Wajah Gereja dalam Novel Romo Rahadi Karya Romo Mangunwijaya
A. Pengantar
Setiap karya sastra memiliki makna yang tidak terlepas dari pengarang setiap karya sastra entah itu novel, cerita pendek maupun puisi. Maka, dibalik suatu karya sastra tentu tersirat cara pandang, pola pikir dan pengalaman sang penulis. Selain itu, ada juga latar belakang yang mempengaruhi karya sastra yang dibuat. Singkatnya, setiap karya sastra memiliki pengaruh dari sang penulis. Oleh karena itu, melalui pembacaan novel Romo Rahadi karya Rm. Y.B. Mangunwijaya, saya mencoba mencari wajah Gereja yang mau ditampilkan oleh sang maestro. Dengan latar belakang seorang rohaniwan tentu Rm. Mangun menyiratkan nilai-nilai khas yang menampil wajah Gereja dalam setiap karyanya. Pertanyaan mendasarnya ialah wajah Gereja seperti apa yang mau diperlihatkan oleh Rm. Mangun melalui novel Romo Rahadi?
B. Romo Mangun Tentang Sastra dan Gereja
Pada awal mula, segala sastra adalah religius atau religiositas. Rm. Mangun menggunakan istilah religius ketimbang religi karena ada perbedaan makna yang mendalam. Istilah religi menunjuk pada kelembagaan kebaktian pada Tuhan, sedangkan istilah religius lebih melihat aspek ‘di dalam lubuk hati’, riak getaran hati nurani pribadi. Orang beragama banyak yang religius, paling tidak diandaikan seorang agamawan sepantasnya sekaligus homo religiosus juga. Tetapi kenyataannya tidak selalu begitu. Dapat juga orang menganut agama tertentu karena motivasi jaminan material atau karir politik. Ada juga yang tidak beragama, tetapi cita rasanya, sikap dan tindakannya sehari-hari pada hakikatnya religius.[1] Pandangan ini merupakan titik pijak awal yang perlu dipahami dengan baik dalam memahami karya sastra dari Rm. Mangun. Sebab, mencari makna dari karya sastra Rm. Mangun, memerlukan pemahaman yang baik tentang bagaimana Rm. Mangun memahami sastra itu sendiri.
Selain berbicara mengenai sastra dan menulis sastra, Rm. Mangun juga menulis tentang paham mengenai Gereja. Menurutnya, Gereja mengungkapkan diri dan berbahasa beragam, namun dengan iman yang tetap sama lestari.[2] Di dalam Gereja, manusia yang beriman kepada Yesus menjadi pewarta Gembira, baik pelayan maupun umat Allah. Pewarta dan penerima Kabar Gembira selalu gembira, energik, tidak pernah lemas atau putus asa, tetapi prinsipial dan berani, pencinta para miskin dan para penderita; tidak pernah takut, berani dan iklas.[3] Sikap lain yang juga perlu dikembangkan ialah sikap siap menjadi martir. Orang Katolik tidak perlu meminta agar dimartir, tetapi jika saatnya datang, mereka harus siap, ikhlas dan bangga. Maka, tidak perlu takut.[4]
Di dalam Gereja, siapun yang beriman Kristiani yang mampu menjalankan fungsi pemersatuan dan peneguhan iman, harapan dan cinta kasih kristiani, boleh disebut sebagai rasul atau pewarta Gereja. Sebagai rasul atau pewarta Gereja, ada tiga tugas penting yaitu: Pertama, mengihktiarkan kesucian umat, dan semua manusia, yakni bersih murninya umat dari segala dosa dan noda, dan dari segala yang buruk dan korup, agar manusia jadi suci, artinya pantas dekat dengan Tuhan, berdoa kepada-Nya dengan intim mencintai-Nya, agar tidak lupa berbuah dalam karya dan perbuatan yang baik serta memekarkan masyarakat. Kedua, demi pewartaan sabda Kabar Gembira Kristus, menaburkan kebenaran dan pembelaan kebenaran, keadilan, kelurusan, segala bentuk manipulasi serta eksploitasi manusia oleh manusia lain, penegakan hokum cinta kasih serta demi pulih utuhnya masyarakat manusia yang harus merealisasi maksud asli penciptaan alam semesta, khususnya alam manusia. Ketiga, tugas menuntun, memimpin, mengarahkan dan menata umat.[5]
Keluarga adalah unit Gereja paling kecil, tetapi paling andal pula. Yang berurusan dengan keperluan nasihat, dorongan hati, peneguhan jiwa, hiburan rohani dan mental maupun materi yang vital penting menyakut kehidupan pribadi, keluargalah yang diperlukan sebagai pendamping moral untuk menyelesaikan soal-soal rumit.[6] Hal ini dapat terjadi karena ada ikatan yang membuat setiap hal mengena di hati. Maka, yang dibutuhkan di sini ialah keterbukaan. Keterbukaan mengandaikan kerendahan hati. Sebab hanya manusia yang rendah hati dapat tajam melihat mana yang benar, mana yang keliru, dan suka menerima kebenaran. Demikianlah, hanya orang yang tidak sombong sanggup jujur menerima kenyataan dengan bening, sikap yang amat vital terutama bagi para pendamping umat. Kejujuran itulah yang mampu menumbuhkan kepecayaan, terutama bila sudah masuk dalam perbincangan, musyawarah, dan saling berkomunikasi.[7]
C. Novel Romo Rahadi
1. Sekilas Tentang Novel
Judul: Romo Rahadi
Pengarang: Y.B Mangunwijaya
Penerbit: PT. Kanisius
Tahun Terbit: 2018 (Cetak Ulang)
Jumlah Halaman: 383 Halaman
Uraian Singkat: Novel ini terdiri dari empat bagian yang dibagi ke dalam dua puluh delapan bab. Novel ini berkisah tentang kehidupan seorang imam Katolik yang bergulat dengan pilihan, apakah tetap menjadi imam atau menikah. Penulis dalam novel ini sudah memberikan gambaran tentang isi novel dengan mengutip kata-kata Ernest Renan “Keragu-raguan adalah sebentuk penghormatan kepada kebenaran”.
2. Penokohan dan Alur Novel
Tokoh Utama dalam novel ini adalah Romo Rahadi. Ia adalah seorang imam Katolik yang lahir di Magelang, Jawa Tengah. Didi itulah panggilan masa kecil yang masih tersemat sampai menjadi seorang imam. Panggilan tersebut sudah melekat di sanak keluarga dan kerabat yang lain. Romo Rahadi memiliki dua orang saudari yaitu Windi dan Tress. Windi adalah seorang tenaga kesehatan yang sangat baik merawat Romo Rahadi sedari kanak-kanak, sedangkan Tress adalah istri dari Swan, seorang tentatara yang bertugas di Papua. Romo Rahadi pun memiliki beberapa ponakan, anak-anak dari Swan dan Tress, antara lain: Rika, Wimbo dan Santi. Dalam kehidupan keluarga Romo Rahadi sangat dekat dengan keluarganya dan orang-orang yang berperan dalam kehidupan keluarganya seperti, Pak Karsin dan Mbok Karsin.
Pada suatu kesempatan liburan, Romo Rahadi memilih memanfaatkan waktu itu ke Irian, mengunjungi Tress sekeluarga. Dalam perjalanan, Ia berjumpa dengan Hildegard, seorang wanita asal Jerman, tetapi bukan orang Jerman. Hildegard adalah seorang perempuan yang lahir di Hanoi, Vietnam. Ayah Hildegard telah meninggal, begitupun juga dengan abang satun-satunya, tinggallah ia dengan ibunya. Perkenalan Romo Rahadi dan Hildegard terjadi di Jerman, ketika Romo Rahadi menjalani perutusan sebagai seorang pelajar. Sehari-hari Hildegard bekerja di perpustakaan sebagai kerjaan sampingan seorang mahasiswa tamu di Wina. Pada suatu kesempatan di sebuah café, Romo Rahadi dan Hildegard berbagi cerita tentang kehidupan. Di situlah, mulai tumbuh rasa kagum Romo Rahadi atas Hildegard, terutama ketika Hildegard mencurahkan keluh kesahnya tentang kehidupan. Setelah beberapa lama tak bersua, akhirnya Romo Rahadi dan Hildegard berjumpa lagi dalam perjalanan menuju Irian. Jiwa berpetualang yang dimiliki Hildegard membawanya pada perjumpaan dengan Romo Rahadi. Dalam perjalanan itu mereka menggunakan pesawat yang sama dan duduk berdampingan. Perasaan kagum Romo Rahadi akan paras Hildegard, kembali muncul. Di dalam pesawat tersebut mereka kembali berbagi kisah satu sama lain, sampai akhirnya mereka harus kembali berpisah ketika pesawat mendarat di Jayapura-Sentani. Romo Rahadi melanjutkan perjalanan menuju rumah sanak keluarga, sedangkan Hildegard melanjutkan perjalanan menyusuri alam Papua bersama rombongannya.
Ketika Romo Rahadi sampai di rumah sanak keluarga, ia kembali mendengar sebuah nama yang tidak asing dari sejarah perjalanan hidupnya. Ponakan Romo Rahadi menyebutnya dr. Rosi. Rosi adalah kisah kasih Romo Rahadi di masa lalu. Rosi hidup sebatang kara sepeninggal suaminya yang berpulang ke hadirat Allah. Dalam keadaan sebatang kara ia mengalami sakit dan dirawat di rumah Tress. Melihat keadaan Rosi, perasaan akan indahnya masa lalu kembali menghatui Romo Rahadi. Seandainya ia tidak memilih menjadi imam, mungkin ia dapat membahagiakan Rosi dalam kehidupan rumah tangga seperti orang-orang pada umumnya.
Pada suatu petang, seluruh keluarga Swantaji merayakan kesembuhan dan keberangkatan tugas Rosi. Mas Swan meminta Romo Rahadi menemani Rosi menuju tempat tugasnya di Enarotali. Setelah itu Romo Rahadi melanjutkan perjalanan menuju Wamena. Selama di Wamena Romo Rahadi dan Rosi beberapa kali saling bersurat tentang perasaan dan perjumpaan mereka. Sampai suatu kali Romo Rahadi dipanggil ke Merauke oleh Kolonel Swantaji menjadi penerjemah dalam operasi penyelamatan ekspedisi yang diculik di Agats. Setibanya di Merauke, ternyata sudah ada Mas Swan dan Rosi yang menjemput di lapangan terbang.
Romo Rahadi, Mas Swan bersama rombongan penyelamat berangkat menuju Agats. Setibanya di Agats mereka melanjutkan perjalanan ke Komor untuk mengadakan operasi penyelamatan. Mereka menyusuri hutan belantara untuk memulai operasi penyelamatan. Ternyata korban penculikan dalam operasi penyelamatan ini adalah ekspedisi yang diikuti oleh Hildegard. Korban ditahan oleh salah satu suku di pedalaman tersebut. Dengan keji suku tersebut memperlakukan korban secara tidak manusiawi. Operasi tersebut tidak mampu berbuat banyak hal sebab nyawa beberapa orang tidak tertolong, termasuk Hildegard. Jenasah Hildegard pun dibawa menuju Merauke. Setelah dibersihkan, jenasah Hildegard dibawa menuju gereja Katedral untuk didoakan dalam Misa Requiem. Selapas misa, jenasah dimakamkan dengan cara dilarung di laut sesuai dengan kehendak yang meninggal.
Semenjak kejadian itu Romo Rahadi dan Rosi masih menikmati perjumpaan di Merauke. Mereka berbagai kisah, perasaan dan pergulatan masing-masing. Sampai tiba waktunya Romo Rahadi meninggalkan Merauke menuju Jayapura dan kembali ke tempat tugasnya.
D. Wajah Gereja Dalam Novel Romo Rahadi
Wajah Gereja dalam novel Romo Rahadi tampak dalam berbagai dialog antar tokoh dalam alur kisah. Setiap percakapan menyiratkan beberapa peran dan pesan mengenai Gereja yang mau diperlihatkan. Gambaran mengenai Gereja diwakili oleh tokoh utama dalam novel yaitu Romo Rahadi. Gambaran-gambaran mengenai Gereja yang tampak dalam novel antara lain:
Gereja yang Dikritik
Dinamika kehidupan Gereja yang tidak pernah terlepas dari masa suram kehidupan Gereja. Menarik bahwa tokoh Hildegard memperlihatkan gambaran mengenai Gereja di tempat Romo Rahadi menjalani masa perutusan sebagai seorang pelajar.
Sudah Tuan, silahkan tenang-tenang berdoa saja di sini. Seperti Parisi dulu. Seperti imam-imam semua. Yang selalu jijik melihat kami. Sumber godaan bukan? Selamat berbalik kepada mereka yang baik-baik saja, Tuan rohaniwan. Toh orang semacam aku ini cuma lubang buangan hina. (RR: 34)
Konteks Gereja yang memandang sebelah mata orang-orang dengan kehidupan yang cenderung menekankan keduniawian membuat Gereja sulit untuk merangkul orang-orang tersebut. Gereja mungkin menjauhi mereka. Bahkan, menganggap mereka sebagai sampah, sehingga Gereja jijik terhadap mereka. Sampai-sampai dipandang sebagai sumber godaan. Gereja di sini, lebih memperlihatkan mengenai sikap imam-imam yang takut tergoda dengan mereka yang memiliki kehidupan sangat duniawi.
Berhadapan dengan kritik ini, Romo Rahadi justru mengambil sikap yang berbeda dengan anggapan orang-orang. Ia memperlihatkan sikap Gereja yang mau menerima dan mendengarkan pengalaman dan keluh kesah orang-orang yang mungkin bisa dikatakan menganut hedonisme. Sikap yang ditampilkan oleh room rahadi ini selaras dengan apa yang digagas oleh Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium, “Saya lebih suka Gereja yang memar, terluka dan kotor karena berada di jalan-jalan, daripada sebuah Gereja yang tidak sehat karena terkungkung dan menutup diri dalam rasa amannya sendiri” (EG. 49).
Gereja yang Mendengarkan
Gereja dipanggil untuk mengambil bagian dalam mewartakan dan mengerjakan karya keselamatan bagi semua orang (GS 1; LG 17; AA 2) dengan menyalurkan buah-buah keselamatan kepada manusia (LG 8) sampai pada kepenuhan keselamatan, yaitu ketika Kristus datang kedua kalinya dan segala sesuatu diperbarui dalam Kristus pada kemuliaan surga (Kis 3:21) di mana Ia menjadi segala dalam segala (1Kor 15:28). Tugas mewartakan Injil adalah tugas hakiki dari Gereja. Gereja hadir sebagai penyalur rahmat (EN 14). Sebagai penyalur rahmat, kehadiran Gereja tentu diharapkan menjadi rahmat bagi semua orang. Gereja itu hadir untuk mewartakan Kabar Gembira. Ketika Gereja berhadapan dengan berbagai situasi, maka sikap yang diharapkan ialah Gereja sungguh hadir dan masuk ke dalam situasi orang agar orang yang mengalami kekelaman bisa bangkit dan merasakan kebahagiaan (bdk LG 1). Sikap seperti ini diperlihatkan Romo Rahadi pada saat mendengarkan keluh kesah Hildegard.
Mengapa Tuhan menciptakan laki-laki begitu kasar, Tuan? Kalau ada, Tuhan memuakkan. Kami perempuan masih luwes dan tubuh kami masih menggambarkan kehinaan alam raya. (RR:44)
Pengalaman kehilangan seorang ayah membuat Hildegard sulit menemukan laki-laki yang sungguh sejati. Laki-laki yang memperlakukan perempuan dengan baik, bukan dengan motivasi lain yaitu menjamah dan menikmati tubuh wanita semata. Maka, semua lelaki dianggap sama di mata Hildegard. Bahkan, Tuhan pun tidak masuk akal menurutnya, hanya sebuah konsep yang jauh di angan.
“Saya tidak begitu paham dan mengerti tepat maksud ujaran Nona tadi. Tetapi marilah kita sebisanya menjadi Bungan teratai. Betapa pun busuk dan kotor lumpur yang mengelilingi kita, teratai tetap mekar dan menyinarkan kemurinian, dan warnanya serba tenang.”
“O la laa! Itu cita-cita yang terlalu indah. Tidak realistis. Mungkin di negeri tuan tumbuh banyak teratai. Tetapi di negeri dingin di sini, entahlah. Mungkin hanya di kolam-kolam istana yang sudah dijadikan museum. Bunga teratai … ah seandainya itu masih terjangkau. Tetapi agaknya paling sedikit bagiku, sudah terlambat.”
“Tidak ada seseuatu yang terlambat. Anda masih muda. Dan Anda tadi masuk gereja, bukan? Kendati banyak turis atau orang masuk gereja tanpa menghayati arti, tetapi tadi pagi, pasti banyak dan besar artinya bagi Anda.”
“Sudah saya katakan. Saya tadi masuk gereja tidak untuk berdoa. Saya hanya menginginkan kegelapan dan keheningan.”
“Di dalam gelap serta hening kekuatan Tuhan meraja.”
“Tidak seandainya Tuhan ada, pasti Ia menjauhiku. Bukan itu. Saya hanya merasa seperti ada sesuatu yang mencium sayang. Mungkin itu ayahku.”
“Ayahmu adalah sebagian dari ayah kita bersama juga. Dalam kegelapan Tuhan mencium setiap wajah yang jujur menangis rindu.”
“Ah… Aku tidak percaya. Sudah terlanjut tidak percaya. Apa itu Tuhan? Siapa Tuhan? Hanya kata belaka. Atau ide. Topeng. Cadar bikinan lelaki. Ayahku pasti akan membelaku bila ada tangan kurang ajar yang menjamahku. Tetapi Tuhan? Ia diam saja.”
“Siapa tahu, Nona, bila Tuhan diam itu berarti Ia percaya pada kedewasaan hati nurani kita.”
(RR: 47-48)
Bila Gereja mendengarkan dengan baik, maka selalu ada jalan bagi setiap orang untuk kembali pada Tuhan yang diimani. Romo Rahadi mendengarkan dengan baik seluruh pergulatan batin Hildegard. Dalam proses mendengar itu, ia mencoba memberikan setiap peneguhan yang berguna kendati dipandang terlalu ideal. Mungkin inilah juga yang terjadi bila seorang imam berhadapan dengan curahan hati seseorang, terlalu banyak berkata yang ideal semata. Akan tetapi, menarik bahwa Romo Rahadi tanpa ragu memberikan kata-kata sebagai peneguhan.
“Hildegard, kita bisa membantu meringankan penderitaan orang lain, bila kita menaruh harapan. Sering bahkan dituntut harapan pada sesuatu, yang tampaknya melawan harapan kita.”
“Harapan…harapan… apa yang bisa diperbuat dengan harapan. Apa yang bisa dirasakan bila orang merasa kosong. Ya benar aku merasa kosong, kosong. Tuan tidak akan bisa merasakan, bagaimana perasaan kekosonganku.”
“Bila kita kosong kita mendekati kebahagiaan, sebab keseluruhan isi akan datang dari Tuhan. Itu paling sedikit suatu kemungkinan yang bisa kita harapkan. Asal kita mau ikhlas.”
(RR: 51)
Peneguhan yang diberikan Romo Rahadi mengajak Hildegard untuk memunculkan suatu harapan tentang kehidupan yang lebih baik. Di balik sebuah harapan akan ada peneguhan dari Tuhan. Harapan yang datang dari Tuhan seperti hanya sebuah konsep. Bagi Hildegard harapan itu harus berwujud. Ia menemukan itu dalam diri Romo Rahadi. Tanpa disadari Romo Rahadi pun mulai menaruh perasaan pada Hildegard, gadis cantik nan rupawan.
Gereja yang Manusiawi, Tetapi perlu Bermartir
Kekaguman Romo Rahadi terhadap Hildegard menggambarkan Gereja yang tidak terlepas dari sisi kemanusiaannya (bdk. LG 8). Artinya, kendati orang sudah mengabdikan diri pada Gereja, ia pun masih memiliki sisi kemanusiaan yang kadangkala membawa dirinya pada keraguaan terhadap pilihan hidup yang telah dijalani. Romo Rahadi mengalami hal tersebut. Ketika ia berpisah dengan Hildegard, ia kembali dihadapkan pada masa lalu tentang kisah asmaranya dengan Rosi, seorang dokter yang kini menjanda dan bertugas di Papua. Pertemuan dengan Rosi sepertinya membuka kembali lembaran lama di masa lampau. Apalagi ketika Rosi sakit dan hidup seorang diri karena suami yang telah berpulang. Timbul perasaan kasihan yang dilandasi oleh cinta yang pernah dimiliki. Di tengah perasaan yang kembali muncul di hati, Romo Rahadi mendapat kabar buruk yaitu ekspedisi yang diikuti oleh Hildegard disandera oleh salah satu suku. Ia pun dilibatkan oleh Mas Swan dalam misi penyelamatan itu. Akan tetapi, ia tidak dapat berbuat banyak dalam operasi itu. Maka, muncullah rasa kecewa.
“Mukjizat Tuhan terbesar hanyalah akan cerdas yang telah ditanamkan dalam diri manusia dan yang giat mencari. Juga modal dapat mencintai dan mengorbankan diri demi seorang kawan. Tidak ada cinta yang lebih besar daripada mereka yang mengorbankan hidupnya demi sahabatnya, Sadarlah aku bahwa manusia seperti Kolonel Swan dan prajurit-prajurit peleton ini, yang bertekad bulat menempuh jalan maut demi sesamanya manusia, jauh lebih tinggi pengorbanan dan kemurnian tekadnya dari saya. Sebab mereka tidak punya pamrih, sedang aku, entalah…” (RR:236)
“Betapa agung pangkat Rohaniwan. Tetapi betapa hampa terasa dalam saat-saat seperti ini. Seharusnya perbedaan kasta rohaniwan dan awam atau ragawan harus hilang. Kita manusia, dan pemisahan antara rohani dan jasmani jauh lebih merusak dan membius daripada menolong” (RR: 260)
Kekecewaan hanyalah menjadi rasa kecewa atas kehilangan sosok Hildegard. Maka, Romo Rahadi tidak mau kehilangan sosok lain yaitu Rosi. Romo Rahadi membagikan keresahan dalam dirinya pada Mas Swan.
“Apa arti perempuan untukmu? Susu dan pangkuan?”
“Kalau cuma itu, mudah bagiku, Dengan enak aku akan dapat memakai Hildegard kala itu. Dnegan enak dan mudah. Gratis, Mas Swan. Ketika itu, bahkan Hildegard seperti meminta, memohon.” (RR: 330-331)
Di hadapan Rosi, Romo Rahadi pun memberanikan diri untuk mengungkapkan segala perasaannya. Tentang rasa yang dulu pernah ada dan sekarang kembali menggerogoti hati, agar tegas pada pilihan hidup.
“Rosi, Rosi, mengapa kau begitu memikirkan orang lain. Tanggung jawab kepada Tuhan akhirnya selalu bersifat pribadi.”
“Dan tanggung jawab kepada umat.”
“Umat? Siapa umat? Pasti ada yang tidak setuju, bahkan mencemoohkan kita. Tetapi ada juga yang pasti bisa mengerti, bahwa segala yang dipaksakan toh akan berubah. Lebih baik saya kembali menjadi awam akan tetapi gembira dan penuh damai berbuat sesuatu jasa untuk Gereja, daripada sebagai manusia separoh yang retak. Apa guna? Apakah seorang imam yang retak akan bisa berbakti dengan baik?” (RR: 356-357)
Rosi juga merasakan hal yang sama, tetapi ia sadar bahwa saat ini mereka sudah hidup di jalan yang berbeda.
“Didi… Didi… aku bukan tak seperasaan dengan mu.”
“Semuanya hanya tergantung darimu, Rosi.”
“Entahlah, Didi, kata-katamu dapat kumengerti. Hanya ada sesuatu dalam batinku yang berkata lembut: Lebih baik tanpa harapan.” (RR:360)
Akhirnya Romo Rahadi sadar akan pilihan yang sedang ia jalani. Romo Rahadi selalu ingat akan pesan Uskup Jayapura, “Akhirnya, hanya engkaulah, Rahadi, yang harus memutuskan, mana yang baik dan mana yang tidak.” Dalam surat kepada Bapak Uskup Jayapura, Romo Rahadi menegaskan bahwa ia belum menemukan jawaban pasti atas pergulatan yang ia alami.
E. Penutup
Hidup dalam keraguan membawa orang pada pencarian akan suatu kepastian tentang hidup. Keraguan adalah sebuah proses untuk menemukan suatu kebenaran akan jalan hidup yang dijalani. Sosok Romo Rahadi mengalami pergulatan batin yang membuatnya ragu, tetapi dalam keraguan itu tidak menjadi pribadi yang pasif, ia terus-menerus mencari kepastian yang membuatnya dapat keluar dari perasaan yang tidak menentu akan jalani hidup yang dijalani. Kehadiran orang-orang di sekitarnya memberikan begitu banyak pertimbangan yang berarti. Maka, di sini satu hal yang dapat dipelajari mengenai Gereja itu ialah bahwa Gereja terus berdinamika dalam sisi kemanusiaannya untuk terus mencari dan menemukan yang Ilahi. Sebab, hanya dalam Tuhanlah kepastian itu ada. Selama orang masih di dunia akan bergulat dengan berbagai hal.
F. Daftar Pustaka
Alkitab, Jakarta – Bogor: Lembaga Alkitab Indonesia, 1983.
Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana, SJ, Jakarta: Dep. Dokpen
KWI – Obor, 2012.
Evangelii Gaudium, diterjemahkan oleh F.X. Adisusanto, SJ, Jakarta: Dep. Dokpen
KWI – Obor, 2017.
Evangelii Nuntiandi, diterjemahkan oleh J. Hardiwikarta, Pr, Jakarta: Dep. Dokpen
KWI – Grafika Mardi Yuana, 2005.
Y.B. Mangun Wijaya,
1988 Sastra dan Religiositas, Kanisius: Yogyakarta.
2018 Romo Rahadi, Kanisius: Yogyakarta.
2020 Gereja Diaspora, Kanisius: Yogyakarta.
[1] Y.B. Mangun Wijaya, Sastra dan Religiositas, (Kanisius: Yogyakarta, 1988), 11-13.
[2] Y.B. Mangun Wijaya, Gereja Diaspora, (Kanisius: Yogyakarta, 2020), 19.
[3] Y.B. Mangun Wijaya, Gereja Diaspora, 19.
[4] Y.B. Mangun Wijaya, Gereja Diaspora, 20.
[5] Y.B. Mangun Wijaya, Gereja Diaspora, 55.
[6] Y.B. Mangun Wijaya, Gereja Diaspora, 58.
[7] Y.B. Mangun Wijaya, Gereja Diaspora, 64.
Komentar
Posting Komentar