Ritual Andangingi dalam Masyarakat Adat Kajang


1.      Masyarakat Adat Kajang atau Masyarakat Tana Towa
Masyarakat adat Kajang adalah suatu suku yang bermukim di Desa Tana Towa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan. Desa Tana Towa merupakan kawasan adat masyarakat Kajang. Kawasan ini dibagi menjadi dua yaitu ilalangembaya (kawasan dalam) dan ipantarangembaya (kawasan luar). Batas kedua kawasan ini ditandai oleh sebuah gerbang dengan arsitektur tradisional. Setiap orang yang memasuki kawasan ini harus mengenakan pakaian hitam dan berjalan kaki, sebagai simbol kesederhanaan.  Selain itu, orang-orang yang berkunjung ke daerah ini dibatasi dalam menggunakan alat teknologi seperti handphone, kamera dan sebagainya.[1] Masyarakat adat Kajang memiliki konsep tersendiri mengenai Yang Ilahi, alam semesta dan manusia.

1.1  Pandangan tentang Yang Ilahi
Patuntung sebagai kepercayaan lokal masyarakat adat kajang juga mengenal tentang Yang Ilahi (Turi’e A’ra’na).Percaya kepada Turi’e A’ra’na merupakan konsepsi ketuhanan dalam ajaran Pasang. Turi’e A’ra’na adalah satu-satunya kekuasaan Yang Maha Mutlak dan merupakan sumber dari semua wujud. Bagi komunitas adat Kajang tumbuh konsep ketuhanan yang tunggal, mereka percaya bahwa apabila terdapat lebih dari satu Tuhan, maka dunia menjadi tidak tentram dan kacau. Seperti ungkapan dalam Pasang sebagai berikut: Turi’e A’ra’na ammantangi ri pangnge’rakkangn, Anrei niissei rie’ na anre’na Turi’e A’ra’na, nake pala’doang. Artinya Turi’e A’ra’na tinggal berbuat/pada sesuatu kehendaknya (Yang Ilahi melakukan sesuatu atas kehendaknya sendiri), tidak diketahui dimana adanya Turi’e A’ra’na tetapi kita minta rahmatnya, Padalo’ji pole nitarimana pa’nga’ratta iya toje’na. Artinya diterima atau ditolaknya permintaan kita, dia yang tentukan. Turi’e A’ra’na itu sendiri merupakan pula sebagai ungkapan dogmatis yang terdiri dari empat kata yang setiap kata mempunyai arti tersendiri. Tu adalah singkatan dari kata tau (bahasa konjo) yang berarti orang. “rie’ berarti ada atau mempunyai. a’ra berarti kehendak, sedang kata na merupakan kata ganti milik. Jadi Turi’e A’ra’na berarti orang Yang Berkehendak atau Yang Maha Berkehendak. Hal tersebut sejalan dengan tulisan Ranre (1978) dan Badrum, (2006 ) yang menjelaskan, bahwa masyarakat adat Kajang mengakui Tuhan yang Esa atau Allah, namun di kalangan mereka pantang atau kasipalli menyebut Allah, akan tetapi menyebutnya dengan nama Karaeng Kaminang Kammaya atau dengan bahasa Kajang Karaeng Kaminang Jaria A’ra’na (Turi’e A’ra’na) artinya Tuhan Yang Maha Kuasa.[2]

1.2  Pandangan tentang Alam Semesta
Masyarakat adat Kajang percaya bahwa di setiap tempat, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda tertentu dihuni oleh kekuatan gaib, terutama di tempat yang anggap keramat oleh masyarakat sekitar. Kekuatan itu diyakini berasal dari ‘ketiga’ Yang Ilahi yang menjaga semesta ini. Masyarakat adat Kajang melalui kepercayaannya melihat alam sebagai suatu kesatuan yang berkaitan satu sama lain. Selain itu, masyarakat adat Kajang juga meyakini bahwa alam semesta ini terdiri dari tiga benua yaitu benua atas, benua tengah dan benua bawah. Benua atas berpusat pada botting langit, benua tengah disebut lino yang dihuni oleh manusia dan benua bawah disebut paratihi yang dianggap berada di bawah air.[3] Menurut, masyarakat kajang pengrusakan terhadap alam memunculkan ketidakharmonisan.

1.3  Pandangan tentang Manusia
Manusia berasal dari kegelapan dan terlahir ke dunia dengan cahaya terang benderang. Di hadapan Yang Ilahi, manusia dipandang sama dalam segala hal, termasuk dalam kesederhanaan. Kesederhaan itu dilambangkan dengan mengenakan pakaian hitam oleh seluruh anggota masyarakat adat Kajang. Pola hidup sederhana itu disebut tallasa kamase-kamasea. Kesederhanaan adalah salah satu ciri utama yang menekankan orientasi hidup saling rukun dalam satu rumpun, saling berbagi, tidak melebih-lebihkan dan memperlakukan makhluk hidup lain secara bersahaja.[4]

1.4 Pandangan Keselamatan
Keselamatan berasal dari Yang Ilahi. Manusia menanggapi keselamatan itu dengan membangun relasi yang harmonis dengan sesama dan lingkungan sekitar. Hubungan yang harmonis itu terjadi ketika manusia mengsyukuri apa yang dialami dalam kehidupan masyarakat, baik dengan sesama maupun lingkungan sekitar. Apabila manusia melakukan tindakan yang tidak baik seperti mengabaikan prinsip kesederhanan (tallasa kamase-kamasea), maka dalam kehidupan sehari-hari akan ada ketidakbaikan seperti gagal panen atau usaha untuk menggarap alam tidak berjalan dengan baik. Bahkan, orang bisa merasakan sakit. Untuk menghindari masyarakat Tana Towa untuk tetap sehat dalam lindungan Yang Ilahi, masyarakat melakukan ritual Andangingi atau ‘mendinginkan bumi’. Melalui ritual tersebut, masyarakat bersyukur sekaligus memohon pada Yang Ilahi agar mereka dihindarkan dari berbagai ketidakbaikan.[5] Termasuk di dalamnya bila masyarakat sudah jatuh dengan melakukan ketidakbaikan, ritual tersebut dapat dikatakan sebagai jalan pendamaian.
Manusia tidak dapat hidup mandiri tanpa ‘penyertaan’ Yang Ilahi. Bagi masyarakat Tana Towa, Yang Ilahi selalu memberikan kebaikan-Nya dalam kehidupan. Manusia selalu menggantungkan hidup pada Yang Ilahi. Namun, di sisi lain manusia kerapkali masih terikat dalam perilaku manusiawi yang membuat mereka lupa akan kebaikan Yang Ilahi. Akibatnya, manusia jatuh pada tindakan yang membuat mereka jauh dari Yang Ilahi. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat mulai memperlakukan alam secara tidak baik atau bertindak secara tidak manusiawi kepada sesama. Sejauh ini, perilaku seperti ini jarang ditemukan dalam kehidupan masyarakat, sebab mereka masih menjunjung tinggi persaudaraan dengan sesama dan alam. Bahkan, masyarakat Tana Towa masih membatasi diri dengan perkembangan zaman. Mereka tetap memilih menghidupi prinsip kesederhanaan yang disimbolkan dengan penggunaan pakaian hitam dalam hidup sehari-hari.
Dalam kehidupan, masyarakat selalu mempercayai bahwa relasi yang harmonis dengan lingkungan dan sesama merupakan gambaran relasi yang harmonis dengan Yang Ilahi. Masyarakat Tana Towa mempercayai bahwa Yang Ilahi selalu hadir dalam kehidupan melalui apa yang ada di sekitar mereka. Yang Ilahi menuntun masyarakat Tana Towa untuk menjalani kehidupan mereka di dunia yang fana ini. Turi’e A’ra’na (Yang Berkehendak) dapat memberikan tuntunan (Patuntung) dalam berperilaku, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Mereka pula berkeyakinan bahwa ia merupakan pencipta dari segala sesuatu yang ada di dunia atas dan dunia fana atau dunia bawah. Ia menyerupai sesuatu, tetapi ia bukan sesuatu. Dialah yang memberi tuntunan dan kehidupan kepada seluruh makhluk yang ada di langit dan di dunia ini. Itulah sebabnya perlakuan terhadap para leluhur mereka dilakoninya dengan tidak memperhitungkan persoalan untung rugi, akan tetapi yang terpenting baginya mempertahankan adat dan budaya dalam berbuat menjadi suatu tuntutan ummat, seperti halnya pelaksanaan upacara atau ritual. Adapun hakekat dari pada keberadaan Turi’e A’ra’na berada dalam semua ruang dan waktu, sehingga tidak diketahui secara tepat dimana dia berkedudukan. Namun apabila Turi’e A’ra’na berkenan memberi rahmat dan anugerah, maka akan sampai ke manusia sehingga meskipun kedudukan Turi’e A’ra’na tidak diketahui secara pasti. Namun jika manusia taat menjalankan perintah-Nya dan menjauhi apa yang dilarang maka akan bertemu dengan Turi’e A’ra’na. Sebagaimana isi Pasang, bahwa Siitte maki anjo punna nigaukangi passuroanna, na nililiangngi pappisangkanna. Artinya Manusia akan saling melihat/bertemu dengan Turi’e A’ra’na apabila dikerjakan perintahnya dan menjauhi larangannya.[6]
Kemahakuasaan Turi’e A’ra’na dalam semesta ini tak terbatas, segala sesuatu yang dia kehendaki akan terjadi dan manusia tidak memiliki daya apapun terhadap segala keinginannya. Namun yang dapat diperbuat oleh manusia itu sendiri adalah permohonan doa kepada Turi’e A’ra’na dengan jalan berserah diri/pasrah melalui tapakkoro’. Kepercayaan dan penghormatan terhadap Turi’e A’ra’na merupakan keyakinan yang paling mendasar dalam agama adat. Masyarakat adat Kajang percaya bahwa Turi’e A’ra’na adalah “Tuhan” alam semesta dan pencipta segala sesuatu, Maha kekal, Maha mengetahui, Maha perkasa, dan Maha kuasa. Turi’e A’ra’na adalah causa-prima yang berada pada kedudukan puncak penyembahan. Kekuatan supranatural, tetap mendapat perhatian yang kuat pada komunitas adat Kajang, akan tetapi masih di bawah status tertinggi Turi’e A’ra’na.[7]

1.5  Ritual Andangingi
Andangingi berarti mendinginkan. Ritual Andangingi  secara sederhana dapat dikatakan ‘proses mendinginkan bumi’. Ritual ini dilakukan ketika bulan purnama tiba, tepatnya antara bulan Januari sampai Februari. Pada saat mengadakan ritual ini, warga Tana Towa berbondong-bondong menuju Borong Karama’ (tempat mengadakan ritual). Sejak matahari terbit, warga Tana Towa dengan pakaian tradisional yang berwarna hitam berarak sambil membawa segala perlengkapan yang akan digunakan dalam prosesi ritual.
Ritual Andangingi memiliki tujuh prosesi yaitu Arunding (musyawarah) Appatelentenge ere (memindahkan air suci) , minum tuak, A’bebese (memercikan air suci), A’bacca atau A’barrak, Allabbiang Dedde (pemberkatan sesajen), penyampaian Pappasang sekaligus Assalama’ atau makan bersama. Dalam prakteknya, sebelum melaksanakan ritual ini, pemimpin ritual (Ammatoa) akan membakar kemenyan, mempersembahkan sesajen dan menorehkan darah hewan pada tanah.  Pelaksanaan ritual ini tidak terlepas dari makna. Ritual Andangingi memiliki empat makna yaitu sebagai bentuk interaksi manusia dengan alam, sebagai bentuk rasa syukur terhadap Tuhan, untuk mengharmoniskan alam dengan manusia dan untuk melestarikan alam semesta.[8] Selama melaksanakan ritual ini, warga Tana Towa akan bersukacita agar mereka yang melakukan ritual ini mendapat berkah dari Yang Ilahi, serta dijauhkan dari mala petaka, misalnya bencana alam.

1.6  Ritual Andangingi dalam perspektif Van Gennep
1.6.1        Tahap Separasi
Dalam ritual Andangngi, tahap separasi dapat ditemukan dalam proses pertama ritual yaitu arunding (musyawarah). Melalui proses arunding, masyarakat Tana Towa berkumpul untuk menentukan hari pelaksanaan ritual Andangingi sekaligus membahas segala macam persiapan yang berkaitan dengan ritual. Biasanya berdasarkan hasil musyawarah, masyarakat Tana Towa bersepakat melaksanakan ritual Andangingi pada bulan purnama, lebih tepatnya di antara bulan Januari sampai bulan Februari. Ketika hari pelaksanaan ritual tiba, sejak pagi masyarakat Tana Towa berbondong-bondong menuju Borong Karama’ (tempat mengadakan ritual). Mereka akan membawa berbagai bahan ritual seperti beras, ayam dan sebagainya.

1.6.2        Tahap Liminalitas
Tahap liminalitas dalam ritual Andangingi terdiri dari proses Appatelentenge ere (memindahkan air suci) , minum tuak, A’bebese (memercikan air suci), A’bacca atau A’barrak, dan Allabbiang Dedde (pemberkatan sesajen). Pemimpin ritual akan membacakan doa-doa dalam semua proses tersebut. Sembari pemimpin ritual memanjatkan doa, masyarakat Tana Towa yang hadir dalam ritual tersebut akan hening dan mengikuti setiap prosesi dengan khidmat. Di samping itu, masyarakat Tana Towa juga memanjatkan permohonan mereka masing-masing. Melalui permohonan itu, mereka berharap akan memperoleh kebahagiaan dalam hidup sehari-hari.

1.6.3        Tahap Paripatia
Ritual Andangingi akan diakhiri dengan proses penyampaian Pappasang sekaligus Assalama’ atau makan bersama. Di sinilah letak tahap paripatia. Masyarakat Tana Towa akan mendengarkan pesan-pesan yang baik untuk dipraktekkan dalam hidup sehari-hari baik dengan dalam berelasi dengan sesama dan alam sekitar. Pengamalan pesan tersebut merupakan cara terbaik untuk memperoleh kebahagiaan. Di samping itu, masyarakat Tana Towa juga mengakhiri ritual dengan makan bersama sebagai ungkapan syukur bersama. Mereka bersyukur atas kehadiran kerabat atau sesama. Mereka juga membangun keakraban melalui makan bersama itu dengan saling berbagi.

1.7  Pertanyaan Teologis
Jika keselamatan itu berasal dari Yang Ilahi dan diupayakan melalui relasi yang baik dengan sesama dan lingkungan, mengapa masyarakat Tana Towa masih menutup diri dari orang-orang (penggunaan alat teknologi) di luar suku mereka? Bukankah orang-orang diluar itu juga adalah sesama? Keselamatan dalam masyarakat Tana Towa itu seperti suatu hal yang diusahakan secara  komunal, lalu di mana peran individu?

1.8  Tanggapan Reflektif-Kritis
Dalam kehidupan masyarakat Tana Towa, hubungan yang harmonis dengan sesama  dan lingkungan diatur dalam prinsip kesederhanaan (tallasa kamase-kamasea: hiduplah dengan sederhana). Hal itu disimbolkan dengan penggunaan pakaian hitam dalam kehidupan sehari-hari. Secara harfiah, tallassa kamase-mase berarti hidup memelas, hidup apa adanya. Memelas, dalam arti bahwa tujuan hidup warga masyarakat Kajang menurut pasang adalah semata-mata mengabdi kepada Turi’e A’ra’na. Prinsip tallassa kamase-mase,berarti tidak mempunyai keinginan yang berlebih dalam kehidupan sehari-hari, baik untuk makan, maupun dalam kebutuhan pakaiannya. Dengan cara yang demikian, maka keinginan mendapatkan hasil berlebihan dari dalam hutan dapat dihindari, setidak-tidaknya dapat ditekan seminimal mungkin, sehingga hutan tidak terganggu kelestariannya. Hidup sederhana bagi masyarakat Kajang adalah semacam ideologi yang berfungsi sebagai pemandu dan rujukan nilai dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.[9] Dalam membangun relasi dengan Turi’e A’ra’na, masyarakat melakukannya melalui relasi dengan sesama dan lingkungan. Relasi dengan alam dan sesama menjadi salah satu hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam kehidupan. Namun demikian, masyarakat Tana Towa masih ‘masih’ membatasi relasi dengan sesama yang berasal dari luar suku mereka, khususnya dalam hal penggunaan teknologi karena ada ketakukan bahwa dengan masuknya penggunaan alat teknologi, anggota masyarakat mudah terpengaruh dan mengabaikan prinsip tallassa kamase-mase.[10] Oleh karena itu, sampai ini Ammatoa (kepala suku) belum menganjurkan masyarakat Tana Towa menggunakan alat teknologi.
Keselamatan dalam masyarakat Tana Towa dilakukan dalam kebersamaan, baik  itu dalam kebersamaan dengan sesama maupun alam sekitar. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa keselamatan itu diupayakan secara komunal. Meski demikian, hal ini tidak mengabaikan peran individu sebab kebersamaan yang dibangun berasal dari kesadaran masing-masing individu. Keselamatan yang diupayakan secara komunal itu tetap menuntut kesadaran individu. Ammatoa sebagai pemimpin suku menganjurkan masyarakatnya untuk melihat bahwa keselamatan itu harus di upayakan bersama. Setiap orang diberi kebebasan untuk memperjuangkan keselamatan itu secara bersama. Jika individu itu tidak terlibat, maka akibatnya ditanggung secara pribadi.


1.9  DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hafid,
2013    “Sistem Kepercayaan Pada Komunitas Adat Kajang Desa Tana Towa Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba”, Patanjala V.

Agus Budi Wibowo & Faisal,
2014    Kepeminpinan Tradisional Di Indonesia: Aceh Besar dan Kajang (Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan).

Aziz,
2008    Pesan Lestari dari Negeri Ammatoa (Makassar: Pustaka Refleksi).

Emil Fatra,
2017    Interaksi Komunitas Ke-Ammatoaan Pada Alam Melalui Ritual Andingingi” (Skripsi, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Alauddin).

Fridayani,
2015    “Talassa Kamase-masea: Ilmu hidup yang sebenarnya”, diakses dari https://fridayaniabdulkarim.wordpress.com/2015/04/29/talassa-kamase-masea-ilmu-hidup-yang-sebenarnya/. (24 November 2018. Pkl 09.17)

Pawennari Hijjang,
2005    Pasang dan Kepemimpinan Ammatoa”, Antropologi Indonesia  29.



[1] Agus Budi Wibowo & Faisal, Kepeminpinan Tradisional Di Indonesia: Aceh Besar dan Kajang (Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2014), 153 -154.
[2] Abdul Hafid, “Sistem Kepercayaan Pada Komunitas Adat Kajang Desa Tana Towa Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba”, Patanjala V (2013), 13.
[3] Aziz, Pesan Lestari dari Negeri Ammatoa (Makassar: Pustaka Refleksi, 2008), 10.
[4] Abdul Hafid, “Sistem Kepercayaan Pada Komunitas Adat Kajang Desa Tana Towa Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba”, 9.
[5] Emil Fatra, “Interaksi Komunitas Ke-Ammatoaan Pada Alam Melalui Ritual Andingingi” (Skripsi, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Alauddin, 2017), 56.
[6] Abdul Hafid, “Sistem Kepercayaan Pada Komunitas Adat Kajang Desa Tana Towa Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba”, 14.
[7] Pawennari Hijjang, “Pasang dan Kepemimpinan Ammatoa”, Antropologi Indonesia  29 (2005), 255-260.
[8] Emil Fatra, “Interaksi Komunitas Ke-Ammatoaan Pada Alam Melalui Ritual Andingingi, 50-60.

[9] Fridayani, “Talassa Kamase-masea: Ilmu hidup yang sebenarnya”, diakses dari https://fridayaniabdulkarim.wordpress.com/2015/04/29/talassa-kamase-masea-ilmu-hidup-yang-sebenarnya/. (24 November 2018. Pkl 09.17)

[10] Agus Budi Wibowo & Faisal, Kepeminpinan Tradisional Di Indonesia: Aceh Besar dan Kajang, 154.

Komentar

Postingan Populer