MGR. ALBERTUS SOEGIJAPRANATA, SJ


MGR. ALBERTUS SOEGIJAPRANATA, SJ
Oleh Ayus Ratrigis
A.    Sekilas kepribadian Mgr. Soegijapranata
Mgr. SoegijaPranata dikenal sebagai orang yang memiliki kepribadian yang teguh, seorang yang berprinsip, selalu yakin dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambilnya. Dalam menghadapi berbagai masalah ia bersikap realistis, pragmatis dan optimis[1]. Salah satu contoh bahwa ia yakin pada keputusannya ialah meminta dirinya dibaptis tanpa meminta persetujuan orang tuanya terlebih dahulu. Keputusan ini ternyata mendapat dukungan sepenuhnya setelah ia memberitahukan hal ini pada orang tuanya. Selain itu, Mgr. Soegijaparanata juga memiliki karakter tahan bantingan, tabah, tekun dan ulet. Kepribadian ini membuat ia mampu membangun relasi yang akrab dengan umat, sehingga apa saja yang dikatakannya mendapat tanggapan dari umat yang dilayaninya.
Dalam menjalani kepemimpinan sebagai seorang uskup atau gembala, Mgr. Soegijapranata memiliki jiwa sosial yang sejati. Hal ini dapat dilihat dalam kesetiaannya mendampingi umat yang berada dalam penderitaan. Salah satu peristiwa yang menunjukkan bahwa ia memiliki jiwa sosial yang tinggi ialah dengan berpindah dari Semarang ke Yogyakarta. Perpindahan ini sebagai wujud dukungan beliau terhadap nusa dan bangsa. Perpindahan ini bukan hanya merupakan perpindahan spasial tempat semata, melainkan mengandung unsur politis. Dengan perpindahan ini ia ingin memnunjukkan bahwa Gereja Katolik Indonesia berpihak pada kebijakan pemerintah bukan penjajah Belanda.
Pelayanan beliau di tengah masyarakat memiliki makna tersendiri. Ia sungguh mengabdi kepada masyarakat yang dipimpinnya. Ia senantiasa mengedepankan kepetingan masyarakat yang ada di sekitarnya, baik itu umat Katolik maupun non-Katolik. Menurut beliau, masyarakat adalah satu kesatuan tidak ada pembagian ke dalam kelompok-kelompok ada pengelompokkan.
Motto “In Nomine Iesu” menjadi sumber semangatnya dalam melakukan pelayanan[2]. Dari motto ini beliau membangun  spiritualitas dalam mengarahakan kehidupan Gereja. Ia menjadikan Yesus sebagai inspirasi dalam menentukan tindakan dan keputusan yang hendak di tempuhnya. Semangat ini terus-menerus dihidupi dari waktu ke waktu sampai ajal datang menjemputnya.





B.     Pembahasan Pemikiran Mgr. Soegijapranata

1.      Unsur-unsur pokok perjuangan
Dalam mengambil peran dalam kemerdekaan bangsa Indonesia, Mgr. Soegijaprana menggunakan berbagai unsur dalam perjuangannya. Unsur-unsur yang nampak dalam perjuangannya ialah unsur kultural, sosial, politis dan Kristiani. Unsur-unsur ini tampak dalam tindakan sebagai berikut:

a.       Membangun kehidupan Gereja dan iman Katolik dalam budaya lokal (Jawa)
Mgr. Soegijapranata selalu mencari jalan untuk membangun Gereja dengan budaya lokal. Hal ini terinspirasi dari seniornya yaitu Van Lith. Ia mengadopsi budaya Jawa yang bersifat aristokratis sebagai upaya membangun hidup menggereja. “Gereja menyetujui perpaduan antara ajaran Katolik yang mendamaikan dan budaya Jawa yang aristokratis”[3]. Persetujuan Gereja ini turut membawa dampak positif di dalam kehidupan Gereja selanjutnya.
Gereja Katolik itu bersifat supra-nasional tetapi umat harus tetap dengan ke-Jawa-annya, ke-Batak-annya, ke-Cina-annya, ke-Dayak-annya dan sebagainya[4]. Umat harus mengungkapkan dan mewujudkan imannya sesuai dengan kebudayaan masing-masing. Dengan menggunakan kebudayaan sendiri maka umat akan lebih mudah membangun hidup sebagai orang beriman Katolik sejati. Tidak akan ada lagi rasa asing di dalam diri dalam membangun iman Katolik. Yang ada ialah semangat yang sungguh menyatu dengan diri umat masing-masing.
Perjuangan Mgr. Soegijapranata untuk mengangkat budaya lokal sebagai dasar membangun iman, bertujuan untuk menghilangkan pandangan bahwa agama Katolik merupakan agama para penjajah. Umat tidak akan bisa beriman dengan baik tanpa menggunakan buadaya sendiri karena di dalam budaya terdapat jati diri setiap orang.Salah satu upaya Mgr. Soegijapranata dalam memudahkan  umat menghayati iman Katolik  ialah dengan mempribumikan pelayan Gereja. Dengan kehadiran orang pribumi sebagai pelayan Gereja diharapkan umat dapat membangun iman yang lebih baik karena ada ikatan emosional secara kultural.

b.      Menyuarakan suara rakyat dengan menulis berbagai artikel
Dalam berjuang bagi masyarakat Mgr. Soegijapranata menjadikan tulisan sebagai salah satu media untuk mengetuk hati setiap orang. Pada Mei 1949, artikel beliau di muat di salah satu majalah yaitu De Linie ( majalah Jesiut). Dalam artikel tersebut beliau memaparkan tentang pelecehan Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh penjajah Belanda pada saat menduduki kota Yogyakarta. Hal ini mendapat tekanan dari sesama anggota kongregasi. Menurut Willkenes kritik tersebut tidak sepenuhnya benar dan dianggap sebagai bentuk penghinaan terhadap pemerintah Belanda. Oleh karena itu, ia berusaha menulis artikel anonim untuk menyeimbangi kritik Mgr. Soegijapranata.
Tujuan utama Mgr. Soegijapranata menulis artikel di media Belanda dan Amerika ialah untuk memperoleh pengakuan Internasional akan kemerdekaan Indonesia[5]. Hal ini menggambarkan bagaimana beliau sungguh mengabdi kepada Gereja dan negara. Ia peka terhadap situasi bangsa ini. Dengan menulis artikel ini ia mengambil peran dalam memperjuangkan negara ini di mata dunia. Tindakan ini secara sepintas sederhana, tetapi memiliki pengaruh yang sangat besar dalam sejarah bangsa Indonesia.

c.       Memperjuangkan martabat manusia dengan solider pada mereka yang menderita dan miskin
Martabat manusia mendapat tempat tersendiri di mata Mgr. Soegijapranata. Beliau sangat menjunjung tinggi nilai perikemanusiaan. Menurutnya perjuangan kemerdekaan adalah perjuangan kemanusiaan. Dengan menjadi bangsa yang merdeka dan mandiri berarti menciptakan sarana membangun kemanusiaan. Oleh karena itu, mencintai tanah air berarti mencintai kemanusiaan.
Bagi Mgr. Soegijapranata kesejahteraan rakyat terutama yang miskin dan menderita menjadi “undang-undang” yang paling tinggi. Kemakmuran rakyat berarti pembebasan dari segala bentuk penderitaan merupakan keprihatinannya[6].  Dalam hal ini beliau  menentang segala macam tindakan yang merendahkan martabat manusia. Tindakan-tindakan yang dimaksudkan ialah tindakan para penjajah. Mereka dengan mudahnya menindas orang miskin dan membuat orang menderita. Dengan melakukan hal ini berarti para penjajah telah melewati batas kemanusiaan. Apa yang mereka lakukan tidak lagi mencerminkan penghargaan terhadap sesama manusia.
Berbicara mengenai kemanusiaan, ada kata-kata menarik yang terdapat dalam film Soegija: “kemanusiaan itu satu, kendati berbeda bangsa, asal-usul dan ragamnya, berlainan bahasa dan adat istiadatnya, kemajuan dan cara hidupnya, semuanya merupakan satu keluarga besar”. Kata-kata ini memuat unsur reflektif yang mendalam. Melalui kata-kata ini, kita dapat melihat bahwa betapa Mgr. Soegijapranata menjunjung nilai kemanusiaan itu.

d.      Mendukung organisasi Katolik dalam bekerja bagi negara
Mgr. Soegijapranta sungguh mendukung  partai Katolik dalam menegakkan kemerdekaan. Partai Katolik Republik Indonesia (PKRI) merupakan partai yang mendapat dukungannya. Melalui partai ini, ia mendukung orang-orang Katolik yang akan terlibat di dalam pemerintahan. Kehadiran orang Katolik di dalam penerintahan diharapkan mampu memberikan usaha yang baik dalam mencapai kesejahteraan bersama.
Dalam membangun hidup berpolitik yang baik, Mgr Soegijapranata mengemukakan bahwa para politisi harus memperhatikan prinsip-prinsip moral dan menerapkan dalam berpolitik. Ia mendesak pada politisi untuk menyadari dasar etis tindakan yang mereka lakukan. Orang yang berpolitik dengan baik akan memihak pada mereka yang lemah dan miskin.
Mgr. Soegijapranata pernah menulis sebuah surat yang mengungkapkan latar belakang ia mendukung segala macam usaha memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. “bergabung dalam pergerakan nasional dengan menggunakan suatu asas Katolik akan menarik simpati orang lain pada iman kita... terlebih usaha tersebut merupakan jawaban yang paling baik untuk menangkal tuduhan para musuh yang setiap kali mengatakan bahwa orang Katolik pribumi adalah kaki tangan dari penguasa kolonial, dan murid-murid dari kaum imperialis dan kolonialis[7]. Dalam kutipan surat ini kita dapat menemukan bahwa Mgr. Soegijapranata sangat terdorong untuk terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia melalui Gereja. Ia ingin menegaskan bahwa Gereja bukanlah institusi yang merupakan bagian dari penjajah melainkan lebih pada institusi yang ingin memperjuangkan kesejahteraan universal tanpa membeda-bedakan orang.“Keterlibatan politik Katolik secara institusional adalah dalam dan secara fundamental diorientasikan untuk menjaga status quo[8].


2.      Sumbangan Mgr. Soegijapranata dalam hubungan antara identitas Kristiani dan identitas sebagai orang Indonesia
Dalam melihat sumbangan yang dikemukakan oleh Mgr. Soegijapranata, kita dapat memulainya dari semboyan beliau yang sangat terkenal “100% Katolik dan 100% Indonesia”. Semboyan ini membuktikan bahwa nasionalisme dan kekatolikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan di dalam kehidupan. Antara Gereja dan Bangsa terbentuk suatu ikatan untuk saling melengkapi. Kekatolikan bukan penghambat nasionalisme, melainkan melengkapi nasionalisme itu.
Mgr. Soegijapranata berpendapat bahwa nasionalisme itu bukan melulu suatu kesadaran berbangsa, bukan pula ideologi yang menanamkan semangat cinta tanah air belaka[9]. Nasionalisme itu muncul dari suatu kesadaran yang mampu mendorong setiap orang mengambil suatu tindakan. Tindakan yang dilakukan tentu harus menggambarkan usaha yang konkret dalam memperjuangan kesejateraan bersama. Untuk lebih jauh mendalami nasionalisme itu, kita dapat melihatnya dari sumbangan pemikiran beliau, baik dari Gereja kepada negara dan negara kepada Gereja.


a.       Pandangan tokoh tentang sumbangan komunitas Kristiani bagi negara
Nasionalitas umat Katolik harus terwujud dengan mengambil peran aktif di dalam menentukan langkah dan masa depan Bangsa Indonesia. Keaktifan itu dapat dilihat dengan bagaimana umat Katolik menghidupi nilai Kristiani di tengah kehidupan masyarakat, baik itu secara langsung maupun tidak langsung.
Mgr. Soegijapranata menghendaki supaya umat Katolik tidak hanya berhenti dengan doa dan ibadat melainkan semangat imannya harus menjiwai kegiatan sosial sebagai ragi dunia[10]. Umat Katolik harus berusaha untuk terbuka pada setiap orang dengan motif cinta kasih. Dengan adanya cinta kasih, umat dapat membela kepentingan rakyat, memperjuangkan kesejahteraan, menaikkan tarat kemanusiaan dan membedung komunisme serta materialisme. Selain itu, umat Katolik juga dapat merawat orang sakit, orang cacat menampung dan memperhatikan anak-anak terlantar dan sebagainya. Dengan melakukan semua ini umat Katolik akan menampakkan iman akan Yesus Kristus yang sungguh konkret dalam tindakan. Umat perlu menjadikan Yesus Kristus sebagai pedoman dalam terlibat di masyarakat.
Gereja wajib memihak kepada yang miskin dan menderita. Menurut Mgr. Soegijapranata hal ini dapat dilakukan dengan berjiwa miskin, artinya mampu melepaskan diri dari kelekatan diri pada kekayaan, pangkat dan kedudukan. Untuk mampun menciptakan hal ini, keutamaan Kristiani dapat dipakai sebagai patron seperti kejujuran, ketulusan hati, kesederhanaan, tidak semena-mena, tetapi memiliki jiwa sosial sebagai pola dalam membangun kehidupan yang lebih baik dan mandiri. Contoh atau teladan tentang berjiwa jiwa sosial diperlihatkan oleh Mgr. Soegijapranata ketika penjajah Jepang. Pada saat itu umat mengalami penderitaan yang hebat dan ia hadir di tengah umat sebagai bentuk solidaritasnya terhadap umat yang dilayaninya. Ia selalu menanamkan di dalam dirinya untuk senantiasa hadir di tengah umat di kala umat mengalami penderitaan.
Dalam menghadirkan Gereja di tengah kehidupan bermasyarakat, Gereja harus mampu mengalahkan segala macam tantangan yang muncul, baik itu dari dalam maupun dari luar diri Gereja[11]. Tantangan dari dalam diri seperti egoisme, tertutup, tidak solider pada penderitaan sesama dan menutup mata terhadapat orang yang membutuhkan pertolongan. Tantangan dari luar Gereja yaitu berkebangnya ateisme praktis: sikap orang tidak mau mempedulikan Allah dan tidak mau menerima kehadiran Allah. Kedua tantangan dapat teratasi dengan baik apabila Gereja terus mengupayakan keterbukan, tidak bersifat individualis dan klerikalis, tetapi lebih mengarahkan diri pada solidaritas sosial yang universal. Mgr. Soegijapranata senantiasa mendorong  dan menganjurkan agar Gereja menghormati, mempelajari dan memanfaatkan kekayaan budaya setempat di dalam menghidupi imannya.

b.      Pandangan tokoh tentang pengaruh konteks Indonesia bagi orang Kristiani
Pengaruh konteks Indonesia bagi orang Kristiani dapat dilihat dari Pancasila. Di dalam Pancasila terdapat berbagai nilai luhur yang sejalan dengan ajaran Gereja. Adanya hubungan antara nilai di dalam Pancasila dan keutamaan Kristiani dapat menjadi benang merah yang mengikat upaya negara dan Gereja dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat.
Mgr. Soegijapranata senantiasa  berupaya membangun penghayatan Pancasila yang baik di tengah warga bangsa. Hal ini dilakukannya dengan mendukung Ikatan Buruh Pancasila, Ikatan petani Pancasila dan Ikatan Nelayan Pancasila. Dalam memberi dukungan, ada tiga hal yang ingin dicapai oleh Mgr. Soegijapranata. Pertama: menghadapi kekuatan yang dapat mengancam Pancasila yaitu komunis. Kedua: agar rakyat semakin menghayati Pacasila. Ketiga: organisasi yang ada dapat menjadi sarana perbaikan perekonomian.Dalam amanat hari buruh internasional 1Mei 1949 ia mengatakan: “kami sangat menginginkan, agar saudara-saudaraku kaum pegawai, pekerja dan buruh Katolik, petani pedagang, dan apapun kedudukannya  dalam masyarakat, merupakan suatu pelopor dan penggerak akan adanya suatu front sosial yang kokoh meliputi segala macam golongan dan lapisan, berdasarkan keadilan dan cinta kasih Katolik, berwadahkan Pancasila, berisi jiwa Katolik sejati, untuk membuktikan, bahwa kita ini benar-benar warga negara dan warga gereja yang aktif, dengan perbuatan-perbuatan yang nyata atas anjuran dan dorongan kami, sudah dimulai dan sedang berkembang di mana-mana gerakan-gerakan Pancasila, baik untuk buruh,tani, pedagang, dan lain-lain, tetapi masih banyak juga yang berpenyakit ragu-ragu, khawatir, kurang percaya, penuh kesangsian dan sebagainya[12]. Amanat ini memperlihatkan bahwa betapa pentingnya Pancasila dalam mengambil tindakan atau keputusan bagi bangsa dan negara, dimana anggota Gereja menjadi penggerak yang aktif di dalamnya.
Mgr. Soegijapranata yakin bahwa melalui Pancasila semua agama dapat bersatu karena Pancasila mengikat seluruh bangsa Indonesia tanpa memandang agama setiap orang[13]. Dengan Pancasila, seluruh warga negara Indonesia yang berbeda suku, adat istiadat dan budaya dapat bersatu walaupun berada di daerah yang berbeda-beda. Perbedaan bukanlah suatu penghambat membangun persatuan, melainkan media untuk saling memahami dan bersatu membangun bangsa dan negara yang sejahtera. Setiap orang harus mampu menjadikan Pancasila sebagai pedoman yang memberikan arah positif bagi Indonesia. Dengan membangun usaha yang berkesinambungan, ksejahteraan akan mengakari setiap segi kehidupan.


C.    Relevansi pemikiran tokoh
Mgr. Soegijapranata sungguh meninggalkan banyak hal yang bernilai, baik itu kepada Gereja maupun kepada bangsa beliau. Semangat dan perjuangan beliau merupakan hal yang selalu relevan dalam kehidupan ini. Gereja terus-menerus dipanggil untuk bersatu membangun kehidupan yang sejahtera di negeri ini. Panggilan itu ditandai dengan keterlibatan Gereja dalam memperjuangkan martabat kehidupan melalui tindakan sosial. Keterlibatan yang diusulkan oleh Mgr. Soegijapranta ialah keterlibatan aktif dengan terjun langsung ke masyarakat baik itu melalui bidang sosial maupun bidang politik.
Gereja Katolik dengan ciri universalitas keselamatan dapat menjadi penggerak dalam memajukan negara ini dengan bercermin pada Pancasila, sehingga dalam masyarakat tercipta suasana kebersamaan. Suasana kebersamaan itu akan mendukung masyarakat luas untuk melihat bahwa tindakan Gereja sungguh bertujuan untuk kesejahteraan, bukan maksud yang lain seperti kristenisasi misalnya. Kehadiran Gereja sebagai penggerak bangsa akan memperlihatkan keterbukaan Gereja pada seluruh elemen masyarakat tanpa melihat latar belakang agama. Dengan membangun keterbukaan Gereja tidak lagi berfokus pada diri sendiri saja, melainkan mampu mengayomi kepentingan bersama yang mengikat seluruh masyarakat Indonesia.
Sikap dan tindakan Mgr. Soegijapranata dalam perjuangannya memotivasi banyak orang untuk sungguh peduli pada martabat kehidupan dengan saling menopang satu sama lain. Hasrat beliau untuk senantiasa mau hadir dan dekat dengan umat yang dipimpinnya membuat ia semakin mampu mengenal umatnya lebih dalam. Pengenalan yang begitu mendalam sangat membantunya dalam mengambil suatu kebijakan. Hal ini merupakan salah satu teladan yang baik di dalam kehidupan. Setiap pemimpin dapat meneladani hal ini. Bertindak sebagai seorang pemimpin diperlukan keinginan untuk mengedepankan kepentingan umum bukan kepentingan pribadi. Seorang pemimpin harus selalu bisa melihat apakah ia telah melakukan tindakan yang mengedepankan kepentingan umum atau tidak.
“100% Katolik,100% Indonesia” merupakan semboyan yang senantiasa menjadi pendorong bagi setiap orang Katolik untuk sungguh mengabdi kepada Gereja dan negara. Pengabdian yang dimaksud ialah pengabdian yang total dan maksimal. Totalitas dan maksimalitas dalam mengabdi itu akan terwujud dengan menghidupi nilai-nilai yang ada di dalam ajaran Gereja dan Pancasila sebagai pemersatu bangsa. Kehidupan yang didorong oleh nilai akan selalu menampakkan tindakan konkret.
Secara pribadi, saya belajar menjadi pemimpin yang baik dari semangat dan perjuangan Mgr. Soegijapranata. Satu hal yang saya temukan dari kepribadian beliau yaitu kesederhanaan dalam menjalani kepemimpinan, sehingga ia dapat menuangkan pemikirannya yang berguna bagi Gereja dan Bangsa. Akhirnya apa yang beliau perjuangkan sungguh sangat relevan dengan kehidupan ini, baik itu sekarang maupun di masa yang akan datang.



[1]F.X. Heryanto Wono Wulung, “ Belajar dari Menggereja Model Mgr. A. Soegijapranata”, Rohani 36 (1989) 501.
[2] T. Sudimin dan Y. Gunawan, Semangat dan Perjuangan Mgr. Soegijapranata, Kanisius, Yogyakarta 2015, 62.
[3] G. Van Klinken, Lima Penggerak Bangsa yang Terlupa, 263.
[4]T. Sudimin dan Y. Gunawan, Semangat dan Perjuangan Mgr. Soegijapranata, 138.
[5] A. Heuken, Ensiklopedi Gereja, VIII, Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta 2005, 84.
[6]F.X. Heryanto Wono Wulung, “ Belajar dari Menggereja Model Mgr. A. Soegijapranata”, 502.
[7]G. Budi subanar, “Merdeka atau Mati versi Mgr. Soegijapranata”, Rohani 50 (2003), 8.
[8]G. Van Klinken, Lima Penggerak Bangsa yang Terlupa, 278.
[9]G. Budi subanar, “Merdeka atau Mati versi Mgr. Soegijapranata”, 9.
[10]T. Sudimin dan Y. Gunawan, Semangat dan Perjuangan Mgr. Soegijapranata, 124.
[11]F.X. Heryanto Wono Wulung, “ Belajar dari Menggereja Model Mgr. A. Soegijapranata”, 505.
[12]T. Sudimin dan Y. Gunawan, Semangat dan Perjuangan Mgr. Soegijapranata, 93.
[13]T. Sudimin dan Y. Gunawan, Semangat dan Perjuangan Mgr. Soegijapranata, 94.

Komentar

Postingan Populer