Keharmonisan dalam Agama Shinto


A.    Sekilas tentang Shinto
Shinto adalah agama asli di Jepang yang telah berusia 2.000 tahun. Kata Shinto berasal dari bahasa Cina yaitu shin berarti dewa, to berarti jalan. Secara sederhana Shinto dapat diartikan sebagai jalan para dewa atau pemujaan para dewa. Nama Shinto sendiri pertama kali digunakan untuk menyebut agama asli Jepang ketika agama Buddha dan Konfusius memasuki Jepang pada abad ke-6 Masehi. Agama Shinto adalah kepercayaan terhadap adanya berbagai macam dewa (kami). Pemujaan terhadap para kami dilakukan melalui berbagai macam bentuk upacara dan perayaan keagamaan yang sangat erat dengan tradisi masyarakat Jepang.[1]

B.     Pembahasan
1.      Konsep Yang Ilahi
Dalam agama Shinto, Yang Ilahi disebut sebagai kami. Istilah kami dapat diartikan sebagai sesuatu yang memiliki sifat unggul atau kuasa. Jika diartikan secara spiritual, maka kami dapat disebut sebagai dewa. Dalam pengertian dewa, bagi bangsa Jepang kami memiliki pengertian yang jauh berbeda dari pengertian objek-objek pemujaan yang terdapat dalam agama-agama lain. Kami dapat diartikan secara tunggal dan jamak sekaligus.[2] Secara keseluruhan konsepsi kedewaan dalam agama Shinto yaitu: dewa-dewa merupakan personifikasi gejala-gejala alam, dewa-dewa dapat berupa manusia, dewa-dewa dianggap memiliki kekuatan yang mendiami tempat di bumi dan mempengaruhi kehidupan manusia, dan pendekatan manusia terhadap dewa-dewa tersebut berangkat dari perasaan segan dan takut.[3]

2.      Konsep Manusia
Agama Shinto menekankan bahwa manusia adalah ‘putra kami’. Ungkapan ini memiliki dua macam arti: pertama, hidup manusia berasal dari kami, sehingga dianggap suci; kedua kehidupan sehari-hari adalah pemberian dari kami.[4] Oleh karena itu, penghargaan dan penghormatan terhadap hidup manusia senantiasa dijunjung dalam kehidupan. Setiap pemeluk agama Shinto diharapkan wajib menyadari bahwa dirinya memiliki asal-usul yang suci, jiwa yang suci, jasmani yang suci dan tugas yang suci. Segala sesuatu harus dilihat sebagai sesuatu yang suci. Karena kesucian itu, manusia bekerjasama untuk membangun hidup yang sejahtera.[5]

3.      Konsep Alam Semesta
Dunia dalam ajaran agama Shinto dibagi menjadi tiga macam yaitu: Takamano-hara, berarti ‘tanah langit yang tinggi’, yaitu dunia suci yang menjadi tempat tinggal para dewa langit. Yomino-kuni, yakni tempat orang-orang yang sudah meninggal dunia, yang dibayangkan sebagai dunia yang gelap, kotor, jelek, dan menyengsarakan. Tokoyono-kuni, berarti, kehidupan yang abadi, negeri yang jauh di seberang lautan, kegelapan yang abadi, yaitu sebuah dunia yang dianggap penuh dengan kenikmatan dan kedamaian, tempat tinggal arwah orang-orang yang meninggal dunia dalam kesucian.[6]

4.      Konsep ‘Keselamatan’
Keselamatan atau keharmonisan dalam agama Shinto merupakan relasi yang damai antara manusia dan kami. Dalam kehidupan, manusia yang pada dasarnya adalah suci berusaha mendekatkan diri pada kami sebagai asal dan tujuan hidup. Dengan mendekatkan diri pada kami, manusia senantiasa memperoleh keharmonisan dalam kehidupan sehari-hari, sebab hidup sehari-hari adalah pemberian dari kami termasuk di dalamnya perlindungan. Kami sering diarak melewati jalan-jalan dalam tempat pemujaan agar masyarakat yakin bahwa kami sedang mengunjungi mereka.[7] Untuk memperjuangkan keharmonisan ini, manusia perlu menyadari kesuciannya. Dengan menyadari kesucian itu manusia dapat membangun relasi yang baik dengan kami.
Dalam agama Shinto konsep ketidakharmonisan atau dosa tidak dikenal. Segala upacara keagamaan yang dilakukan dalam agama Shinto bertujuan menciptakan kondisi yang ‘suci’ yang diperlukan untuk mendekatkan diri pada kami. Dalam kehidupan, berbagai kondisi yang kotor (penyakit, luka, menstruasi dan sebagainya) dipandang sebagai hal-hal yang dapat merusak hubungan manusia dengan kami. Bila manusia hidup dalam kekotoran itu, secara tidak langsung relasi dengan kami rusak. Ketika kondisi yang kotor itu dialami oleh manusia, maka orang harus menjauhkan diri dari keikutsetaan dalam persoalan-persoalan agama dan kehidupan sosial.[8] Untuk memulihkan kondisi yang kotor pada manusia, ada sebuah ritual penyucian yaitu Harae. Melalui ritual tersebut manusia kembali disucikan dari berbagai kondisi kotor yang terjadi pada dirinya.
Meski dalam agama Shinto ada ajaran tentang dunia yang penuh dengan kenikmatan dan kedamaian tempat tinggal arwah orang-orang yang hidupnya suci, sesungguhnya tidak ada ajaran tentang hidup di kemudian hari atau hidup setelah mati. Agama Shinto lebih menekankan ajarannya pada hidup masa kini, sebab dunia manusia tidak akan pernah musnah.[9] Hidup masa kini sangat berarti bagi setiap pemeluk agama Shinto. Setiap pemeluk agama Shinto diharuskan untuk berperan aktif secara langsung dalam perkembangan dunia yang abadi itu sembari memanfaatkan setiap saat dalam kehidupan semaksimal mungkin.
Jadi, keselamatan atau keharmonisan dalam agama Shinto merupakan relasi yang baik antara manusia dan kami. Dalam kehidupan keselamatan itu berasal dari kami dan terjadi setiap hari dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain keselamatan itu terjadi saat ini dalam kehidupan manusia. Manusia mempertahan keselamatan itu dengan hidup secara suci.

5.      Mengupayakan ‘Keselamatan’ dalam Agama Shinto melalui Ritus Harae
Harae atau harai merupakan ritus dalam agama Shinto untuk menghilangkan segala macam kotoran, baik jasmani maupun rohani. Menurut mite, ritus harae untuk pertama kali dilakukan oleh dewa Izanagi ketika ia membersihkan diri dari kotoran yang dideritanya akibat melanggar suatu pantangan pada saat berkunjung ke negeri Yomi. Dalam perkembangan selanjutnya ritus ini dilakukan mendahului suatu upacara keagamaan. Alat yang digunakan ada tiga macam yaitu: harai-gushi, sebuah tongkat kayu yang diberi kain atau sobekan kertas di ujungnya; onusa yaitu sebuah ranting pohon suci yang diujungnya diikatkan kain atau kertas; konusa, berupa suatu alat yang berukuran kecil dan digunakan seseorang untuk mengucikan dirinya sendiri. Dengan mengibaskan alat-alat tersebut ke kiri dan ke kanan, berulang-ulang, di atas kepala, maka ‘kotoran’ seseorang dianggap hilang. Dengan demikian orang tersebut menjadi suci kembali dan siap melakukan pemujaan terhadap dewa atau mengikuti upacara keagamaan.[10]

5.1  Tahap Separasi
Ritus Harae atau pemurnian dilakukan sesaat sebelum orang memberikan suatu persembahan kepada kami di tempat ibadah (Jinja) atau mengikuti  suatu upacara keagamaan dalam Shinto. Dalam prakteknya, orang-orang yang hendak memberikan persembahan kepada kami atau mengikuti upacara keagamaan akan menyucikan diri. Penyucian diri itu dapat dilakukan oleh pemimpin ibadah ataupun diri sendiri. Semua tergantung pada konteksnya. Jika para pemeluk agama Shinto datang untuk mengikuti upacara keagamaan, biasaya ritus Harae akan dilakukan oleh pemimpin upacara keagamaan itu. Jika para pemeluk agama datang untuk memuji kami secara pribadi, maka penyucian itu dilakukan oleh diri sendiri.

5.2  Tahap Liminalitas
Dalam penyucian diri ini, orang akan diperciki dengan air. Pemercikan dengan air menjadi simbol pembersihan seseorang dari berbagai kotoran yang dapat menghalangi relasinya dengan kami. Proses penyucian dilakukan dengan mengibaskan air pada tubuh menggunakan alat yang telah disediakan di rumah ibadah. Dalam proses pemercikan air itu ada doa yang diucapkan. Melalui doa itu, para pemeluk agama Shinto sungguh yakin bahwa relasi dengan kami tidak terhalang oleh kotoran lagi.

5.3  Tahap Reintegrasi atau Paripatia
Setelah pemercikan air, para pemeluk agama Shinto dianggap telah murni atau suci kembali, sehingga diperkenankan untuk memberikan persembahan atau mengikuti suatu upacara keagamaan.

6.      Pertanyaan Teologis
Jika manusia dalam agama Shinto dipandang suci, darimanakah sumber ‘kotoran’ yang dapat menghalangi relasi manusia dengan kami? Bagaimana memahami konsep dunia yang penuh kenikmatan tempat tinggal arwah-arwah orang yang hidupnya suci, padahal agama Shinto tidak memiliki ajaran hidup setelah mati? Adakah kaitan antara konsep Shinto dengan kristianitas?

7.      Tanggapan Terhadap Pertanyaan Teologis
Ketika mendalami agama Shinto, satu hal yang sangat menarik ialah pandangannya tentang manusia. Ajaran agama Shinto menekankan bahwa manusia adalah makhluk yang suci. Dengan kata lain manusia dipandang secara positif. Cara pandang yang positif terhadap manusia menjadikan para pemeluk agama Shinto hidup secara rukun satu sama lain.[11] Setiap orang tidak lagi menaruh pandangan negatif terhadap sesama. Dengan demikian, untuk berbuat baik satu sama lain tidaklah sulit karena segala sesuatu dipandang sebagai jalan kesucian termasuk hal-hal yang negatif/ kotoran (sakit, menstruasi, dan sebagainya).
Kotoran atau hal-hal negatif dalam agama Shinto lebih mengarah pada suatu kondisi bukan sesuatu yang memiliki penyebab, apalagi jika dikatakan berasal dari manusia. Manusia dalam hidupnya kerapkali harus berhadapan dengan berbagai kotoron demi menyadari kesuciannya sebagai manusia, terlebih khusus relasinya dengan kami. Pemikiran seperti ini lebih mengarah pada cara manusia berada di dunia ini yaitu mengenai pemaknaan terhadap hidup. Manusia berada di dunia melalui badan.[12] Artinya, badan membawa manusia pada suatu kesadaran akan dirinya sendiri. Para pemeluk agama Shinto mengalami kesadaran tentang kesuciannya melalui berbagai kondisi yang dialami oleh badan, misalnya sakit. Ketika para pemeluk agama Shinto mengalami kondisi sakit, mereka dengan segera akan menyadari bahwa hal itu menghalangi relasi mereka dengan kami. Oleh karena itu, mereka segera memperbaikinya melalui ritus harae atau pemurnian.
Dalam agama Shinto hidup yang ditekankan ialah hidup hic et nunc (di sini dan saat ini). Fokus ini menjadikan para pemeluk agama Shinto berusaha untuk menghayati apa yang mereka alami dalam kehidupan. Dengan menghayati hal itu secara baik, mereka telah berusaha untuk membina relasi secara harmonis dengan kami. Setiap orang yakin bahwa relasi yang harmonis dengan kami akan mendatangkan kebahagiaan dalam hidup sehari-hari. Di samping itu, mereka juga akan dihindarkan dari berbagai kondisi yang buruk.
Konsep hidup setelah kematian tidak dapat ditemukan dalam ajaran Shinto. Bagi orang-orang yang memeluk agama Shinto, hidup yang penting adalah hidup masa kini, khususnya usaha membangun kesucian dalam relasi dengan kami. Walaupun demikian agama Shinto menganut paham bahwa ada dunia tempat arwah orang-orang yang hidupnya suci. Kedua hal ini sangat bertolak belakang. Sulit untuk menjelaskan hal ini atau mendamaikan kedua hal ini, sebab ajaran Shinto tidak memiliki banyak sumber tertulis “Since Shinto does not have any doctrine written in words and is so taken for granted in life, it is difficult for Japanese people to explain clearly what Shinto is.”[13] Secara sederhana konsep ini dapat dipahami seperti ini: ajaran hidup masa kini sebagai fokus menuju kesucian memang menjadi fokus karena hal itu berkaitan dengan penghayatan yang dilakukan bangsa Jepang secara turun-temurun. Sedangkan, paham mengenai dunia yang menjadi tempat arwah-arwah itu hanya merupakan suatu paham yang diterima tanpa keinginan untuk membahasnya lebih jauh. Singkatnya, para pemeluk agama Shinto lebih memilih menghayati hidup saat ini sebagai jalan kesucian ketimbang berbicara mengenai dunia tempat arwah orang-orang yang hidupnya suci.
Agama bukanlah komunikasi satu arah, baik dari sisi dewa maupun sisi manusia, melainkan interkomunikasi dua arah. Agama bukanlah semata-mata kecenderungan manusia untuk berhubungan dengan Yang Ilahi. Agama mengandaikan jawaban dari pihak Yang Ilahi. Dalam perspektif seperti ini, mediasi berarti bisa berarti sesuatu yang naik, yaitu dari manusia kepada dewa; atau sesuatu yang turun, yaitu dari dewa kepada manusia.[14] Agama Shinto memperlihatkan dimensi ini, yaitu relasi timbal balik. Dalam ajarannya hubungan manusia dengan kami dilihat sebagai relasi dua arah. Kami memberikan keharmonisan kepada manusia dan manusia menggapi keharmonisan itu dengan berusaha mendekatkan diri pada kami. Dalam usaha mendekatkan diri dengan kami, manusia berusaha mempertahankan kesuciannya dari berbagai kotoran. Peran kami dalam membebaskan manusia dari kotoran ialah menyucikan manusia melalui ritus harae.
Sesungguhnya agama Shinto kontras dengan kristianitas dalam beberapa pandangannya. Shinto mengajarkan superioritas orang Jepang atas semua orang di muka bumi. Perasaan bangga dan superriotas ini menjadi salah satu paham yang dianut dalam agama Shinto.[15] Etnosentrisme semacam ini tentu tidak pernah dipandang baik oleh masyarakat lain. Di dalam Kitab Suci, Yesus sendiri mengkritisi hal itu. Yesus secara langsung menegur orang-orang Farisi yang memiliki kebanggaan atas warisan Yahudi serta menganggap ras lain inferior. Selain itu, Kitab Suci juga menekankan bahwa kebenaran datang melalui iman Yesus Kristus bukan atas dasar ras. Dalam Shinto, para pemeluk agama tidak memerlukan peran juruselamat sebagaimana yang dianut oleh orang-orang kristen, sebab manusia pada dasarnya adalah baik.






C.    Daftar Pustaka

D. Mercer, Raymond,
2015    Theology Of Shinto. Japan: Publisher, 2015.

Dhavamony, Mariasusai,
1995    Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius.

Djam’annuri,
2012    “Agama Shinto”, dalam Agama-Agama Dunia, ed. Rahmat Fajri dkk.Yogyakarta: Jurusan Perbandingan Agama.

G. Aston, W.,
1910    Shinto The Ancient Religion Of Japan. (London: Constable & Company Ltd.
Hara, Kazuya,
2013    Aspects of Shinto in Japanese Communication”, Intercultural Communication Studies XII.

Keene, Michael,
2006    Agama-Agama Dunia.Yogyakarta: Kanisius.

Patrijunianti, Endang,
1991    “Shinto”, dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, Vol. XV. Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka.


Snijders, Adelbert,
2004    Antropologi Filsafat Manusia Parakdoks dan Seruan. Yogyakarta: Kanisius.



[1] Endang Patrijunianti, “Shinto”, dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, Vol. XV (Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1991), 7.
[2] Djam’annuri, “Agama Shinto”, dalam Agama-Agama Dunia, ed. Rahmat Fajri dkk. (Yogyakarta: Jurusan Perbandingan Agama, 2012), 331.
[3] Djam’annuri, “Agama Shinto”, 332.
[4] Djam’annuri, “Agama Shinto”, 334.
[5] Djam’annuri, “Agama Shinto”, 335.
[6] Djam’annuri, “Agama Shinto”, 336.
[7] Michael Keene, Agama-Agama Dunia (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 177.
[8] Djam’annuri, “Agama Shinto”, 335.
[9] Djam’annuri, “Agama Shinto”, 337.
[10] Djam’annuri, “Agama Shinto”, 336.
[11] W. G. Aston, Shinto The Ancient Religion Of Japan (London: Constable & Company Ltd, 1910), 1-2.
[12] Adelbert Snijders, Antropologi Filsafat Manusia Parakdoks dan Seruan (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 26.
[13] Kazuya Hara, “Aspects of Shinto in Japanese Communication”, Intercultural Communication Studies XII (2013), 81.
[14] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius,1995), 229.
[15] Raymond D. Mercer, Theology Of Shinto (Japan: Publisher, 2015), 12.

Komentar

Postingan Populer