Injil dan Budaya dalam Perspektif Yohanes Paulus II

 

A.    Pengantar

            Panggilan Gereja sebagai umat Allah yang beriman pada Yesus Kristus ialah mewartakan Injil seturut pesan Yesus Kristus “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk (Mrk 16: 15)”. Hal ini merupakan perutusan Yesus Kristus bagi para murid-Nya. Sebab, “seluruh makhluk menantikan dengan sangat rindu saat anak-anak Allah dinyatakan” (Rom 8,19). Di sini “makhluk” mengacu pada seluruh aspek kehidupan manusia, dengan konsekuensinya, “perutusan pewartaan Kabar Gembira Yesus Kristus memiliki tujuan universal. Amanat kasihnya mencakup segala dimensi keberadaan manusia, setiap individu, semua bidang kehidupan komunitas, dan semua orang-orang.

            Dalam menjalankan tugas pewartaan Injil, Gereja berhadapan dengan budaya yang menjadi ciri khas setiap suku dan bangsa. Budaya adalah realitas yang hidup di tengah umat. Maka, mau tidak mau Gereja harus berhadapan dengan realiatas budaya yang ada, agar pewartaan Injil bisa sampai dan hidup di tengah umat. Bahkan, budaya dapat dipakai sebagai pintu masuk bagi pewartaan Injil. Berbagai usaha pun dilakukan oleh Gereja dalam mewartakan Injil pada konteks  budaya tertentu. Usaha Gereja itu dikenal dengan istilah inkulturasi.

            Inkulturasi merupakan istilah yang khas dalam Gereja Katolik. Inkulturasi sendiri berarti proses mencipta sautu bentuk baru kebudayaan Kristen atas dasar warisan budaya setempat. Dalam proses inkulturasi unsur-unsur kebudayaan setempat dipinjam kalau unsur-unsur itu selaras dan dapat berpadu dengan iman Kristen. Inkulturasi membuahkan perubahan dalam kebudayaan setempat berkat masuknya amanat Kristiani. Tujuan dari inkulturasi ialah membantu kaum beriman dalam setiap kebudayaan supaya dapat menghayati iman selarasa dengan kebudayaan mereka.[1]

            Salah satu tokoh yang banyak berbicara mengenai inkulturasi dalam sejarah Gereja Katolik yaitu Yohanes Paulus II. Semasa kepemimpinannya sebagai seorang Paus, Yohanes Paulus II terus-menerus berbicara mengenai inkulturasi budaya sebagai bentuk evangelisasi baru. Dengan semangat misioner, Yohanes Paulus II berupaya mendorong Gereja untuk peduli terlibat aktif secara konkret dalam masyarakat. Oleh karena itulah penulis tertarik mendalami inkulturasi dari perspektif  Yohanes Paulus II sebagai suatu topik yang fundamental dan teoritis.          

B.     Pembahasan

            Yohanes Paulus II beberapa kali  menyebut tema inkulturasi dalam ajaran-ajarannya. Beliau mengatakan: “Melalui inkulturasi, Gereja menjelmakan Injil dalam kebudayaan-kebudayaan yang berbeda-beda dan serentak membawa masuk para bangsa bersama dengan kebudayaan mereka ke dalam persekutuan Gereja sendiri” (RM 52). Kata-kata Yohanes Paulus II ini mengindikasikan bahwa inkulturasi itu membawa orang masuk dalam persekutuan Gereja dengan segala yang ada padanya, termasuk budaya. Injil memberikan makna baru dalam kehidupan umat beriman sesuai dengan budaya yang dimiliki.

            Yohanes Paulus II juga  mengartikan inkulturasi sebagai suatu bentuk evangelisasi baru.[2] Budaya menjadi medan yang baik untuk membahasakan Injil secara lebih mendalam dalam kehidupan dan keseharian. Bahkan istilah inkulturasi dilihat identik dengan istilah inkarnasi inkarnasi. Inkulturasi dapat dipahami melalui inkarnasi Injil ke dalam suatu budaya tertentu.  Yohanes Paulus II mendasarkan pemahamannya pada  konstitusi dogmatis tentang Gereja yaitu Lumen Gentium:

Adapun serikat yang dilengkapi dengan jabatan hirarkis Tubuh Mistik Kristus, kelompok yang tampak dan persekutuan rohani, Gereja di dunia dan Gereja yang diperkaya dengan karunia-karunia surgawi janganlah dipandang sebagai dua hal; melainkan semua itu merupakan kenyataan yang kompleks, dan terwujudkan karena perpaduan unsur manusiawi dan Ilahi. Maka, berdasarkan analogi yang cukup tepat, Gereja dibandingkan dengan misteri Sabda yang menjelma. Sebab seperti kodrat yang dikenakan oleh Sabda Ilahi melayani-Nya sebagai upaya keselamatan yang hidup, satu dengan-Nya dan tak terceraikan dari pada-Nya, begitu pula himpunan sosial Gereja melayani Roh Kristus, yang menghimpunkannya demi pertumbuhan Tubuh-Nya. (LG 8)

 

            Gereja dan Sabda Allah dalam budaya tertentu perlu dianalogikan seperti inkarnasi. Paus Yohanes Paulus II menekankan sebuah keyakinan bahwa inkarnasi sabda adalah juga inkarnasi budaya, di mana budaya secara analogis sebanding dengan kemanusiaan Kristus dalam unsur-unsur yang baik. Dalam pidatonya di Nairobi, Yohanes Paulus mengatakan bahwa inkulturasi yang dipromosikan dengan baik akan menjadi cerminan dari inkarnasi firman, ketika suatu budaya, yang diubah dan diperbarui oleh Injil, memunculkan ekspresi asli kehidupan Kristiani dari tradisi yang hidup sendiri.[3]

a.      Injil dan Budaya perlu Berdialog

            Dalam ensiklik pertama Yohanes Paulus II, Redemptor Hominis (1979), Ia mengatakan: “Gereja ikut ambil bagian dalam pewartaan kabar gembira Kristus tidak saja dengan mendengarkan sabda dan mewartakan kebenaran-Nya, namun pula ikut serta menimba kekuatan dari kurban kasih Kristus dalam sakramen-sakramen-Nya terlebih Ekaristi”. Dalam Dominum et Vivicantem (1986), Yohanes Paulus II mengungkapkan bahwa ungkapan yang secara utuh menandakan hidup dan karya Kristus, terlebih misteri salib dan kebangkitan-Nya, nyata dalam Ekaristi, sakramen yang tidak hanya kembali menghadirkan peristiwa itu, namun pula membawa pada hadirnya realisasi secara utuh  kenyataan keselamatan. Kemudian, dalam Ecclesia de Eucharistia (2003), Yohanes Paulus II menandaskan bahwa Gereja hidup dan tumbuh dari Ekaristi. Dalam Ekaristi termuat inti dari misteri Gereja dan dengan itu pula puncak kehidupan iman Gereja dirayakan serta dinyatakan. Maka, kehidupan Gereja tidak bisa dipisahkan dari Ekaristi. Ekaristi dan liturgi memang merupakan tanda pengungkapan dan penghayatan iman. Sebagai sebuah penghayatan dan ungkapan, konteks ruang dan waktu realitas hidup umat beriman sangat berpengaruh dan ikut menentukan bagaimana mereka menyatakan, merayakan, menghayati dan menghidupi iman dalam Ekaristi dan liturgi.[4]

            Budaya merupakan ruang vital di mana umat manusia berhadapan dengan Injil.[5] Yohanes Paulus II mengungkapkan bahwa iman yang tidak menjadi bagian dari kebudayaan tidak akan diterima, tidak bisa terpahami dan tidak akan terhayati secara hidup. Maka, perwujudan Injil dan iman tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan, sebab realisasi Kerajaan Allah selalu memakai unsur-unsur budaya umat manusia. Yohanes Paulus II melihat bahwa kebudayaan terus berubah, maka hal ini mempengaruhi cara perwujudan iman. Dalam ensiklik Fides et Ratio (1998), Yohanes Paulus II menyatakan bahwa kebudayaan mengungkapkan dinamika pengalaman hidup manusia. Budaya terus berubah dan berkembang, karena orang menemukan cara baru dan saling berbagi cara hidup baru dengan yang lain.[6] Umat manusia sebagai bagian dari kebudayaan, termasuk di dalamnya keterbukaan diri akan hasrat dalam kehidupan manusia. Dialog kultural sangat diperlukan dalam mewartakan Injil.[7] Konteks kebudayaan sangat berpengaruh terhadap kehidupan umat beriman. Kepada setiap kebudayaan, umat kristiani menyampaikan kebenaran Allah yang abadi, yang dia nyatakan di dalam sejarah dan kebudayaan umat manusia. Pewartaan iman Kristiani di tengah keberagaman kultural mendorong umat setempat memelihara dan menghidupi identitas budayanya.

b.      Injil dan Budaya Tidak Terpisahkan

            Dalam Redemptoris Missio (1990), Yohanes Paulus II mengutup salah satu ungkapan Paulus VI yang terkenal, “Jurang pemisah antara Injil dan budaya tak diragukan lagi merupakan skandal masa kini”. Pemisahan antara Injil dan budaya menjadikan proses pewartaan Injil tidak sampai pada titik yang mendalam. Padahal inkulturasi adalah suatu langkah untuk duc in altum. Dalam arus dan kenyataan budaya manusia tetapi dengan mempertimbangkan misteri Ilahi dan tradisi Gereja. Tanpa masuk ke dalam realitas kultural masyarakat, iman tidak akan didengarkan dan diberi ruang dalam kehidupan, sehingga absen dari realitas sosial masyarakat. Yohanes Paulus II melihat bahwa problem dalam perujumpaan Injil dan budaya yaitu sekularisasi dan upaya penanaman iman. Dalam menghadapi arus sekularisasi, Yohanes Paulus II menenkankan pentingnya dialog dan penghargaan pada semua aspek, sedangkan dalam upaya penanaman iman dibutuhkan diskresi budaya  untuk menemukan apa yang sesuai dengan iman Kristiani. Lebih jauh lagi, Yohanes Paulus II menekankan jangan sampai Injil dan Gereja-Nya menjadi asing bagi setiap orang atau budaya tertentu. Keterasingan dapat menjadikan Gereja terasing dari kehidupan, dari realitas dan kenyataan budaya hidup umat manusia. Dengan demikian, ajaran dan tradisi iman kurang mampu berbicara apalagi membentuk kehidupan manusia.[8]

            Iman yang tidak terintegrasi dalam budaya adalah iman yang belum sungguh diterima penuh, baru berapada  tataran pemikiran, belum sungguh menjelma dalam penghayatan hidup nyata. Dengan kata lain iman tidak akan menjadi iman yang hidup. Di tengah kemajuan arus globalisasi, Yohanes Paulus II menekankan evangelisasi sebagai suatu upaya terus menerus untuk berdialog dan berkomunikasi dengan arus budaya, sehingga Injil pun dapat membentuk suatu budaya baru. Dia mengharapkan Gereja senantiasa menghormati umat manusia dan kebudayaan, agar umat manusia dan kebudayaan umat manusiapun dibentuk dan diperbarui dalam Kristus, menjadi sarana pewartaan bagi pewartaan Kerajaan Allah.[9] Selain itu, inkulturasi pun dapat dikatakan sebagai suatu karya misi: menjadikan Gereja berakar pada budaya setempat, membentuk paguyuban iman setempat berdasarkan kekayaan kultural yang mereka miliki dan hidupi.

            Krisis iman terjadi karena adanya kesenjangan dan keterpisahan antara iman dan budaya. Keterpisahan iman dan budaya menjadi iman dan nilai Kristiani tersingkir dalam arus budaya kehidupan. Iman harus semakin didorong untuk berdialog dengan budaya zaman. Tujuannya agar iman itu sungguh hidup dan ikut memurnikan serta memperbarui budaya setempat. Untuk itu, Gereja perlu mengenali pikiran dan hati, nilai dan kebiasaan, persoalan dan kesulitan, harapan dan impian umat beriman. Jika Gereja sampai pada titik ini, Gereja dapat masuk untuk mewartakan Kabar Gembira dalam kehidupan umat beriman. Tugas para pewarta Injil ialah masuk kedalam budaya secara akrab. Dalam proses pewartaan itu, Injil diwartakan demi meneguhkan dan mengukuhkan, sehingga kehidupan diperbarui dalam diri Yesus Kristus. Nilai-nilai budaya yang tertanam dalam kultur setempat adalah benih-benih sabda, yang menemukan kepenuhannya dalam Yesus Kristus. Karena itu, perlu senantiasa dipelihara dan dihargai, sekaligus dimurnikan, diperdalam dan disempurnakan dalam terang Injil.[10]

            Yohanes Paulus II mengemukakan bahwa ada tiga kriteria yang perlu diperhatikan dalam sebuah proses inkulturasi. Pertama, ada semangat universal yang bisa ditemukan dalam berbagai budaya yang berbeda. Kedua, mengenali sejarah dan tradisi inkulturasi yang dialami dan membentuk Gereja, terlebih khusus pengaruh budaya Yunani dan Latin. Ketiga, jangan sampai pembelaan akan keunikan dan originalitas tradisi budaya setempat, menjadikan budaya tertutup pada yang lain. Oleh karena itu, diperlukan discernment terus-menerus.

c.       Inkulturasi Liturgi

            Inkulturasi merupakan kebutuhan yang sangat mendesak dewasa ini.[11] Para imam memiliki tanggungjawab akan kebutuhan mendesak ini. Hal yang dapat dilakukan untuk menanggapi kebutuhan ini ialah adaptasi liturgi dalam kebudayaan. Dalam adapatasi liturgi ini, ada dua hal yang dapat diterapkan yaitu adaptasi bahasa dan adaptasi ritus. Tentu dengan memperhatikan kaidah-kaidah yang ada. Yohanes Paulus II menekankan bahwa inkulturasi itu soal perubahan hidup, bukan terutama perubahan ritus. Dalam surat apostoliknya, Vincemus Quintus Annus, Yohanes Paulus II mengatakan bahwa pembaruan liturgi pertama-tama berakar pada prinsip dasarnya, yakni penghadiran kembali misteri Paskah. Karena itu, liturgi pertama-tama bertugas untuk mengantar umat berima kepada peziarahan Paskah yang telah ditapaki Yesus Kristus, dari kematian menuju kehidupan. Prinsip kedua yang ditekankan ialah kehadiran Sabda Allah.[12]

             Perayaan liturgi tidak menjadi perayaan pribadi, melainkan suatu perayaan Gereja. Maka, setiap perayaan harus menggambarkan atau mencerminkan wajah Gereja yang universal. Setiap upaya inkulturasi liturgi perlu bekerjasama dengan Vatikan, sebab liturgi suci merupakan ungkapan dan perayaan iman yang menjadi keseluruhan Gereja. Konsekuensinya, Gereja setempat tidak inkulturasi liturgi tidak dapat ditentukan oleh Gereja partikular, tetapi harus selalu mendapat persetujuan dari otoritas hierarkis dalam tubuh Gereja. Liturgi Gereja adalah milik Gereja, Karena itu tidak tergantung pada inisiatif ataupun kreativitas orang atau kelompok tertentu.[13] Di samping itu, Yohanes Paulus II juga menekankan penting adaptasi dalam suatu liturgi seturut perkembangan zaman.

            Seiring dengan perubahan dan perkembangan budaya, inkulturasi tidak berfokus pada nilai, simbol atau budaya tradisional semata, melainkan juga pada budaya sekuler dan konsumtif. Salah satu yang kemudian mendapat perhatian Yohanes Paulus II yaitu seni.[14] Baginya, seni pun memiliki wujud dan bentuk pengungkapan iman, sebab seni mengekspresikan dimensi Ilahi dalam sesuatu yang indah dan mengagumkan. Semua itu dapat dimulai dari tingkat paroki.[15] Yohanes Paulus II sangat mendukung dan mendorong setiap orang untuk memulai inkulturasi di tingkat paroki, sehingga muncul berbagai teologi yang sungguh lokal.

d.      Tanggapan

            Yohanes Paulus II sangat mendukung upaya inkulturasi dalam perjalanan hidup Gereja. Perjumpaan antara Injil dan budaya menjadikan Gereja lebih terbuka untuk menghayati Injil sesuai atau seturut kultur setempat. Sebagai suatu proses terus-menerus inkulturasi tidak pernah berhenti pada titik tertentu karena arus perkembangan zaman pun terus melahirkan atau menghadirkan budaya-budaya yang baru. Maka dari itu, Gereja perlu berdialog dengan kultur yang ada, agar Injil tidak menjadi asing berhadapan dengan budaya setempat. Melalui dialog yang baik, Injil masuk ke dalam menerangi budaya dan memberikan makna yang baru. Dengan demikian Injil dapat membawa perubahan baik pada manusia maupun kulturnya.[16]

            Injil dan budaya tidak dapat dipisahkan satu sama lain, sebab hal itu dapat menghambat proses inkulturasi. Dalam setiap budaya  ada nilai Injil yang dapat mendukung penghayatan Injil secara mendalam. Di dalam Gaudium et Spes art. 53 dikatakan: Termasuk ciri pribadi manusia bahwa ia hanya dapat menuju kepenuhan kemanusiaannya yang sejati melalui kebudayaan, yakni dengan memelihara apa yang serba baik dan bernilai pada kodratnya. Maka di manapun dibicarakan hidup manusia, kodrat dan kebudayaan erat sekali. Bila Injil sungguh memberi daya pada manusia, maka sudah pasti Injil perlu bersentuhan dengan manusia yang memiliki berbagai aspek dalam budaya.

            Perjumpaan Injil dan budaya dalam perspektif Yohanes Paulus II sangatlah menarik. Yohanes Paulus II memberi ruang yang kompleks untuk melihat dan mencermati setiap budaya seturut terang Injil. Budaya dapat dikatakan sebagai  sarana untuk mengaktualkan Injil dalam kehidupan umat beriman. Di dalam budaya pun sudah ada nilai-nilai yang sesuai dengan Injil. Konsep inkulturasi seperti suatu proses inkarnasi yang digagas oleh Yohanes Paulus II menggambarkan pewartaa Injil yang mau masuk ke dalam realitas budaya dan memurnikan budaya. Dalam ensiklik Slavorum Apostoli (1985) art. 21, Yohanes Paulus II mengatakan: “inkarnasi Injil dalam perlabagai kebudayaan yang otonom dan sekaligus memasukkan kebudayaan-kebudayaan tersebut ke dalam kehidupan Gereja”.[17] Dengan demikian, umat beriman semakin terbantu untuk menghidupi Injil.

            Berkaitan dengan inkulturasi liturgi, Yohanes Paulus II telah memberikan patokan yang jelas bahwa suatu proses inkulturasi tidak pernah terlepas dari kesatuan dengan Gereja universal. Kendati inkulturasi itu diarahkan pada pewartaan Injil dalam budaya partikular, hasilnya tidak membuat orang jauh keluar dari kesatuan dengan Gereja universal. Justru dalam inkulturasi yang bersifat partikular orang semakin menemukan nilai Injil yang bersifat universal secara lebih mendalam.

C.    Penutup

            Inkulturasi memang menjadi evangelisasi baru. Gereja sepanjang perjalanan selalu berinteraksi dengan berbagai budaya dalam mewartakan Injil, entah itu budaya tradisional ataupun budaya populer yang muncul seiring dengan perkembangan zaman. Yohanes Paulus II memberikan pandangan yang sangat baik mengenai Injil dan budaya. Bila Injil sungguh masuk ke dalam budaya maka budaya itu akan diperbarui dan orang-orang yang memiliki budaya tersebut dapat menghayati Injil sepenuh hati dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, Injil menjadi terang bagi setiap orang dengan berbagai budaya yang ada pada diri mereka.

 

D.    Daftar Pustaka

Ernest Mariyanto

            2004    Kamus Liturgi, Kanisius: Yogyakarta.

 

Dennis M. Doyle,

            2012    “The Concept of Inculturation in Roman Catholicism: A Theological                                               Consideration”,  U.S. Catholic Historian 30.

 

Konferensi Wali Gereja Indonesia

            2011    De Liturgia Romana Et Inculturatione (Liturgi Romawi dan Inkulturasi).

 

T, Krispurwana Cahyadi, SJ.,

            2007    Yohanes Paulus II: Gereja, Teologi dan Kehidupan, Obor: Jakarta.

 

International Theological Commission,

            1988    Faith and Inculturation.

 

R. Jared,

            2014    “Culture in the Magisterium of Pope John Paul II: Evangelization through                                      Dialogue and   the Renewal of Society”, Journal of Dialogue & Culture.

 

Robert J schreiter,

            2012    “Inkulturasi kekristenan dalam konteks agama dan budaya”, diterjemahkan oleh                            Yofef Maria Florisan, Jurnal Ledalero 11.

 

 



[1] Ernest Mariyanto, Kamus Liturgi, (Kanisius: Yogyakarta, 2004), 84-85.

[2] Dennis M. Doyle, “The Concept of Inculturation in Roman Catholicism: A Theological        Consideration”,

U.S. Catholic Historian 30, (2012), 1.

[3] Dennis M. Doyle, “The Concept of Inculturation in Roman Catholicism: A Theological        Consideration”, 8.

[4] Bdk. T, Krispurwana Cahyadi, SJ., Yohanes Paulus II: Gereja, Teologi dan Kehidupan, (Obor: Jakarta, 2007), 241-242.

[5] Bdk. International Theological Commission, Faith and Inculturation, (1988), art 26.

[6] Bdk. T, Krispurwana Cahyadi, SJ., Yohanes Paulus II: Gereja, Teologi dan Kehidupan, 243.

[7] Bdk. International Theological Commission, Faith and Inculturation, (1988), art.4.

[8] Bdk. T, Krispurwana Cahyadi, SJ., Yohanes Paulus II: Gereja, Teologi dan Kehidupan, 245-247.

[9] Bdk. T, Krispurwana Cahyadi, SJ., Yohanes Paulus II: Gereja, Teologi dan Kehidupan, 250.

[10] Bdk. T, Krispurwana Cahyadi, SJ., Yohanes Paulus II: Gereja, Teologi dan Kehidupan, 252.

[11] Bdk. International Theological Commission, Faith and Inculturation, (1988), art. 7.

[12] Bdk. T, Krispurwana Cahyadi, SJ., Yohanes Paulus II: Gereja, Teologi dan Kehidupan, 271.

[13] Bdk. T, Krispurwana Cahyadi, SJ., Yohanes Paulus II: Gereja, Teologi dan Kehidupan, 272.

[14] Bdk. R. Jared, “Culture in the Magisterium1 of Pope John Paul II: Evangelization through Dialogue and the Renewal of Society”, Journal of Dialogue & Culture 3 (2014), 58.

[15] Robert J schreiter, “Inkulturasi kekristenan dalam konteks agama dan budaya”, diterjemahkan oleh Yofef Maria Florisan, Jurnal Ledalero 11 (2012), 112.

 

[16] Bdk. R. Jared, “Culture in the Magisterium1 of Pope John Paul II: Evangelization through Dialogue and the Renewal of Society”, Journal of Dialogue & Culture 3, 54.

[17] Konferensi Wali Gereja Indonesia, De Liturgia Romana et Inculturatione (Liturgi Romawi dan Inkulturasi), Dokpen KWI (2011) art. 4.

Komentar

Postingan Populer