besar dan pada akhirnya menghasilkan buah (Komisi Kepemudaan Konferensi Waligereja Indonesia, 2019). Sebagaimana gambaran tersebut, demikian pun juga dengan proses mengamati, melakukan eskperimen dan perbandingan dalam positivisme. Untuk melaksanakan karya di tengah orang muda pertama-tama pelayan pastoral perlu mengamati kehidupan mereka lebih dekat, sehingga sungguh mengenal kehidupan orang muda. Setelah mengenal orang muda, seorang pelayan pastoral melakukan eskperimen yang membuat orang muda sungguh terlibat. Eksperimen itu dapat berupa kegiatan ataupun pemberian materi-materi yang berkaitan dengan kehidupan orang muda. Setiap eksperimen yang telah dilakukan kemudian dibandingkan satu sama lain dengan melakukan evaluasi secara bertahap. Melalui proses seperti ini, orang muda diharapkan tumbuh secara positif dalam kehidupan mereka sesuai dengan realitas yang mereka hadapi.

            Orang muda adalah generasi yang kreatif dan produktif. Mereka mampu menemukan berbagai cara dan ide kreatif dalam melaksanakan setiap tanggungjawab yang diberikan kepada mereka. Kepada mereka perlu diberikan kepercayaan, sehingga orang muda memiliki kepercayaan diri dalam mengembangkan diri mereka. Pemberian kepercayaan pada orang muda merupakan suatu bentuk dukungan yang positif. Dukungan yang bersifat positif pada dasarnya akan membuat orang muda mampu menentukan dan memilih hal-hal positif dalam kehidupan mereka. Dengan demikian mereka sungguh dapat memberi manfaat atau kontribusi secara optimal dalam kehidupan ini.

            Positivisme sungguh membuka ruang bagi pastoral orang muda. Setiap pelayan pastoral yang berkarya di tengah orang muda dapat memahami dan mendengarkan orang muda sesuai realitas mereka melalui positivisme. Orang muda diajak untuk mengenal kehidupan mereka dengan fakta-fakta yang bersifat empiris sehingga akal budi mereka berkembang dalam pemilihan keputusan sebelum memutuskan sesuatu atau memikirkan sesuatu. Adanya suatu dorongan dari para pelayan pastoral bagi orang muda katolik dapat membuka pemikiran mereka untuk bertindak dan bersikap secara dewasa sebagaimana seharusnya.

            Salah satu tantangan yang menghadap perkembangan orang muda yaitu keraguan terhadap diri sendiri. Berbagai pemilihan keputusan yang salah membuat mereka melihat kesalahan sebagai suatu hal biasa dan bisa dimaklumi. Keadaan ini membuat orang muda hidup dalam arah yang tidak jelas dalam mencari jati diri mereka. Positivisme membantu orang muda untuk memiliki sikap optimis. Orang muda berusaha  menyelesaikan berbagai persoalan mereka dengan alasan-alasan yang masuk akal. Positivisme mendorong orang muda untuk benar-benar yakin dan menghilangkan segala keraguan yang dapat menghambat mereka untuk terus bertumbuh dan berkembang. Di samping itu, orang muda pun dapat mengungkapkan gagasan yang jelas sesuai dengan pola pikir mereka.

            Kehidupan orang muda yang bahagia dan penuh harapan merupakan kebahagiaan bagi Gereja juga. Kehadiran orang muda di tengah Gereja perlu diberdayakan. Orang muda tidak hanya cukup didukung  dengan dana dalam berbagai kegiatan tetapi juga perlu diajak untuk mengambil peran-peran strategis dalam Gereja seperti pengurus tim kerja tertentu dan sebagainya (Yohanes Kopong Tuan, 2021). Minimnya keterlibatan orang muda dalam kehidupan Gereja dapat terjadi karena mereka merasa tidak didengarkan dan dilibatkan secara konkret. Di samping itu, mereka pun kurang memahami alasan mengapa mereka perlu terlibat dalam kehidupan Gereja. Dalam keadan ini yang perlu dilakukan oleh Gereja ialah mendengarkan orang muda. Mendengarkan memungkinkan pertukaran karunia empati. Gereja dengan rendah hati mendengarkan berbagai suara orang muda berkaitan dengan realitas hidup mereka dan tantangan-tantangan yang dihadapi (Paus Fransiskus, 2019). Mendengarkan adalah perjumpaan dalam kebebasan yang menuntuk kerendahan hati, kesabaran, kesiapsediaan untuk memahami, komitmen untuk memberikan tanggapan secara baru. Sikap mendengarkan mengubah hati orang muda didengar. Orang muda dipanggil untuk terus membuat pilhan-pilihan yang mengarahkan hidup mereka, mengungkapkan keinginan mereka untuk didengar, diakui dan didampingi. Banyak dari mereka mengalami bagaimana suara mereka tidak dianggap menarik dan bermanfaat dalam lingkungan sosial maupun gerejawi (Konferensi Waligereja Indonesia, 2018). Sikap mendengarkan Gereja bagaimanapun masih sampai pada taraf pengamatan, tetapi memiliki peran yang besar bagi karya pastoral.

            Orang muda perlu didorong untuk terus bertumbuh dan terlibat aktif dalam Gereja. Paradigma bahwa orang muda kurang memiliki pengalaman perlu diubah, sehingga mereka tidak dipandang sebagai pemain ‘cadangan’ dalam Gereja. Orang muda sesungguhnya adalah pemain ‘utama’ yang harus didorong untuk berpartsipasi aktif dalam pembangunan Gereja. Dari diri orang muda tumbuh kreatifitas yang membuat Gereja dimudahkan dalam karya pewartaan. Orang muda perlu dimotivasi untuk menemukan spiritualitas mereka dengan berbagai bentuk pembinaan seperti rekoleksi, retret, doa bersama, kaderisasi, latihan kepemimpinan dan sebagai. Dalam pembinaan yang dilakukan perlu juga dibekali dengan ilmu-ilmu empiris yang menekankan pentingnya keberadaan orang muda di tengah masyarakat maupun Gereja. Dengan berbagai kegiatan tersebut, orang muda diharapakan menemukan rasa bangga mereka sebagai orang muda yang membuat mereka bersikap loyal dalam karya pelayanan, baik di Gereja maupun di masyarakat.

            Pada akhirnya, positivisme sangat berguna bagi pastoral orang muda. Model pendekatan yang ditawarkan oleh positivisme dapat membantu para pelayan pastoral untuk menyentuh realitas terdalam kehidupan orang muda dan mengetahui secara pasti berbagai sumber masalah yang sedang dihadapi orang muda. Positivisme membantu orang muda memikirkan realitas secara lebih sistematis dan konkret. Bila orang muda sudah memiliki pemikiran yang terstruktur tentu mereka mampu keluar dari setiap persoalan yang dihadapi. Kendati begitu orang muda pun perlu dibimbing agar tidak menganut positivisme sebagai satu-satu paham yang perlu dikembangkan dalam diri mereka karena hal itu dapat membuat mereka mempertanyakan iman yang dianut dan bersikap masa bodoh karena objek kasian iman dinilai tidak empiris. Iman orang muda tetap menjadi prioritas utama dalam berpastoral tetapi prosesnya dapat menggunakan pendekatan empiris yang dilakukan dalam positivisme. Orang muda yang mampu berpikir dengan baik tentu akan mengambil tindakan yang positif. Dengan demikian, mereka terus bertumbuh dalam komunitas masyarakat dan Gereja.                

           

 


Daftar Pustaka

J.D.Y. Peel. (2000). Auguster Comte. In Ilmu-Ilmu Sosial. PT Raja Grafindo Persada.

Komisi Kepemudaan Konferensi Waligereja Indonesia. (2019). Sahabat Sepeziarahan. Obor.

Komisi Kepemudaan Konferensi Waligereja Indonesia. (2020). Orang Muda, Dunia, Dirinya dan Gereja. Komkep KWI.

Konferensi Waligereja Indonesia. (2018). Orang Muda, Iman dan Penegasan Panggilan. Dokpen Konferensi Waligereja Indonesia.

Nanang Martono. (2016). Sosiologi Perubahan Sosial. Rajawali Press.

Paus Fransiskus. (2019). Christus Vivit. Dokpen Konferensi Waligereja Indonesia.

Pickering, M. (2009). Auguste Comte: An Intellectual Biography. Cambridge Univerty Press. https://doi.org/10.1017/CBO9780511596551

Ted Benton dan Ian Craib. (2008). Filsafat Ilmu Sosial. Ledalero.

Wibisono Koento. (1983). Arti Perkembangan Menurut Filsafat Postivisme Auguste Comte. Gajah Mada University Press.

Yohanes Kopong Tuan. (2021). OMK Misionaris Perdamaian. Kanisius.

 

Komentar

Postingan Populer