SELF DISCLOSURE DALAM FORMASI CALON IMAM
A. Pengantar
Kualitas imam, lebih penting dari kuantitas imam. Di masa mendatang Gereja lebih
memerlukan imam yang berkualitas. Untuk menciptakan imam yang berkualitas
dibutuhkan persiapan matang dalam proses pembinaan calon imam. Persiapan seorang
calon imam menuju masa depan sangat menentukan kualitas seorang imam nantinya.
Ada berbagai bidang yang menjadi wadah pelatihan bagi calon imam, salah satunya
komunikasi. Mendidik dan membina calon imam dalam bidang komunikasi selalu
menuntut keterbukaan. Setiap calon imam didorong untuk berani mengungkapkan
segala macam hal mengenai dirinya dalam berbagai kesempatan, seperti bimbingan
rohani, pertemuan tingkat, colloquium,
correctio fraterna dan lain
sebagainya. Calon imam diharapkan sungguh terbuka mendeskripkan dirinya, tetapi
faktanya tidak semua calon imam mampu mengungkapkan dirinya dengan baik.
Bahkan, ada calon imam yang lebih memilih mengungkapkan dirinya kepada orang di
luar formasi imam (teman atau media sosial) daripada kepada para staf
pembimbing di seminari. Pertanyaannya, apabila yang terjadi ialah calon imam
lebih mengungkapkan diri kepada orang lain daripada staf pembimbing, apakah
imam yang berkualitas akan terbentuk di kemudian hari?
B.
Isi
1. Kepribadian
Ideal Calon Imam
Calon imam
perlu mengembangkan sifat-sifat manusiawi, baik demi pengembangan diri sendiri
maupun demi pelayanan yang akan diemban. Dalam pengembangan manusiawi, seorang
calon imam diharapkan berkembang menjadi orang yang dewasa. Diharapkan seorang
calon imam dapat sampai pada kematangan
afektif yang diperlukan bagi pelayanan.
“Kematangan afektif mengandaikan kesadaran bahwa peran sentral dalam
hidup manusia” (PDV 44). Seorang calon imam perlu berkembang menjadi pribadi
yang mampu mengambil keputusan secara mandiri, dan memberikan penilaian
obyektif dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan suara hati, norma-norma
moral dan kehendak Allah.
Hendaknya
calon imam belajar bersikap jujur, selalu mengindahkan keadilan, menepati
janji, mengendalikan diri, ramah dalam menghadapi sesama (Bdk. OT 11; PO 3; GE
1). Hendaknya ia mengembangkan semangat persaudaraan dan pengabdian dan
berjerih payah. Pengendalian diri yang dituntut sesuai dengan manusia dewasa
dapat menghantar pada semangat askese
yang sangat diperlukan dalam pengembangan rohani. Di samping itu, calon imam
hendaknya mengembangkan kemampuan untuk
menjalin hubungan yang tepat dengan semua orang tanpa membedakan suku dan agama[1]. Ia perlu belajar seni
berbicara kepada sesama dengan cermat dan mengungkapkan diri dengan jelas,
serta mendengarkan sesama dengan sabar[2].
2. Memahami
Self Disclosure
a) Pengertian
Self Disclosure merupakan tindakan pengungkapan
diri kepada orang lain. Self disclosure,
loosely defined as what individuals verbally reveal about themselves to others
(including thoughts, feelings, and experiences), plays a major role in a close
relationships[3].
Pengungkapan diri itu menyangkut pikiran, perasaan dan pengalaman. Pengungkapan
diri ini biasa terjadi dalam relasi dengan orang lain. Fokus dari pengungkapan
diri ialah diri sendiri. Pengungkapan diri berarti memberikan informasi
berkaitan dengan keadaan diri kepada orang lain. Self-disclosure is also a means by
which individuals learn about and develop relationships with one another[4].
Informasi yang diberikan kepada orang lain selalu didasari oleh kesadaran. Orang
secara sadar memberikan informasi tentang dirinya kepada orang lain yang telah
dipercayai.
Sangatlah sulit membangun suatu relasi mendalam tanpa self disclosure. Menurut Carl Rogers
(1970), self disclosure memiliki
makna relasi. Self disclosure dapat mengembangkan suatu
hubungan yang sangat dekat. Dengan menyatakan diri secara mendalam,
persahabatan akan semakin bertumbuh dan berkembang. Di samping itu, orang akan
saling mengenal satu sama lain, sehingga dalam berelasi ada sikap saling
menghargai.
Self disclosure memiliki dua bentuk yaitu:
pengungkapan deskriptif dan pengungkapan evaluatif. Pertama, pengungkapan
deskriptif yang tindakan seseorang memberikan informasi dengan menggambarkan
kepribadian atau kebiasaan menyangkut dirinya. Misalnya: kebiasaan minum
alkohol, menyebutkan jumlah saudara/i, dan sebagainya. Kedua, pengungkapan
evaluatif, yaitu tindakan pemberian informasi mengenai perasaan, pendapat dan
penilaian. Misalnya: aku sayang kamu, aku benci kamu, aku senang sekali dan
lain-lain[5].
b) Self-Disclosure
dan Relasi: Hubungan Kesalingan
Pengungkapan diri dan relasi dapat dikatakan sebagai
bagian yang saling melengkapi satu sama lain. Pengungkapan diri akan membentuk
relasi yang mendalam sedangkan, persahabatan akan membantu individu untuk
semakin mengenali dirinya. Semakin seseorang mengungkapkan dirinya, semakin
mendalam relasi yang dibangun. Begitu pun relasi yang kuat membuat orang
semakin mudah mengungkapkan dirinya. Selain itu, self disclosure dan relasi merupakan dua bagian yang bersifat
dinamis dan subyektif. It is necessary to
consider for a moment that both self disclosure and relationships are dynamic
and subjective[6].
Sifatnya yang dinamis dan subyektif dapat terjadi bahwa di suatu saat orang
mengalami ‘kekecewaan’, sehingga pengungkapan diri dan relasi menjadi mandek.
Pengungkapan diri dan relasi mendalam dapat berkembang
sekaligus merosot. Mark Knapp (1984) berpendapat bahwa dalam suatu relasi
selalu terdapat dua proses yaitu: coming
together dan coming apart.
Masing-masing proses ini memiliki lima tahap ibarat sebuah tangga[7].

o
Initiating: Pada tahap ini, percakapan yang
dilakukan dapat dikatakan masih sedikit.
o
Experimenting: Pada tahap ini, percakapan yang
dilakukan melalui suatu pertanyaan menyangkut hal-hal tertentu seperti
pekerjaan.
o
Intensifying: Pada tahap ini, pengungkapan diri
mulai luas dan dalam. Hal itu terungkap melalui perkataan.
o
Integrating: Pada tahap ini, pengungkapan diri
terus meningkat. Dalam berelasi orang mulai memikirkan hal-hal ke depan
berkaitan dengan relasi yang dijalani.
o
Bonding: Pada tahap ini, relasi yang telah
dibangun akan ‘diteguhkan’ di depan umum.

o
Differenting: Secara psikologis, orang yang
berelasi mulai memisahkan diri mereka dari identitas bersama dan membangun
jaringan sosial yang bersifat pribadi.
o
Circumscribing: Hal penting dihiraukan.
Percakapan tentang masa depan tergantikan dengan fokus pada masa kini.
o
Stagnating: Secara fisik dan psikologis orang
mulai memisahkan diri. Salah satu tanda yang tampak ialah konflik.
o
Avoiding: Pergaulan yang makin bertambah.
o
Terminating: Terjadi pemutusan relasi.
c) Manfaat
Pengungkapan diri atau self disclosure memiliki beberapa manfaat dalam membangun hubungan
yang mendalam dengan seseorang yang sudah dipercayai, baik sebagai teman maupun
sahabat. Berikut ini ada tiga manfaat self
disclosure:
1. Pengetahuan
Diri
Dalam
berelasi dengan orang lain, individu perlu mengungkapkan diri untuk mengenal
secara mendalam tentang kepribadiannya. Dengan mengungkapkan diri apa adanya,
orang yang mendengarkan dapat memberikan penilaian dari ungkapan diri. Feedback dari orang lain ini dapat
menjadi sarana bagi diri sendiri untuk semakin mengenal diri.
2. Mengatasi
Masalah
Kehidupan
setiap orang tidak terlepas dari masalah-masalah yang muncul. Memang ada orang
yang kadang dapat menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa melibatkan orang lain,
tetapi ada juga saat di mana orang membutuhkan orang lain untuk mencari solusi
dari masalah yang dihadapi. Untuk itu diperlukan keterbukaan dengan
mengungkapkan diri kepada orang lain. Berani terbuka kepada orang lain dengan
mengungkapkan diri akan menjadi jalan dalam mencari dan menemukan jalan keluar
dari suatu masalah yang dihadapi.
3. Relasi
Mendalam
Peungkapan
diri selalu diperlukan dalam berelasi. Pengungkapan diri secara jujur dapat
memberi ruang pada setiap individu dalam menciptakan hubungan yang dekat.
Semakin orang berani mengunkapkan diri, semakin erat hubungan yang dibangun.
d) Bahaya
Dalam
setiap pengungkapan diri, tentu ada konsekuensi yang akan dihadapi. Salah satu
bahaya yang bisa saja tercipta dalam self
disclosure yaitu profesionalitas. Yang dimaksud dengan bahaya
profesionalitas ialah kemampuan seseorang untuk menyaring hal-hal yang perlu
diungkapkan. Bila seseorang terlalu mudah mengungkapkan diri, maka orang
tersebut mudah jatuh dalam bahaya profesionalitas. Bisa saja dalam kesempatan
tertentu orang tersebut mengungkap perasaannya berkaitan dengan masalah
tertentu. Misalnya ketika seseorang mendengar masalah dari orang lain, kemudian
dia menceritakan masalah itu kepada teman atau sahabat dan pada prosesnya dalam
pengungkapan perasaan itu, orang tersebut kemudian menceritakan masalah orang
lain kepada teman atau sahabatnya itu.
Bahaya lain
yang bisa saja muncul mengenai self
disclosure yaitu bila pengungkapan diri dilakukan kepada orang di luar
formasi, terlebih khusus kepada lawan jenis. Jika self
disclosure ini terjadi, calon imam bisa saja memiliki ketergantungan yang
pada akhir membuat ia beralih dari jalan yang telah dijalani yakni menuju
imamat. Bahkan, bila calon imam ini sampai pada jenjang imamat atau menjadi
imam, bisa saja ia jatuh dalam masalah relasi yang tidak sehat.
e) Strategi:
Membangun ‘Budaya’ Self Disclosure di
Seminari
Keterbukaan
dalam formasi calon imam sangat dibutuhkan dalam proses menuju imamat.
Keterbukaan selalu menuntut setiap calon imam untuk bisa mengungkapkan
diri secara jujur, sehingga staf
pembimbing dapat membantunya untuk mengenali diri. Pengenalan terhadap diri
seorang calon imam akan terjadi apabila calon imam itu mampu mengungkapkan diri
dengan terus terang. Untuk membantu calon imam mewujudkan pengungkapan diri
yang jujur, staf pembimbing perlu menciptakan sikap saling percaya dalam suatu
komunitas. Orang dapat terbuka mengungkapan diri, bila ada kepercayaan.
Begitu pun calon imam, mereka berani
mengungkapkan diri bila dalam dirinya sudah tercipta suatu kepercayaan. Di
samping itu, calon imam juga perlu membangun kepercayaan diri bahwa semakin
dirinya terbuka mengungkapkan diri, ia semakin megenal diri. Dengan demikian,
motivasi menjadi imam terus berkembang menuju suatu kematangan.
Calon imam
dalam prosesnya diharapkan menjadi orang yang mampu memiliki seni dalam
berbicara dan mendengarkan. Kemampuan berbicara dan mendengarkan merupakan
bagian dari self disclosure. Artinya,
calon imam akan mengungkapan dirinya dalam kata serta mendengarkan apa yang
dikatakan berkaitan dengan dirinya. Kemampuan berbicara dan mendengarkan ini
memerlukan suatu pengendalian diri, agar nantinya calon imam tidak jatuh dalam
bahaya porefesionalitas di kemudian hari. Pengendalian diri dapat dibentuk
dengan membangun suatu kesadaran penuh sebelum mengungkapan suatu hal mengenai
dirinya.
C. Penutup
Self
disclosure dalam
formasi calon imam sangat diperlukan untuk ‘menciptakan’ imam-imam yang
berkualitas. Setiap calon imam perlu secara terbuka mengungkapkan diri, agar ia
mengetahui dengan sungguh tentang dirinya sebagai seorang calon imam.
Keterbukaan calon imam berangkat dari diri sendiri dan didikung oleh komunitas.
Setiap orang dalam komunitas membuka ruang yang mengedepankan kepercayaan,
sehingga calon imam berani membuka diri secara jujur.
D. Daftar
Pustaka
KOMSOS
KWI,
1987 Pedoman
pendidikan calon imam di bidang komunikasi sosial, (Jakarta: Komisi KOMSOS KWI).
Purwatma,
M.,
2002 PEDOMAN
PEMBINAAN CALON IMAM DI INDONESIA (Jakarta: Komisi Seminari KWI).
Sabine
Trepte,
2011 Privacy Online: Prespective on Privacy and
self dislosure in the Social Web (Verlag Berlin Heidelberg: Springer).
Valerian
J. Derlega dkk,
1993 Self-Disclosure (California: Sage
Publications).
[1] M. Purwatma, PEDOMAN PEMBINAAN
CALON IMAM DI INDONESIA (Jakarta: Komisi Seminari KWI, 2002), 29-30.
[2] KOMSOS KWI, Pedoman pendidikan
calon imam di bidang komunikasi sosial, (Jakarta: Komisi KOMSOS KWI, 1987), 19.
[3] Valerian J. Derlega dkk, Self-Disclosure (California: Sage
Publications, 1993), 1.
[4] Sabine Trepte, Privacy Online: Prespective on Privacy and
self dislosure in the Social Web (Verlag Berlin Heidelberg: Springer,
2011), 20.
[5] Valerian J. Derlega dkk, Self-Disclosure, 5.
[6] Valerian J. Derlega dkk, Self-Disclosure, 10.
[7] Valerian J. Derlega dkk, Self-Disclosure, 12-14.
Komentar
Posting Komentar