PASTORAL PERKAWINAN
A.
Pengantar
Panggilan hidup berkeluarga merupakan dambaan setiap
pasangan. Keluarga yang diharapkan setiap pasangan ialah hidup bahagia dan bisa
bertahan sampai maut memisahkan mereka. Mengharapkan keluarga yang ideal
seperti itu tidaklah mudah, sebab selalu ada saja sesuatu yang mengganjal dan menghalangi
kemesraan hidup bersama. Meskipun begitu, bila setiap pasangan memiliki
komitmen, badai pasti berlalu dan cinta tetap tumbuh dalam keluarga yang
dibangun. Oleh karena itu, tema pastoral perkawinan menjadi penting untuk
dipahami dengan baik agar setiap pasangan mampu membangun keluarga yang ideal.
B.
Isi
1. Perkawinan
Katolik
Perkawinan dalam Gereja
Katolik merupakan suatu panggilan. Setiap pasangan dipanggil untuk menghadirkan
Allah di tengah dunia melalui kesaksian hidup perkawinan mereka. Kesaksian
tentang hidup perkawinan itu akan semakin mudah dilaksanakan apabila setiap
keluarga memahami dengan baik hakikat, tujuan dan sifat perkawinan secara
Katolik.
a. Hakikat
Hakikat perkawinan secara
Katolik ialah “Perjanjian (foedus) perkawinan,
dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka
persekutuan (consortium) seluruh
hidup, yang menuruh ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan
pendidikan anak, oleh Kristus diangkat ke martabat sakramen” (Kan. 1055).
Perkawinan Katolik dilangsungkan oleh dua orang, yaitu seorang laki-laki dan
seorang perempuan. Dengan demikian perkawinan Katolik tidak mengenal poligami
dan poliandri. Alasan di balik pandangan ini ialah agar suami istri saling
memberikan perhatian dari hati yang utuh dan terdalam.[1] Selain itu, perkawinan
Katolik dilangsungkan berdasarkan suatu perjanjian dan kesepakatan bersama yang
diungkapkan secara bebas oleh pasangan itu sendiri. Adapun isi perjanjian dan
kesepakatan bersama ialah kebersamaan dalam seluruh aspek hidup (consortium totius vitae). Dasar dari
perjanjian ini ialah kepercayaan dan kesetiaan.
b. Tujuan
Dalam perkawinan Katolik ada
tiga tujuan suatu perkawinan yaitu membentuk persekutuan hidup demi kebahagiaan
suami istri (bonum coniugum), demi kelahiran dan pendidikan anak (bonum prolis)
dan demi kesetiaan suami istri (bonum fidei).
Relasi baik antara suami dan
istri menentukan kelangsungan hidup berkeluarga. Suami dan isrti perlu
memikirkan tentang bagaimana masing-masing dari mereka menyenangkan hati. Kitab
Kejadian mengatakan dengan sangat jelas tentang maksud ini. “Tidak baik kalau
manusia itu sendiri saja. Aku akan menjadikan penolong yang sepadan baginya”
(Kej 2:18).[2]
Hawa diciptakan Allah untuk menjadi teman hidup Adam. Mereka hidup bersama
untuk saling membantu dan saling membahagiakan. Sikap untuk saling
membahagiakan dan saling membahagiakan harus sudah muncul sejak masa pacaran.
Masa pacaran menjadi suatu persiapan, di mana setiap pribadi sudah mengetahui
kesukaan, keinginan, kebutuhan dan harapan. Di samping itu, perlu disadari
sejak awal bahwa tujuan membahagiakan pasangan ini menjadi tujuan pertama
karena perhatian pertama-tama harus diarahkan pada pasangan.
Efek dari tindakan
persetubuhan ialah kehamilan istri dan kelahiran bayi yang patut diterima
dengan senang hati. Di dalam Kitab Kejadian, Allah menciptakan manusia menurut
gambar-Nya. Menurut gambar-Nya diciptakan mereka: laki-laki dan perempuan.
Allah memberikan perintah untuk beranak cucu dan bertambah banyak (bdk Kej
1:28). Di sini, Allah menghendaki laki-laki dan perempuan mengadakan hubungan
seksual sebagai suami istri. Hubungan seksual suami istri harus dipandangn
sebagai tanda dan bukti pemberian diri yang dibangun atas dasar cinta. Hasil
dari hubungan seksual itu ialah kelahiran anak, buah kasih suami istri.
Salah satu unsur penting dalam
hidup manusia ialah mencari dan memelihara kekudusan. Kekudusan diperoleh dan
dipertahankan bila manusia hidup dalam ketaatan pada perintah Tuhan. Perintah
Tuhan yang pertama dan utama ialah hukum kasih. “Hukum yang terutama adalah
kasihilah Tuhan Allah dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap budi dan
segenap kekuatan. Hukum kedua ialah kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu
sendiri” (Mrk 12:29-31). Jadi, orang yang hidup dalam kekudusan adalah mereka
yang mengasihi Tuhan dan sesama seperti diri sendiri.[3]
c. Sifat-Sifat
Perkawinan Katolik memiliki
ciri khas perkawinan tersendiri. Di dalam kanon 1056 dikatakan bahwa ciri-ciri
perkawinan ialah unitas/monogam (kesatuan) dan indissolubiltas (tak dapat diputuskan/ tak terceraikan), yang dalam
perkawinan kristiani mendapat kekukuhan khusus atas dasar sakramen”.Unitas:
memiliki dua unsur yaitu unitif (menyatukan suami-isteri secara lahir batin)
dan monogam (perkawinan yang sah
hanya seorang laki-laki dan seorang perempuan). Indissolubilitas: perkawinan yang telah dilangsungkan secara sah
menurut tuntutan hukum, mempunyai akibat tetap dan tidak dapat diputuskan oleh
kuasa mana pun kecuali oleh kematian. Sifat tak terceraikan ini dibagi dua,
interna (ikatan perkawinan tidak dapat diputuskan oleh kemauan dan persetujuan
suami-isteri) dan eksterna (ikatan perkawinan itu tidak dapat diputuskan oleh
kuasa mana pun).[4] Indissolubilitas ini dibedakan menjadi dua yakni:
i.
Indissolubiltas
absoluta yaitu jika ikatan perkawinan tidak dapat diputuskan
oleh kuasa mana pun kecuali oleh kamitian. Satu-satunya perkawinan yang
memiliki indissolubilitas absoluta ialah adalah perkawinan yang sudah
disempurnakan dengan tindak persetubuhan.
ii.
Indissolubilitas
relativa yaitu bahwa ikatan perkawinan tersebut memang tidak
dapat diputuskan atas dasar consensus dan kehendak suami-isteri itu sendiri,
namun dapat diputuskan oleh kuasa gerejawi yang berwenang, setelah terpenuhinya
ketentuan-ketentuan yang dituntut oleh hukum seperti yang diatur dalam kan.
1142.
2. Panggilan
Keluarga Kristiani
Paus Yohanes Paulus II dalam
ensiklik Familiaris Consortio
menyebutkan ada empat tugas pokok keluarga kristiani,[5] yaitu:
a. Membangun
persekutuan Pribadi-Pribadi
Keluarga adalah persekutuan
pribadi. Setiap anggota mesti menghargai pribadi orang dan memperlakukannya
sebagai manusia. Tidak ada seorang pun yang boleh memandang pribadi sebagai
objek semata. Oleh karena itu, setiap pribadi dituntut untuk saling mendukung
perkembangan masing-masing individu. Dengan kata lain tidak ada sikap
membiarkan masing-masing pribadi berjalan sendiri. Sebagai suatu komunitas,
setiap pribadi harus berelasi secara wajar dan harmonis.
b. Melayani
Hidup
Dalam kehidupan, setiap
pribadi perlu mendapat ruang untuk mengembangkan potensi yang dimiliki. Apa
yang diberikan Tuhan mesti dilihat sebagai anugerah yang harus diolah
terus-menerus, setiap orang memiliki hak untuk mengembangkan bakat-bakatnya,
maka orang lain memiliki kewajiban untuk mengakui dan mengkondisikan
pegembangan bakat-bakat itu.
c. Turut serta
Mengembangkan Masyarakat
Keluarga merupakan bagian dari
suatu masyarakat. Maka, keluarga Kristen
diminta untuk terlibat dalam pembangunan masyarakat. Dalam kehidupan
bermasyarakat, setiap keluarga dipanggil untuk menjadi garam dan terang dunia.
Menjadi garam dan terang berarti menjadi saksi Kristus di tengah masyarakat. Apa
yang menjadi kepedulian masyarkat juga menjadi kepedulian setiap keluarga.
Salah satu bukti keterlibatan dalam masyarakat adalah mengarahkan dan mendidik
para anggotanya untuk ikut serta memerangi narkoba, terorisme dan kemiskinan.
d. Turut serta
dalam Hidup dan Perutusan Gereja
Keluarga Katolik bukan saja
bagian dari masrakat tetapi juga bagian inti dari Gereja. Sebagai bagian dari
Gereja, setiap keluarga dipanggil dan diutus Yesus bersama dengan-Nya
menyelamatkan dunia. Gereja hanya bisa menyelakatkan dunia kalau diri sendiri
sudah berjiwa penyelamat. Sebab itu, keterlibatan keluarga dalam kegiatan
Gereja adalah penting untuk memahami identitasnya sebagai warga Gereja dan
sekaligus memahami misinya di masyarakat, sebagai wujud partisipasi dalam
perutusan Yesus.
3. Menghidupi
nilai-nilai moral
Salah satu hal penting dalam
membangun keluarga adalah pendidikan nilai dalam keluarga.[6] Adapun nilai-nilai
tersebut antara lain sebagai berikut:
a. Membangun
Relasi Cinta
Cinta berarti memberi yang terbaik kepada orang lain.
Setiap anggota keluarga diarahkan mampun memberikan diri demi kepentingan
bersama. Sikap ini dapat diwujudkan kalau orang memiliki sikap rela berkorban.
Di samping itu, perlu dipahami bahwa mencintai seseorang berarti menerima
kelebihan dan kekurangannya. Orang saling menerima apa adanya. Cinta yang murni
menjadi dasar kehidupan bersama. Adapun cinta murni dibuktikan dengan
memperhatikan, memiliki kepedulian, dan menghargai pertolongan.
b. Kesetiaan dan
Kemurnian
Kesetiaan adalah salah satu
kunci mempertahankan perkawinan dan membangun kerukunan dalam hidup berkeluarga.
Suami istri perlu belajar untuk membangun kesetiaan satu sama lain, setia pada
janji perkawinan. Dalam keluarga, anak-anak dididik untuk setia berbuat baik:
setia menghormati dan mendengarkan orangtuanya, setia memelihara persahabatan
dan persaudaraan sebagai anggota keluarga.
c. Komunikasi
Keluarga menjadi kuat apabila
komunikasi yang terlajdi di antara sesama anggota keluarga terjalin dengan baik
dan sehat. Komunikasi yang baik itu ialah komunikasi yang berkaitan dengan pikiran dan perasaan. Orang
mesti berbicara dari kedalaman batinnya tentang apa yang dirasakan secara
konkret. Artinya, orang secara terbuka dan jujur mengaatakan apa yang sedang
dipikirkan dan dirasakan.
d. Kebersamaan
Setiap keluarga perlu
menyediakan waktu untuk membangun kebersamaan. Orang boleh sibuk di luar rumah,
tetapi upayakan agar ada waktu untuk
berkumpul bersama di rumah. Kebersamaan itu dimulai dari kumpul bersama
secara fisik, sehingga muncul kebersamaan secara batin secara perlahan-lahan.
Kebersamaan seperti ini akan mengantar orang pada persektuan hidup.
e. Memaafkan dan
Kesabaran
Hidup berkeluarga tidak
selamanya berjalan mulus. Akan tiba saatnya dimana ada cobaan yang datang,
misalnya pertengkaran atau kesalahan lainnya. Dalam keadaan ini yang paling
penting untuk dilakukan ialah kerelaan untuk memaafkan. Di samping itu, atas dasar
kesabaran, setiap anggota keluarga diajak untuk berefleksi dan memperbaiki
diri.
f.
Hidup Doa
Doa merupakan sarana membangun
hidup rohani. Setiap orang beriman diharapkan membangun kedekatan dengan Tuhan
karena Dia pemilik segalanya, sumber kekuatan dan kehidupan kita. Tuhan lebih
mengenal dan memahami diri kita. Maka, setiap keluarga diajak untuk memiliki
kebiasaan mengutamakan hidup doa.
C.
Penutup
Hidup berkeluarga merupakan panggilan mulai. Setiap
orang diajak untuk memahami perkawinan dengan baik. Ada tiga hal yang perlu
diketahui dengan baik yaitu hakikat, tujuan dan sifat perkawinan Katolik.
Dengan mengetahui semua ini perkawinan dapat dimaknai secara mendalam. Pemaknaan
secara mendalam akan menunjukkan panggilan keluarga Kristiani (menjadi sarana
dan tanda kehadiran Allah di dunia). Untuk menjadi keluarga Kristiani yang baik
sebagai saksi Kristus, setiap pasangan perlu membina atau menghidupi berbagai
nilai moral. Nilai moral dapat dikatakan sebagai modal besar dalam mewartakan
Kristus, di tengah Gereja maupun masyarakat luas.
D.
Daftar Pustaka
Lerebulan,
Aloysius,
2016 KELUARGA KRISTIANI: Antara
Idealisme dan Tantangan, (Kanisius: Yogyakarta).
Rubiyatmoko, Robertus,
2011 PERKAWINAN KATOLIK menurut
KITAB HUKUM KANONIK, (Kanisius: Yogyakarta).
Komentar
Posting Komentar