BISSU DALAM MASYARAKAT BUGIS

 Pendahuluan

            Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam dan juga budayanya. Dari Sabang sampai Merauke terdapat berbagai macam suku dan budaya yang berbeda sekaligus beragam. Masing-masing suku memiliki keunikan tersendiri dalam menunjukkan eksistensi mereka di tengah masyarakat multikultural. Kendati, setiap suku memiliki perbedaan dan keunikan masing-masing, semua masyarakat satu dibawah nama bangsa Indonesia.

            Keberadaan suku-suku di Indonesia yang berbagai macam dan unik membawa daya tarik tersendiri bagi banyak orang asing untuk mengenal lebih dekat budaya dari setiap suku yang ada. Di dalam setiap suku dan budayanya, ada saja hal-hal menarik dan unik untuk dilihat dan dipelajari. Salah satu suku dari sekian banyak suku di Indonesia yang cukup menarik dan unik didalami ialah Suku Bugis, sebuah suku yang terdapat di Sulawesi Selatan. Suku Bugis memiliki kebudayaan yang khusus dan membedakannya dari suku-suku lain yang ada di Sulawesi. Dalam kehidupan adat istiadatnya, terdapat penghayatan unik yang berkembang dalam agama lokalnya yaitu Tolotang. Suku Bugis mempercayai keberadaan tokoh atau sosok terntentu yang memiliki kemampuan atau karunia khusus. Mereka menyebut sosok atau tokoh tersebut sebagai Bissu. Siapa itu Bissu dalam masyarakat? Bagaimana peran Bissu dalam masyarakat?  Apa tanggapan kritis tentang Bissu? Dalam tulisan ini akan dibahas berbagai pertanyaan tersebut.

 

Masyarakat Bugis

            Di pulau Sulawesi Sulatan ada beberapa suku besar antara lain Bugis, Mandar, Toraja dan Makassar. Keempat suku tersebut tersebar diberbagai daerah yang ada di Sulawesi Selatan. Suku Bugis dapat dijumpai di Kabupaten Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang dan Barru. Agama asli atau agama leluhur masyakarat Bugis ialah Tolotang. Saat ini mayoritas masyarakat Bugis tidak lagi menganut agama Tolotang. Kini masyarakat Bugis telah memeluk agama muslim. Akibatnya, praktek-praktek agama leluhur tidak lagi dapat dijumpai secara luas, melainkan hanya di daerah tertentu saja.

            Masyarakat Bugis membagi gender mereka ke dalam empat kriteria. Pertama, gender oroane yaitu mereka yang berjenis kelamin laki-laki. Kedua, makunrai yaitu mereka yang berjenis kelamin perempuan. Ketiga, calabai yaitu mereka yang berjenis kelamin laki-laki transgender. Keempat, calalai yaitu mereka yang berjenis kelamin perempuan transgender. Kelima yaitu Bissu yaitu mereka yang dipandang sebagai orang suci. [1]

 

Bissu ‘Orang Suci’

            Dalam struktur sosial masyarakat, Bissu memiliki kedudukan lebih tinggi. Mereka ini memiliki peran sebagai ahli ritual dalam kehidupan masyarakat lokal. Mereka dipandang sebagai penghubung antara umat manusia dan dunia Dewata. Narasi kuno masyarakat Bugis memberi gambaran bahwa Bissu itu turun ke bumi bersama dewa pencipta dan berperan penting dalam membawa kehidupan di bumi. Kekuatan Bissu sendiri didapat atau diperoleh dengan mewujudkan elemen perempuan dan laki-laki.[2]

            Keberadaan Bissu mulai mengalami pergeseran seiring masuknya ajaran agama Islam ke daerah-daerah bugis. Keadaan ini semakin parah ketika terjadi pemberontakkan Kahar Muzakkar (1950). Pada saat pemberontakkan ini, para Bissu ditangkap karena dianggap menyembah berhala dan melanggar norma agama. Berbagai perlengkapan ritual dimusnahkan. Mereka dipaksa untuk meninggalkan kepercayaan lokal itu. Beberapa diantara mereka memilih dibunuh baripada mengkhianati apa yang telah mereka percayai.[3]

            Bissu dapat dibedakan menjadi dua kategori berdasarkan proses kelahirannya, yaitu Bissu Dewata dan Bissu Mamata. Bissu Dewata adalah dia yang memiliki ilmu gaib dan pengetahuan adat serta tradisi yang tinggi, sedangkan Bissu Mamata adalah Bissu yang biasa terbentuk secara alamiah karena bergaul dengan para Bissu dan panggilan jiwanya. Selain itu, dalam komunitas Bissu ada gelar khusus yang diberikan untuk menunjukkan keahlian yang dimiliki. Pertama, Sanro yaitu Bissu yang memiliki keahlian mengobati. Kedua, Bissu Dewata’e yaitu Bissu yang memiliki keahlian berbicara dengan dengan Dewata. Ketiga, Bissu Patudang yaitu Bissu yang berasal dari keturunan bangsawan.[4]

                       

 

 

Proses Menjadi Bissu dan Perannya dalam Masyarakat

            Seorang Bissu adalah anugerah Dewata. Sejak kecil seorang yang akan menjadi Bissu sudah memiliki tanda yaitu kecenderungan gender dan hal-hal yang berhubungan dengan sesuatu yang bersifat gaib. Anak yang seperti itu, ketika dewasa ia tidak serta merta menjadi Bissu. Ada ritus tertentu yang dilakukan sebagai syarat menjadi seorang Bissu. Pertama, seorang calon  Bissu harus makan nasih putih tanpa lauk dan minum air putih saja selama tujuh hari atau berpuasa selama empat puluh hari di bola arajang (rumah tempat menyimpan benda pusaka). Kedua, seorang calon Bissu harus mattinja’ (bernazar) dan menuliskan serta menghafal mantra suci. Ketiga, seorang Bissu menjalankan proses irebba (dibaringkan) di loteng bola arajang selama tiga atau tujuh hari. Keempat, pada hari terakhir seorang calon Bissu akan dimandikan, dikafani dan dibaringkan selama sehari. Di atas tubuhnya diletakkan sebuah guci berisi air yang telah disucikan dalam upacara tertentu. Kelima, pada petang hari guci yang diletakkan di atas tubuh calon Bissu dipecahkan oleh tetua adat, sehingga air tumpah membasahi seluruh tubuh calon Bissu. Keenam, setelah semua ritus tersebut seorang calon Bissu resmi menjadi Bissu. Masyarakat bugis percaya bila upacara sakral tersebut telah direstui Dewata, hujan deras akan turun pada saat malam terakhir upacara itu dilakukan.[5]

            Masyarakat Bugis sangat menghargai keberadaan Bissu. Hal itu didasari oleh pengetahuan adat istiadat, tradisi dan silsilah keluarga yang diketahui oleh seorang Bissu. Para Bissu juga dipandang sebagai orang yang mampu menguasai pengobatan dan mistik, sehingga dalam kehidupan sehari-hari masyarakat sekitar memohon pertolongan dari mereka ketika mengalami sesuatu yang tidak baik. Bissu diperlakukan sebagai tokoh yang memiliki peran penting karena memiliki hubungan dengan arwah leluhur dan para dewata. Para Bissu dipandang sebagai orang yang makarama, sehingga pergaulan mereka terbatas pada sesama Bissu saja. Pada masa kerajaan kuno, Bissu memiliki peran yang penting. Mereka ditugaskan untuk menjaga benda-benda pusaka kerajaan. Berdasarkan peran dan tugasnya komunitas Bissu dapat digolongkan menjadi empat yaitu Puang Matowa, Puang Lolo, Bissu Tantre dan Bissu Poncok. Pertama, Puang Matowa adalah Bissu yang  menduduki lapisan tertinggi dalam komunitas Bissu. Ia diangkat menjadi pemimpin Bissu oleh raja. Tugas yang diberikan padanya ialah merawat dan menjaga pusaka kerajaan serta memberi pelayanan pada keluarga kerajaan. Kedua, Puang Lolo yakni Bissu yang menjadi wakil Puang Matowa. Ia berperan sebagai pengganti Puang Matowa dalam menjalankan tugas yang telah dipercayakan. Ketiga, Bissu Tantre yaitu Bissu yang memiliki kecerdasan tinggi dan pengetahuan yang mendalam mengenai upacara-upacara terntentu dalam masyarakat. Keempat, Bissu Poncok adalah mereka yang memiliki kemampuan terbatas, sehingga sekedar melaksanakan perintah atau mandat pemimpin Bissu.[6]

           

Penilaian Kritis

            Kepercayaan masyarakat membentuk perilaku dan tindakan masyarakat terhadap apa yang dipercayai. Bissu sebagai nilai budaya masyarakat bugis lahir dan terbentuk dari sebuah kepercayaan yang telah dianut turun-temurun dari para leluhur. Melalui narasi mitologis masyarakat bugis mencoba meneruskan dan membagikan apa yang mereka percayai dalam kehidupan masyarakat. Sebagai seorang yang bukan berasal dari masyarakat bugis, secara pribadi, saya melihat kebiasaan masyarakat bugis ini sebagai bentuk penghargaan mereka terhadap martabat manusia. Realitasnya Bissu adalah mereka yang terlahir sebagai orang yang memiliki identitas unik. Agar mereka tidak dikucilkan diberilah makna khusus pada diri mereka, sehingga keberadaan mereka menjadi lebih berarti dalam menjaga keharmonisan masyarakat.

            Menurut Foucault, kita seharusnya bersikap nominalis dalam memandang kekuasaan. Kekuasaan bukanlah lembaga, kekuasaan bukan  pula sebuah struktur, bukan semacam daya yang terdapat pada beberapa  orang. Kekuasaan adalah nama yang diberikan kepada suatu situasi strategis yang rumit dalam masyarakat tertentu. Sasaran kekuasaan adalah tubuh. Tubuh dimanipulasi, dilatih, dikoreksi, dibuat menjadi patuh, bertanggungjawab menjadi terampil dan meningkat kekuatannya.[7] Tindakan masyarakat bugis memperlakukan Bissu sebagai orang suci dapat pula dikatakan sebagai suatu bentuk mempertahankan kekuasaan mereka atas daerah tempat mereka tinggal dan hidup sehari-hari. Terlepas dari adanya kemampuan supranatural dari para Bissu, masyarakat bugis pada dasarnya percaya kepada Dewata. Bissu hanyalah imam yang berusaha menghubungkan relasi masyarakat dengan Dewata sebagaimana yang juga dilakukan oleh agama-agama pada umumnya pada saat ini. Oleh karena itu, sikap dasar saya dalam melihat dan mempelajari budaya masyarakat bugis ini ialah berusaha untuk menghargai kepercayaan leluhur mereka karena nilai penting yang saya lihat ialah penghargaan terhadap martabat manusia dan peran Bissu sebagai penghubung antara relasi manusia dengan yang kuasa.

Penutup

            Keanekaragaman suku dan budaya sudah menjadi bagian dari kekayaan bangsa Indonesia. Sebagai masyarakat Indonesia, sikap yang perlu dimiliki ialah saling menerima dan menghargai. Di balik setiap penghayatan dan kepercayaan masyarakat tentu ada nilai positif yang bisa didapatkan. Masyarakat bugis dengan pemahaman mereka mengenai Bissu memberi nilai penting yaitu penghargaan terhadap martabat manusia. Bissu diterima dan diperlakukan secara baik serta diberi tugas tertentu yang suci yaitu menghubungkan manusia dan Dewata. Secara pribadi, saya kagum terhadap perlakukan mereka pada orang-orang tansgender tersebut. Sikap seperti inilah yang juga perlu dimiliki oleh masyarakat berhadapan dengan orang-orang transgender yaitu menerima mereka dan bukan mengucilkan mereka.

 

Daftar Pustaka

Ais Nurbiyah Al-Jumah,

            “Resistensi Bissu         Terhadap Pembantaian DI/TII di Sulawesi        Selatan Periode       1950-1965 dalam Dua Cerpen Faisal Oddang, 41-56.

Imran,

            2019    “Bissu: Genealogi dan Tegangannya dengan Islam, Mamikiri 5.

Feby Triadi,

            2020    Bissu; Kepercayaan, Perilaku dan  Kewarganegaraan, Pangadereng 6.

Titiek Suliyanti,

            2018    Bissu: Keistimewaan Gender   dalam Tradisi Bugis, Endogami 2.

 



[1] Feby Triadi, “Bissu; Kepercayaan, Perilaku dan  Kewarganegaraan”, Pangadereng 6 (2020), 147.

[2] Ais Nurbiyah Al-Jumah, “Resistensi Bissu Terhadap Pembantaian DI/TII di Sulawesi Selatan Periode 1950-1965 dalam Dua Cerpen Faisal Oddang”, 41-42.

[3] Ais Nurbiyah Al-Jumah, “Resistensi Bissu Terhadap Pembantaian DI/TII di Sulawesi Selatan Periode 1950-1965 dalam Dua Cerpen Faisal Oddang”, 43.

[4] Titiek Suliyanti, “Bissu: Keistimewaan Gender   dalam Tradisi Bugis”, Endogami 2 (2018)  56.

[5] Titiek Suliyanti, “Bissu: Keistimewaan Gender   dalam Tradisi Bugis”, 55.

[6] Titiek Suliyanti, “Bissu: Keistimewaan Gender   dalam Tradisi Bugis”, 57.

[7] Imran, “Bissu: Genealogi dan Tegangannya dengan Islam”, Mamikiri 5 (2019),

Komentar

Postingan Populer