GEREJA SEBAGAI SAKSI ALLAH


A.    PENGANTAR
“Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya” (Mat 16:18). Sepenggal ayat ini menjadi nasihat Yesus ketika memberikan tanggungjawab kepada Petrus untuk menjadi pemimpin Gereja. Mulai saat itu Gereja terus bertumbuh dan berkembang sampai sekarang. Gereja berdinamika menjadi sekawanan umat Allah yang tiada henti menyerukan pewartaan Injil sebagai panggilan. Gereja terus menghidupi semangat yang diberikan oleh Yesus Kristus yaitu semangat pelayan. “Sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mat 20:28).
Semangat sebagai seorang pelayan ini diharapkan tumbuh dan berkembang dalam kehidupan Gereja. Adapun model perutusan yang diperlihatkan mencakup lima hal yaitu pewartaan, peribadatan,  pelayanan, persekutuan hidup dan kesaksian hidup. Kelima hal ini menjadi arah yang hendak diperjuangkan Gereja agar pewartaan Injil semakin menggema baik ke dalam maupun ke luar Gereja. Kami kemudian mencoba mencari jejak-jejak Gereja ini dengan melihat salah satu paroki yang ada di Keuskupan Agung Makassar, yaitu Paroki Santo Yusuf Pekerja Baras, yang terletak di Kabupaten Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat. Adapun poin-poin yang hendak kami uraikan antara lain: Gereja umat Allah dan sifat sakramentalnya, peranan hierarki dalam Gereja, partisipasi kaum awam dan religius, serta Gereja yang misioner dan berdialog. Empat hal ini akan diuraikan berdasarkan teori dan fakta yang ada di lapangan.

B.     ISI
1.      Gereja Umat Allah dan Sifat Sakramental
Gereja sebagai Umat Allah secara khusus dibahas dalam konstitusi dogmatis Lumen Gentium tentang Gereja dalam Bab II (Umat Allah).

a.      Perjanjian Baru dan Umat Baru (art. 9)
Judul yang dipakai pada artikel ini tampaknya memiliki maksud bahwa Gereja hendak melihat diri dalam rangka sejarah keselamatan. Istilah Umat Allah merupakan istilah yang dipilih karena sejarah keselamatan. Istilah ini telah dipakai di dalam Alkitab sehingga semakin menegaskan bahwa Gereja ada dalam sejarah keselamatan. Istilah “Umat Allah” sendiri sudah memperlihatkan bahwa Gereja dipandang dalam rangka sejarah keselamatan. Namun, “sejarah keselamatan” bukanlah istilah yang mengatakan bahwa Gereja adalah lanjutan dari Israel semata-mata. Antara Israel dengan sifat baru umat Gereja memiliki perbedaan yakni:
“Gereja, yang didirikan Kristus, adalah umat Allah yang baru, yang tidak hanya menyusul umat terpilih yang lama, tetapi dipersiapkan oleh umat yang lama itu (yang berupa lambang dari yang baru) dan sekaligus juga menyempurnakannya. Oleh karena itu, nama yang dipakai untuk umat lama dengan arti yang lebih mendalam diterapkan kepada Gereja, misalnya “Gereja Allah” (I Kor 1:2; lih Ul 23:1-3); “Israel dari Allah” (Gal 6:16); “keturunan terpilih, imamat rajawi” (I Ptr 2:9; lih. Pkh 19:6; Why 1:6). Anugerah-anugerah yang hanya secara eksklusif diberikan kepada yang lama, sekarang dibagikan oleh Roh Kristus di dalam Gereja: 1 Kor 10:6; terutama pengangkatan menjadi putera (Rm 9:4; Gal 4:1-7); semua itu menurut janji-janji yang disampaikan kepada para bangsa, dan sebagai pemulihan masehi yang diramalkan oleh para nabi (lih. Yes 40:1-11); meski kitapun masih mengharapkan keselamatan (Rm 5:2; Tit 2:13). Umat baru merangkum, baik orang Yahudi maupun Yunani di bawah satu Kelapa (Rm 10:11-13; 1 Kor 1:24; 12:13; Gal 3:28)”.[1]
Secara ringkas, artikel ini mengatakan bahwa terdapat kontinuitas sekaligus diskontinuitas tentang Umat Allah. Dikatakan memiliki aspek kontinuitas karena Umat Allah itu merupakan kelanjutan dari Israel (Perjanjian Lama). Dikatakan memiliki aspek diskontinuitas karena pusatnya ialah Kristus. Sebagai komunio yang berciri historis, Umat Allah ini berada di antara manusia dan masuk dalam sejarah manusia. Maka, Gereja itu berciri manusiawi, memiliki wujud yang kelihatan dan berwajah sosial. Inilah yang dikenal sebagai lembaga. Ciri historis ini hanya merupakan tanda dari keselamatan universal yang mau disampaikan olehnya.[2] Gereja tidak pernah menutup diri dan menjadi pulau dalam masyarakat. Gereja hadir dalam dunia dan menjadi garam dan terang dunia.
Paroki St. Yusuf Pekerja Baras hadir di Kabupaten Mamuju Utara sebagai sebuah lembaga yang kelihatan. Kristus hendak masuk dalam sejarah keselamatan umat di kabupaten itu. Dalam hal ini, umat Paroki Baras hadir sebagai communio yang berpusat pada Kristus dan dikenal sebagai bagian dari lembaga yang disebut Agama Katolik.

b.      Imamat umum dan pelaksanaan imamat umum dalam sakramen-sakramen (art.10-11)
Artikel 10 berbicara mengenai martabat baptisan. Setiap orang yang dibaptis memiliki martabat imamat umum.[3] Ajaran tentang imamat umum ini memiliki akarnya dalam Alkitab, dan juga dalam liturgi yang paling kuno semua orang yang dibaptis disebut “imam”.[4] Jadi, imamat umum adalah kesatuan semua orang beriman dengan imamat Kristus.[5]
Artikel 11 lebih lanjut memberi penekanan pada bagaimana imamat umum mewujudkan diri dalam perayaan sakramen-sakramen. Walaupun imamat umum merupakan kesatuan dengan Kristus, tetapi tidak mengherankan bahwa pelaksanaan imamat umum di bidang peribadatan mendapat perhatian khusus. Dalam bidang peribadatan, pusatnya ialah sakramen-sakramen. Maka, berbicara mengenai imamat umum juga semestinya berbicara mengenai segi-segi sakramental dari imamat ini.
Dengan sakramen baptis, kaum beriman dimasukkan dalam tubuh Gereja. Pokok sakramen ini ialah kelahiran kembali menjadi putera Allah. Dengan baptisan, orang pertama-tama menjadi anggota Gereja dan dipersatukan dengan Kristus. Keanggotaan ini tentu juga berarti suatu tugas, yakni “tugas untuk ibadah agama kristiani”. Maka menjadi jelaslah bahwa baptisan mnjadi dasar imamat umum. Tugas ini menjadi semakin jelas ketika orang menerima sakramen penguatan/krisma. Dengan sakramen permandian, orang diterima dan sakramen penguatan, orang diutus. Dan puncaknya ialah dalam sakramen ekaristi. Ekaristi ialah pertama tama merupakan sebuah perayaan di mana seluruh Umat Allah mengungkapkan kesatuannya di dalam Kristus.[6] Pelaksanaan imamat umum dalam sakramen-sakramen lainnya juga menampakkan kesatuan umat beriman dalam Kristus.
Setiap perayaan sakramental yang dilakukan oleh umat di Paroki Baras menampakkan kesatuan seluruh umat, sekaligus kesatuan mereka dengan Kristus. Setiap perayaan itu pula menjadi bentuk pelaksanaan tugas mereka dalam imamat umum yang mereka terima.

c.       Perasaan iman dan karisma-karisma umat kristiani (art. 12)
Roh Kudus itu hadir membimbing Gereja kepada kebenaran. Maka dari itu, Gereja tidak mungkin dapat sesat. Ketidaksesatan ini menampakkan diri dalam Gereja melalui “perasaan iman” yang adikodrati dari seluruh umat. Perasaan iman itu lebih aktif dan terutama dinyatakan dalam menyelami dan mengembangkan iman. “Perasaan” ini semacam kemampuan seluruh Gereja untuk menyelami wahyu yang diteruskan dengan mengetahui mana yang benar dan mana yang salah dalam hal-hal iman dan untuk sekaligus, semakin dalam memasukinya serta dengan lebih penuh menerapkannya dalam hidup.

d.      Sifat umum dan katolik Umat Allah yang satu (art. 13)
Pada faktanya, Gereja Katolik hanya terdiri dari sebagian kecil saja dari total keseluruhan penduduk dunia. Artikel ini hendak mengawali/menyatakan hubungan Gereja dengan orang yang tidak menganut agama Katolik. Namun sebelum membahas itu, konsili hendak menyatakan terlebih dahulu bahwa Gereja tidak memandang diri sebagai suatu golongan yang terpisah dari yang lain. Memang benar bahwa Gereja katolik hanya merangkum sebagian kecil dari umat manusia, namun itu tidak berarti bahwa semangat Gereja merupakan semangat partikular atau semangat minoritas. Gereja memiliki semangat Katolik, artinya terbuka.[7] Gereja tidak mau menutup diri dan menjadi pulau di tengah pulau. Katolik yang terbuka ini juga sebenarnya melambangkan Gereja sebagai sakramen dari Roh Kristus. Maka, kekatolikan mengindikasikan pengaruh dan kekuatan Gereja tidak terbatas dirasakan hanya oleh “kelompok” partikular katolik, tetapi dirasakan oleh seluruh dunia karena melalui Gereja-lah Roh berkarya.
“Satu” tidak berarti “seragam”. Maka, kesatuan itu menerima keragaman. Kesatuan ini lebih bersifat kerja sama dan hubungan antar-manusia. Kesatuan Gereja ialah kesatuan pribadi dalam Roh, bukan keseragaman organisasi.

e.       Hubungan Gereja dengan orang kristen bukan katolik dan umat bukan kristiani (art. 15-16)
Pada dasarnya, kerja karya Kristus tidak hanya tertangkap dalam agama kristiani saja.[8] Gereja adalah tanda dari Kristus. Allah hadir di tengah-tengah dunia dalam dan melalui Gereja. Kekhususan Gereja bukan karena di dalamnya orang lebih mudah atau lebih dapat diselamatkan, tetapi kekhususan Gereja adalah Tuhan yang mau mewahyukan diri kepada dunia melalui Gereja.
Umat Paroki Baras juga merupakan kelompok yang sangat terbuka. Hal ini terbukti dengan keterlibatan mereka dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sehingga sampai sekarang, belum pernah terjadi konflik karena intoleransi agama. Bahkan, Desa Karave menjadi salah satu desa percontohan toleransi se-Kabupaten.

f.        Sifat misioner Gereja (art. 17)
Dasar teologi misi adalah hakekat Gereja sebagai sakramen dari Kristus. Tuhan mewahyukan diri di dalam Kristus secara historis dan sejarah keselamatan Kristus dilanjutkan oleh Gereja. Maka Gereja menjadi istimewa bukan karena kebaikan atau kepandaian anggota-anggotanya, tetapi karena kehadiran sabda Allah. inilah dasar kegiatan misi Gereja. Gereja menghadirkan sabda Allah. Orang dapat diselamatkan tanpa menjadi anggota Gereja. Tetapi orang tidak dapat diselamatkan tanpa menerima sabda Allah yang dihadirkan oleh Gereja.

2.      Peranan Hierarki dalam Gereja
2.1  Pengertian Hierarki
Kata hierarki berasal dari bahasa Yunani hierarchy yang berarti ‘asal usul suci atau tata susunan’. Dalam bahasa yuridis Gereja, hierarki merupakan tata susunan sekelompok pejabat dalam umat beriman, yang dipanggil untuk mereprensentasikan Kristus kepada Gereja.[9] Secara objektif hierarki dapat dikatakan sebagai tingkatan atau tata susunan, sedangkan secara subyektif hierarki berarti para pelayan yang dipanggil untuk membangun umat beriman secara rohani agar setiap orang beriman dalam berpartisipasi dalam kehidupan Gereja.
Perkembangan hierarki berasal dari kelompok kedua belas Rasul. Kata Rasul sendiri memiliki arti utusan. Akan tetapi setelah kebangkitan Kristus sebutan  Rasul tidak hanya untuk kelompok kedua belas Rasul, melainkan juga para utusan dari kelompok tersebut. Bahkan akhirnya semua ‘utusan jemaat’ (2Kor 8:22) dan semua ‘utusan Kristus’ (2Kor 5:20) disebut sebagai Rasul. Para Rasul sendiri diutus untuk mewartakan iman dan memberi kesaksian tentang kebangkitan Kristus.
Kitab Suci menjelaskan bahwa perutusan ilahi, yang dipercayakan Kristus kepada para Rasul akan berlangsung sampai akhir zaman (Mat 28:20). Pewartaan Injil yang diharapkan berlangsung sampai akhir zaman menjadi asas seluruh kehidupan Gereja. Tugas mewartakan Injil menjadi hal pokok yang perlu diperjuangkan secara terus-menerus dan berkelanjutan. Oleh karena itu para Rasul mengangkat pengganti mereka untuk menunaikan tugas mewartakan Injil. Dari sini, Konsili kemudian mengajarkan “atas penetapan ilahi para Uskup menggantikan para Rasul sebagai gembala Gereja”.  Para rasul diberi tugas untuk menjaga seluruh kawanan: Karena itu jagalah dirimu dan jagalah seluruh kawanan, karena kamulah yang ditetapkan Roh Kudus menjadi penilik untuk menggembalakan jemaat Allah yang diperoleh-Nya dengan darah Anak-Nya sendiri (Kis 20:28). Tugas penggembalaan inilah yang diteruskan oleh para Uskup sebagai pengganti para Rasul.
Struktur hierarkis Gereja terdiri atas dewan para Uskup dengan Paus sebagai kepala, para Imam dan Diakon sebagai pembantu Uskup. Bersama dengan para Imam dan Diakon, para Uskup menunaikan tugas melayani dan menggembalakan jemaat (bdk. Yoh 21:15-19). Para Uskup dan para pembantunya bertindak sebagai wakil Kristus dalam memimpin kawanan yang mereka gembalakan. Mereka bertindak sebagai guru dalam ajaran, Imam dalam ibadat suci, dan pelayan dalam bimbingan (bdk. LG 20). Secara struktural kepemimpinan dalam Gereja sekarang dapat diurutkan sebagai berikut:

a.      Dewan Para Uskup dengan Paus sebagai Kepalanya
Ketika Yesus mengangkat kedua belas Rasul, Ia membentuk mereka menjadi semacam dewan. Yesus mengangkat Petrus sebagai ketua. Seperti Santo Petrus dan para Rasul lainnya, atas penetapan Kristus menjadi satu dewan. Begitu pun dengan Paus bersama para Uskup merupakansatu dewan. Secara singkat dapat dikatakan bahwa dewan para Uskup adalah pengganti para Rasul (LG 20). Mereka dipanggil untuk menjadi pemimpin bagi Gereja.

b.      Paus
Konsili Vatikan II menegaskan, “adapun dewan atau badan para Uskup hanyalah berwibawa bila bersatu dengan Imam Agung di Roma pengganti Petrus sebagai kepala dan selama kekuasaan primatnya terhadap semua, baik gembala maupun kaum beriman, tetap berlaku seutuhnya.” Imam Agung di Roma berdasarkan tugasnya, yakni sebagai wakil Kristus dan gembala Gereja semesta memiliki kuasa penuh, tertinggi, dan universal terhadap Gereja, dan kuasa itu selalu dapat dijalankan dengan bebas (LG 22).



c.       Uskup
Seorang Uskup selalu berkarya dalam persekutuan dengan para Uskup lain dan mengkui Paus sebagai kepala. Karya seorang uskup adalah “menjadi asas dan dasar kelihatan bagi kesatuan dalam Gereja-Nya (LG 23). Tugas pokok Uskup ialah pemersatu di tempatnya sendiri. Tugas utama hierarki ialah mempersatukan dan mempertemukan umat. Tugas ini dapat disebut sebagai tugas kepemimpinan dari para Uskup “dalam arti sesungguhnya disebut sebagai pembesar umat yang mereka bimbing” (LG 27).

d.      Imam
Imam adalah pembantu Uskup dalam menggembalakan umat beriman. Para imam dipanggil untuk melayani umat Allah sebagai pembantu arif bagi badan Uskup, sebagai penolong dan organ mereka (LG 28). Tugas konkret seorang imam tidak terlepas dari tugas seorang Uskup. Melalui rahmat tahbisan para imam memperoleh tugah untuk mewartakan Injil (PO 4) dan menggembalakan umat (PO 6).

e.       Diakon
Diakon merupakan salah tahap sebelum orang menjadi imam. Pada abad pertama ada banyak diakon yang dipilih untuk melayani jemaat (Kis 6:1-6). Adapun tugas-tugas seorang diakon antara lain: tugas administratif dan pastoral, membaptis berkhotbah, membagi komuni, memimpin upacara peneguhan nikah dan penguburan.

2.2  Tiga Tugas Hierarki
Dalam kehidupan Gereja, hierarki memiliki tiga tugas pokok yaitu, guru dalam ajaran, imam dalam ibadat dan pelayan dalam bimbingan. Ketiga tugas tersebut menjadi arah dalam menunaikan tugas. Oleh karena itu, dari hasil penelitian lapangan, kami mencoba menguraikan tiga tugas ini berdasarkan fakta yang ada di lapangan.

a.      Guru dalam Ajaran
Imam adalah seorang perpanjangan tangan uskup dalam melayani umat di Paroki. Imam berpartisipasi dalam mewujudkan tugas para Uskup sebagai pewarta iman yang mengantarkan murid-murid pada Kristus (LG 25). Dalam Kitab Hukum Kanonik dikatakan bahwa tugas dari imam-imam yang adalah rekan sekerja uskup ialah memaklumkan Injil Allah; terutama para pastor paroki dan mereka yang diserahi tugas reksa jiwa-jiwa, mempunyai kewajiban ini terhadap umat yang dipercayakan kepada mereka; juga para diakon dalam persatuan dengan uskup dan presbyteriumnya, harus mengabdi umat Allah dalam pelayanan sabda (Kan. 757). Dari teks ini dapat dikatakan bahwa tugas pokok  dank has seorang imam adalah memaklumkan-mewartakan Injil Allah. Tugas mewartakan sabda Allah itu merupakan pelaksaan pewartaan sabda secara konkret yang dilakukan melalui kegiatan homili.[10]
Paroki  St. Yusuf Pekerja Baras memiliki seorang imam. Ia adalah Rm. Agustinus Matasak, Pr. Ketika kami mencari fakta tentang bagaimana ia bertindak sebagai guru dalam ajaran yang kami  temukan ialah pendampingan kaum muda. Beliau memberikan semacam rekoleksi untuk memperkaya pengetahuan akan ajaran Gereja dan membangkitkan keterlibatan kaum muda dalam hidup menggereja. Dari pengajaran melalui rekoleksi ini, harapannya kaum muda terus bertumbuh menjadi orang yang aktif dalam Gereja.
Ada juga tugas dari imam sebagai guru dalam ajaran yang tampak dalam pengamatan lapangan ialah homili. Dalam memberikan homili, Rm. Agus berusaha mengangkat realitas yang ada dalam terang Kitab Suci sehingga umat memahami bagaimana seharusya membangun iman yang baik. Contohnya, di tengah umat ada kebiasaan menghabiskan uang seteleh gajian, khususnya kalangan muda. Dari fakta ini, Rm Agus berbicara mengenai semangat menabung untuk mempersiapkan masa depan dengan bercermin dari kisah pemuda kaya yang menghamburkan harta (Luk 15:11-30).

b.      Imam dalam Ibadat
Salah satu sumber dan pertumbuhan Gereja ialah Perayaan Ekaristi. Perayaan ini hanya dapat dipimpin oleh mereka yang telah menerima rahmat tahbisan imamat. Uskup sebagai pihak yang memiliki kepenuhan Sakramen Tahbisan, menjadi “pengurus rahmat imamat tertinggi”, terutama dalam Ekaristi, yang dipersembahkan sendiri atau yang dipersembahkan atas kehendaknya (LG 26).  Tugas Uskup ini dalam pelaksaannya dibantu oleh imam. Dalam Kurban Misa, mereka menghadirkan serta menerapkan satu-satunya kurban Perjanjian Baru, yakni kurban Kristus, yang satu kali mempersembahkan diri kepada Bapa sebagai kurban tak bernoda (lih. Ibr 9:11-28), hingga kedatangan Tuhan (lih. 1Kor 11:26) (LG 28).
Berdasarkan fakta di lapangan peran imam dalam ibadat yang tampak ialah Perayaan Ekaristi. Rm. Agus sebagai romo paroki berusaha menyusun jadwal untuk mengunjungi umat setiap bulan dan merayakan Ekaristi bersama mereka. Dalam perayaan Ekaristi itu, imam bersama umat mengucapkan syukur mereka atas keselamatan, karunia iman, pengampunan, kehidupan dan rahmat lainnya yang nyata dalam kehidupan.[11] Ucapan syukur itu juga menunjukkan ungkapan terima kasih atas kehadiran Yesus secara konkret dalam wujud persekutuan umat, dalam diri imam, melalui sabda-Nya dan sakramen Tubuh serta Darah-Nya.
Ada juga kegiatan-kegiatan ibadat yang dilaksanakan oleh Rm. Agus sebagai kepala paroki. Kegiatan itu antara lain peneguhan perkawinan dan pemberkatan jenasah. Kedua kegiatan ini menjadi bagian yang tidak lepas dari perjalanan hidup sebagai imam di Paroki Baras. Ada orang yang dinikahkan dan ada orang yang diberkati saat meninggal. Di sini, imam mau menunjukkan bahwa imam hadir dalam setiap dinamika kehidupan umat. Mulai dari awal kehidupan umat sampai pada kembalinya umat ke pangkuan Bapa.

c.       Pelayan dalam Bimbingan
Para Uskup membimbing Gereja yang dipercayakan kepada mereka sebagai wakil dan utusan Kristus, dengan petunjuk-petunjuk, nasihat-nasihat dan teladan mereka, tetapi juga dengan kewibawaan dan kuasa suci. Kuasa itu hanyalah mereka  gunakan membangun kawan mereka dalam kebenaran dan kesucian dengan mengingat bahwa yang terbesar hendaklah menjadi yang paling muda dan pemimpin menjadi sebagai pelayan (lih. Luk 22:26-27) (LG 27). Kata penting dari tugas ini ialah pelayan. Uskup sebagai seorang gembala perlu menampakkan semangat seorang pelayan, begitupun para imam yang menjadi pembantunya. Semangat pelayan itu sendiri bercermin pada Yesus Kristus. Apa yang telah diperlihat Yesus semasa hidup dan karya-Nya menjadi teladan bagi imam. Bertindak sebagai pelayan berarti siap sedia dalam menjawab kebutuhan umat.
Berdasarkan pengalaman Rm. Agus sebagai seorang romo paroki selama kurang lebih empat tahun, semangat pelayan yang paling penting dalam menggembalakkan umat ialah pengendalian diri. Kadang-kadang dalam bertindak sebagai seorang gembala, tidak semua umat beriman dapat diajak untuk bekerjsama secara muda. Sebagai seorang manusia biasa, tentu ada rasa jengkel berhadapan dengan situasi itu. Namun berkat pengendalian diri muncul berbagai nilai yang menguatkan imam dalam menghadapi situasi itu. Nilai itu seperti kesabaran, ketekunan, keuletan dan lain sebagainya. Nilai-nilai ini sangat membantu imam dalam bertindak sebagai gembala yang bijaksana.
Semangat pelayan juga muncul dari keterbukaan. Menjadi seorang imam di paroki berarti hidup bersama dengan umat beriman yang digembalakan. Keterbukaan menjadi penting dalam membuka kerjasama dengan umat. Keterbukaan yang dimaksudkan ialah kesediaan menerima masukan dan gagasan yang bersifat membangun Gereja. Kadangkala ada saja kebijakan yang perlu dilihat bersama umat, agar kebijakan tersebut berdaya guna dalam perkembangan iman dan kehidupan Gereja.

3.      Partispasi Kaum Awam dan Para Religius
a.       Kaum Awam
Kompendium Ajaran Sosial Gereja menjelaskan bahwa “ciri khas hakiki kaum awam beriman yang bekerja di kebun anggur Tuhan (bdk. Mat 20:1-16) adalah corak sekular dari kemuridan mereka sebagai orang Kristen, yang justru dilaksanakan di dalam dunia”. Fakta dalam kehidupan Gereja menunjukkan bahwa bagian terbesar dalam Gereja adalah kaum awam.
Kaum awam adalah semua orang beriman kristiani kecuali mereka yang termasuk golongan imam atau status religius yang diakui dalam Gereja. Jadi, kaum beriman kristiani, yang berkat Baptis telah menjadi anggota Tubuh Kristus, terhimpun menjadi Umat Allah, dengan cara mereka sendiri ikut mengemban tugas imamat, kenabian dan rajawi Kristus, dan dengan demikian sesuai dengan kemampuan mereka melaksanakan perutusan segenap Umat Kristiani dalam Gereja dan di dunia. Ciri khas dan istimewa kaum awam yakni sifat keduniaannya. Sebab mereka yang termasuk golongan imam, meskipun kadang-kadang memang dapat berkecimpung dalam urusan-urusan keduniaan, juga dengan mengamalkan profesi keduniaan, berdasarkan panggilan khusus dan tugas mereka terutama diperuntukkan bagi pelayanan suci. Hal ini dapat dilihat pada keterlibatan aktif kaum awam di Paroki Baras sendiri baik mereka yang sudah tua (para bapak-ibu), orang-orang muda, dan anak-anak. Mereka yang tua bekerja sama membangun Gereja, dan mereka yang muda bekerja sama dalam pelayanan, seperti Ekaristi Kudus.
Berdasarkan panggilan mereka yang khas, kaum awam wajib mencari kerajaan Allah, dengan mengurusi hal-hal yang fana dan mengaturnya seturut kehendak Allah. Mereka hidup dalam dunia, artinya: menjalankan segala macam tugas dan pekerjaan duniawi, dan berada ditengah kenyataan biasa hidup berkeluarga dan sosial. Hidup mereka kurang lebih terjalin dengan itu semua. Di situlah mereka dipanggil oleh Allah, untuk menunaikan tugas mereka sendiri dengan dijiwai semangat Injil, dan dengan demikian ibarat ragi membawa sumbangan mereka demi pengudusan dunia bagaikan dari dalam. Begitulah mereka memancarkan iman, harapan dan cinta kasih terutama dengan kesaksian hidup mereka, serta menampakkan Kristus kepada sesama. Jadi tugas mereka yang istimewa, yakni; menyinari dan mengatur semua hal-hal fana, yang erat-erat melibatkan mereka, sedemikian rupa, sehingga itu semua selalu terlaksana dan berkembang menurut kehendak Kristus, demi kemuliaan Sang Pencipta dan Penebus” (LG 31). Di Paroki  Baras sendiri, ketelibatan umat dalam masyarakat yang tampak ialah mengambil bagian sebagai guru atau pegawai di instansi pemerintah.
Dasar kerasulan awam adalah kesatuan sakramental dengan Kristus (lewat baptis dan penguatan, terutama Ekaristi) dengan mengambil bagian dalam perutusan keselamatan Gereja. Selain dari sakramen-sakramen, berbagai karisma juga menjadi dorongan bagi kerasulan awam. Dari kalimat pertama: yang utama adalah kerasulan seluruh Gereja, lalu ada pembagian fungsi (bdk. LG 17). Kerasulan bukan suatu aktivitas tambahan, tetapi hidup Gereja sendiri. Kerasulan ini adalah hak dan kewajiban setiap orang yang dipersatukan dengan Kristus (kerasulan umum) khususnya oleh sakramen-sakramen.
Kekhasan kerasulan awam adalah berkontak langsung antarpribadi dalam masyarakat, seperti garam bagi dunia (bdk. GS 23). Kerasulan awam tidak mendapat ketentuan dari Kristus tetapi dari kedudukannya dalam masyarakat sebagai fungsi duniawinya yang bertujuan untuk pembangunan masyarakat berorientasi kristiani. Kerasulan awam semakin berarti bagi Gereja jika ditentukan terutama dari dunia dan menjadi fungsi dalam dunia. Kerasulan awam adalah kerasulan karena ditujukan kepada keselamatan Kristus; disebut kerasulan awam karena mempersiapkan orang pada tujuan itu.
Imamat kaum awam berpangkal pada imamat umum-ikut serta pada imamat Kristus (nabi, imam dan raja). Imamat Kristus sebagai imamat umum kaum awam telah dijelaskan dalam LG 10. Yang perlu diperhatikan kemudian adalah Kristus disebut sebagai imam hanya terdapat dalam Ibr, secara khusus 9:11 “Kristus yang datang sebagai Imam Besar…”. Yesus juga tidak pernah menyebut diri imam, bukan dari golongan imam Levi/Harun, tidak pernah bertindak sebagai imam yang mempersembahkan kurban kultis, kecuali wafat-Nya secara simbolis disebut sebagai “kurban” (Ef 5:2). Jadi, imamat Kristus bukanlah suatu tugas/fungsi, melainkan rumusan singkat bagi karya keselamatan (Ibr 10:11-15). Imamat Kristus serta partisipasi di dalamnya adalah pengabdian kepada Allah, sebagai “persembahan hidup…adalah ibadah yang sejati” (Rm 12:1).
Kaum awam di dunia menurut konsili perlu menghidupi “di dalam Roh” semua karya, doa, kerasulan, hidup suami-istri dan keluarga, jerih payah sehari-hari, istirahat bagi jiwa dan badan hingga beban hidup (LG 34). Hal ini secara fundamental menjadi “persembahan rohani” dan ibadat rohani yang mereka persembahkan kepada Allah. Di dalamnya juga termuat keikutsertaan kaum awam dalam imamat umum, sebab “mereka yang dibaptis,… disucikan menjadi imamat suci…dengan segala perbuatan mereka, mempersembahkan kurban rohani dan untuk mewartakan daya kekuatan-Nya…” (LG 10). Dengan kata lain, seluruh kegiatan, baik itu profan atau rohani, apabila dihidupi “di dalam Roh”, memiliki suatu makna yang dalam sebagai persembahan dan kurban, kesaksian iman yang sangat terkait dengan imamat agung.[12]
Segala sesuatu yang dijalankan awam dalam Gereja dan dunia adalah dalam kesucian hidup (menghasilkan buah Roh) menjadi kurban rohani yang dipersembahkan bagi Bapa dalam Ekaristi. Awam kemudian hidup dengan suci, membaktikan dunia (consecratio mundi) kepada Allah, artinya bahwa kurban rohani dan buah Roh tidak hanya dalam bidang ibadat, tetapi juga dalam segala aktivitas keseharian orang kristiani. Dalam istilah ini terungkap secara istimewa segi penyerahan dunia dan kebaktian kepada Allah yang mencakup pemuliaan Allah dan keselamatan manusia. Kata consecratio dapat dilihat dalam perspektif kultis seperti dalam surat Ibrani yaitu sebagai ungkapan yang ingin merangkum keseluruhan karya Kristus yang secara istimewa terungkap segi penyerahan dan kebaktian.

b.      Para Religius
Para religius dengan status hidup mereka memberi kesaksian yang cemerlang dan luhur bahwa dunia tidak dapat diubah dan dipersembahkan kepada Allah tanpa semangat Sabda Bahagia (34). Hal ini terlihat jelas bagaimana semangat hidup pelayanan yang ditunjukkan oleh para Frater Hamba-Hamba Kristus bersama dengan para Suster CIJ. Mereka, dengan penuh semangat berkatekese dari stasi ke stasi. Tujuan mereka memberikan pendalaman iman itu bagi umat adalah supaya umat menghayati imannya. Bentuk kegiatan pendalaman iman ini dilakukan dengan berbagai macam kegiatan seperti rekoleksi, lomba cerdas cermat Alkitab, membaca Alkitab, dan retret.
Kehadiran Kristus dalam Gereja akan semakin tampak jelas dengan kesaksian para religius yang dengan sungguh-sungguh berusaha memperjuangkan kasih Kristus kepada masyarakat duniawi. Panggilan suci ini hendaknya tetap dipertahankan dan diperjuangkan oleh para religius sehingga semakin maju dan dapat memperindah wajah Gereja. Dengan mengikrarkan nasihat-nasihat injili, para religius bukan hanya melepaskan tawaran nilai duniawi tetapi juga harus mengorbankan hal-hal yang pantas dinilai tinggi. Para religius menyerahkan diri seuntuhnya pada Allah dengan kebebasan rohani dan kemurnian hati. Kesaksian hidup para religius dalam menghayati nasihat-nasihat Injili merupakan semangat yang berasal dari Kristus sendiri yang memilih hidup dalam kemiskinan dan keperawanan. Dengan corak hidup yang dipilih, para religius mampu menjadikan hidup orang kristiani menjadi lebih serupa dengan Kristus sendiri. Secara garis besar ada dua kongregasi yang berkarya di paroki Baras yaitu suster CIJ dan Frater HHK. Para suster CIJ berkarya melalui pendidikan, sedangkan para frater HHK melibatkan diri dalam pelayanan di stasi-stasi.
Penyerahan diri yang total kepada Allah dengan ikrarnya tidak diartikan sebagai pilihan untuk terpisah dari kaum awam atau terasing dari masyarakat duniawi. Namun mereka tetap ambil bagian dalam usaha membangun Kerajaan Allah di dunia. Para religius tetap menyenangkan sesama dalam kasih dan bekerjasama dengan mereka secara rohani, sehingga pembangunan masyarakat duniawi bersandar pada karya Ilahi dan tertuju pada Tuhan sendiri.
Para religius hendaknya berusaha agar Gereja benar-benar menampilkan Kristus sebagai kepala kaum beriman maupun tidak beriman, lewat perkataan dan tindakannya. Di antara para religius terdapat pribadi-pribadi suci yang menjadi teladan bagi seluruh umat Gereja dan itu memperlihatkan bahwa cita-cita Kristus telah tertanam dalam dirinya. Ketika seorang religius dapat menghayati hidupnya sebagai perwujudan nilai-nilai manusiawi yang sejati, maka ia tidak hanya berkembang ke arah kedewasaan sendiri tetapi juga dapat berarti banyak bagi orang lain. Dengan kata lain, saat seseorang yang kematangannya berdasarkan pada hubungannya dengan Kristus, maka ia mampu memberi nilai kepada sesuatu yang dialaminya dan itu bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang lain.
Setiap orang yang mengikrarkan nasihat-nasihat Injil haruslah berusaha supaya bertahan dan semakin maju dalam menjalani semua itu. Kehidupan kaum religius memang bukan sebagai fungsi gerejawi, tetapi  sebuah corak kehidupan.[13] Yang mau ditegaskan bahwa status mereka terwujudkan dengan pengikraran nasihat-nasihat Injil, meski tidak termasuk dalam susunan hirarkis. Di sini, yang perlu diingat adalah kesucian itu tidak tergantung pada sebuah corak kehidupan. Akan tetapi, suatu cara hidup tertentu yang dapat membantu dan menyokong pengarahan diri kepada Kristus.[14]
Kristus adalah tujuan segala usaha dan kerja sama di dalam Gereja. Setiap anggota bekerja menurut daya yang diterima dari Kepala, Kristus. Ef 4:15-16 dikutip untuk menegaskan persatuan dalam semangat cinta, kerja sama yang erat, dan pengakuan iman yang sama. Membangun Gereja berarti tidak hanya menyampaikan kebenaran dengan perkataan, tetapi terutama dengan perbuatan/cinta kasih. Namun Gereja sendiri bukan menjadi tujuan tetapi jalan untuk melaksanakan karya Tuhan.

4.      Gereja yang Missioner dan Berdialog
Gereja yang dengan ajaran-ajarannya menghantar keselamatan, menjadi milik semua orang. Gereja pasca Konsili Vatikan II memberikan titik jelas tentang hal ini. Gereja yang semula bersemboyan extra ecclesiam nullam salus, beralih kepada Gereja yang lebih terbuka mengundang semua orang untuk masuk dalam persekutuan ajarannya sebagai salah satu jalan menuju keselamatan. Dengan ini Gereja tidak lagi terkungkung di dalam ajarannya sebagai klaim yang otentik melainkan lebih terbuka dan menyediakan jalan bagi kemungkinan-kemungkinan lain dan secara bersama-sama menghantar semua orang masuk dalam keselamatan kekal. Gereja baru akan mencapai kepenuhannya di dalam kemuliaan surga bila tiba saatnya segala sesuatu diperbaharui (Kis 3:21), dan bersama dengan seluruh umat manusia bergerak kearah kebaikan dan diperbaharui secara sempurna dalam Kristus.[15]
Karya misi Gereja tidak dapat dilepaskan dari realitas dunia yang beraneka ragam. Gereja berada diantara macam-macam kebudayaan, etnis, suku, bahasa, bangsa dan keyakinan. Kenyataan ini menuntut agar Gereja hadir sebagai sosok yang mampu bergaul dan berdialog dengan keaneka ragaman tersebut. Dalam Lumen Gentium, Konsili Vatikan II berbicara mengenai sikap Gereja terhadap seluruh umat Allah di seluruh dunia. Dalam dokumen Gaudium et Spes, Konsili Vatikan II mengemukakan hubungan Gereja dengan dunia dan umat zaman ini berdasarkan azas-azas ajaran Kristiani.[16] Dua dokumen Konsili ini mengarahkan sikap Gereja kepada keanekaragaman tersebut.
Paroki Santo Yusuf Pekerja Baras dapat dikatakan sebagai paroki yang bertumbuh dari umat yang mengikuti transmigrasi. Iman Katolik yang hidup di paroki ini dibawa dan dikembangkan oleh orang-orang yang berasal dari berbagai suku yaitu Toraja, Flores, Timoor, Jawa dan Bali. Dalam keberagaman ini panggilan dialog menjadi sarana yang harus dikembangkan. Dialog yang dibangun selama ini mulai tampak baik itu ke dalam maupun ke luar. Doalog ke dalam lebih pada kegiatan ekumenisme, sedangkan dialog ke luar lebih pada keterlibatan umat Katolik dalam instansi pemeritahan seperti menjadi seorang guru dan anggota dewan.  Ketelibatan umat beriman dalam konteks ini membuat jalinan persaudaraan terbangun dengan baik dalam kehidupan bermasyarakat. Tidak pernah terdengar konflik muncul karena unsur agama. Umat Katolik hidup dengan harmonis di tengah keberagaman.

4.1  Gereja Sebagai Pewarta – Berdialog Meneladan Yesus
Dalam pidato pembukaan konsili, Paus Yohanes XXIII mengemukakan bahwa Gereja harus tetap berpegang teguh pada sabda Tuhan, “Pergilah, Ajarilah semua bangsa dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus!”. Masing-masing kata dari seruan Yesus ini mempunyai arti yakni Gereja sebagai pewarta, Gereja sebagai guru, Gereja sebagai pengudus dan diatas semuanya itu adalah yang memberikan lisensi kepada Gereja yakni Bapa, Putra dan Roh Kudus. Lisensi yang diberikan ini yakni kewenangan untuk mewartakan injil kepada semua makhluk (bdk. Mrk 16:15). Dengan ini Gereja sungguh-sungguh berusaha mendukung misi – misi untuk memajukan kemuliaan Allah dan keselamatan semua orang.
Sebagai Gereja Kristus kita harus meneladan Yesus. Yesus berkeliling di daerah Yahudi sebagai seorang pengajar dan rabi, tanpa ikatan keluarga, profesi ataupun tempat tinggal.[17] Berulang kali Yesus melintasi batas-batas secara bebas, entah itu batas geografis, rasial, ekonomi, politik, kultural bahkan keagamaan. Dalam pewartaan itu Yesus selalu konsisten dengan ajaran-ajarannya. Tentu, sikap yang harus dimiliki oleh seorang misioner adalah sikap berani. Seperti yang dilakukan oleh Yesus, Ia berani menembus batas-batas demi tujuan mulia yakni Kerajaan Allah. Tanpa sikap mendasar ini, ajaran – ajaran Yesus dalam Kitab Suci hanya akan tetap menjadi gagasan tanpa realisasi pewartaan.
Motivasi utama pelayanan Yesus ialah, datangnya kerajaan Allah (bdk Mrk 1:14-15). Bagi-Nya, motivasi ini wajib dinyatakan kepada semua orang; baik orang kaya, orang miskin, orang kusta, para pendosa, pelacur, pemungut pajak. Yesus mengundang semua orang untuk masuk kedalam kerajaan Bapa – Nya yang penuh kasih dan pengampunan. Bahkan, fenomena misi untuk orang non-Yahudi bukanlah sesuatu yang dimiliki jemaat post – Paskah atau Paulus semata, Yesus adalah orang yang meletakkan fondasi untuk misi bagi non – Yahudi.[18]
Yesus melayani mereka yang terpinggirkan dan terbuang. Bahkan bentuk kematianNya di salib mengindikasikan Yesus sebagai orang yang terbuang. Pelayanan misioner Yesus adalah manifestasi kerajaan Allah yang sudah lama dirindukan oleh mereka yang terpinggir dan terbuang. Yesus sendiri telah melepaskan diri dari harta duniawi; godaan, kuasa, harta dan pengaruh. Sebagai orang yang melewati batas – batas duniawi tersebut, Yesus memilih untuk tinggal bersama mereka yang berada di perbatasan. Dengan demikian Yesus menciptakan pusat yang baru dan tentu saja berbeda. Pusat ini dibangun melalui pertemuan segala batas dari beragam dunia sehingga kerap kali menimbulkan konflik.

4.2  Dilema Misi – Dialog
Aggiornamento yang dihembuskan oleh Kosili Vatikan II membawa angin segar ditengah zaman milenial saat ini. Dalam Nostra Aetate, membuka lebar pintu dialog Gereja dengan penganut agama-agama lain. Dialog tidak lagi dilihat sebagai kemungkinan melainkan sebagai sebuah keharusan. Namun, kedua fakta, Gereja yang berdialog – misioner tidak gampang untuk depertemukan. Satu sisi, Gereja ingin melaksanakan tugas misionernya, “pergilah, ajarilah semua Bangsa dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus” Sisi lain, dalam tugas misionernya, Gereja akan berjumpa dengan berbagai keyakinan lain. Bagaimana memberikan kesaksian diantara keyakinan lain sedang Gereja sendiri dalam NA 2 ⸹2 juga mengakui keyakinan-keyakinan lain. Lebih tegas lagi LG 16, menyebutkan bahwa “apa pun yang baik dan benar, yang terdapat pada mereka, oleh Gereja dipandang sebagai persiapan Injil”. Pertanyaan dijawab pada paragraf ke dua; Gereja menghimbau para putranya agar dengan bijaksana dan penuh kasih melakuan dialog sambil memberikan kesaksian tentang iman Kristiani melalui cara hidup dan tetap menghargai kekayaan – kekayaan yang ada pada mereka. Perbedaan arah misi pra Konsili dan pasca Konsili sangat jelas terlihat. Sebelum Konsili Vatikan II wajah misioner Gereja yang ditampilkan adalah mencari tambahan anggota sebanyak-banyaknya. Sedangkan, wajah lain yang ditampilkan Gereja setelah Konsili Vatikan II adalah lebih pada menjadi garam dan terang dunia meski pun tetap ditekankan bahwa misi itu akhirnya membawa orang untuk percaya kepada Kristus.
Dengan menegaskan kembali Dekret tentang kegiatan Misioner Gereja dalam Ad Gentes, Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Redemptoris Missio menjawab pula dilema di atas. Gereja perlu membaharui komitmen misionernya bukan hanya karena ada dilema namun, terlebih bahwa dasar dari kegiatan misioner Gereja adalah “pelayanan yang dapat diberikan Gereja kepada setiap orang di dunia modern ini”. Gereja pasca Konsili Vatikan II tidak lagi hadir sebagai yang memutlakkan ajarannya namun lebih pada menawarkan undangan sebagai salah satu jalan kebenaran itu sendiri. Undangan itu terlebih khusus berupa pelayanan para anggota – Nya kepada seluruh makhluk. Tidak ada sekat yang membatasi pelayanan Gereja layaknya Yesus yang kerap kali menembus sekat-sekat buatan manusia. Kehadiran Gereja diharapkan membawa angin segar bagi kedamaian seluruh makhluk sehingga terpancarlah wajah kasih Kristus kepada semua orang.
Dokumen dari Komisi Kepausan untuk Dialog antara agama dan untuk Evanggelisasi bangsa-bangsa juga menjawab dilema di atas. Dialogue and Proclamation ini membedakan tiga istilah: Evangelisasi (Evangelization), dialog (dialogue) dan Proklamasi (proclamation).[19] Evangelisasi menunjuk pada misi Gereja secara keseluruhan. Dialog berarti seluruh relasi yang positif dan konstruktif dengan individu-individu dan komunitas-komunitas dari iman yang lain. Sedangkan proklamasi adalah komunikasi pesan injil yang dinyatakan dalam nama Yesus dan mengundang semua orang untuk beriman pada Yesus Kristus dan menjadi anggota Gereja Kudus.
Gereja menyebarkan undangan melaui cara hidup yang berdasarkan pada ajaran-ajaran Yesus. Sebab, kita tidak dapat menyerukan nama Allah Bapa kepada semua orang apabila terhadap orang-orang tertentu yang diciptakan menurut citra kesamaan Allah, kita tidak mampu bersikap sebagai saudara.[20] Gereja dituntut untuk membentuk teladan hidup sebagai komunitas kasih untuk mewujudkan perintah utama Iman Kristiani, karena, “barang siapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah” (1 Yoh 4:8).
Mengapa Gereja perlu bermisi dan berdialog? Gereja bermisi karena Gereja yakin dan percaya dengan apa yang diimani bahwa Yesus adalah Tuhan dan penyelamat, “tujuan sejarah manusia… dan pemenuhan aspirasi-aspirasi mereka”.[21] Oleh karena itu, Gereja merasa perlu untuk membagikan suka cita kepada semua bangsa agar secara bersama-sama dapat berjalan mewartakan kadamaian dan Kasih Kristus menuju kepada kehidupan kekal yang bahagia dengan tetap berpegang teguh pada tuntunan Roh Allah yang mengarahkan sikap sebagai pionir misi Gereja dan membaktikan diri untuk keselamat seluruh manusia.

C.    PENUTUP
Kehidupan Gereja di Paroki Baras menjadi suatu panggilan untuk bersaksi di tengah masyarakat yang plural. Gereja dengan latar belakang yang bermacam-macam suku memberikan kekayaan tersendiri di dalam Gereja. Umat dipanggil menjadi orang yang mampu bekerja sama satu sama lain, baik ke dalam maupun ke luar Gereja. Keterlibatan ke dalam Gereja, lebih pada kegiatan-kegiatan yang memperkaya dan memperkuat iman, sedangkan keterlibatan ke luar merupakan bentuk kesaksian dari Gereja.
Gereja dalam kehidupannya membutuhkan kerjasama antara awam dan imam. Kedua pihak ini menjadi pemeran penting dalam mengupayakan kerjasama. Jika imam dan awam mampu bekerjsama secara baik, maka seruan kebaikan dengan sendirinya memancar ke luar Gereja. Bentuk kerjasama antara imam dan awam senantiasa berpusat pada Kristus sebagai kepala. Di samping itu, imam dan awam pun mengambil peran masing-masing dalam bermasyarakat. Awam melalui pekerjaannya dipanggil untuk menyerukan kebaikan di dalamnya, sedangkan imam mengarahkan umat untuk senantiasa hidup sesuai dengan kebenaran.
Pada akhirnya dinamika Gereja itu membutuhkan kerjasama yang kuat antara imam dan awam. Ketika kerjasama ini sudah kuat, maka panggilan untuk terlibat dengan masyarakat secara umum dapat dengan mudah dilaksanakan. Dalam hal ini Gereja menjadi garam dan terang dunia.





D.    DAFTAR PUSTAKA

Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana SJ (Jakarta: OBOR, , 1993.

Gereja Misioner yang Diterangi Sabda Allah bersama Wilhelmus Van Der Weiden, ed. Bagus Irawan, Yogyakarta: Kanisius, 2011.

Heuken, A., “Hierarki,” dalam ENSIKLOPEDI GEREJA, vol. III Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2004.

Jacobs, T., Konstitusi Dogmatis “Lumen Gentium” Mengenai Geredja; Djilid I,Yogyakarta: Kanisius, 1970.

Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik, Yogyakarta-Jakarta: Kanisius dan Obor, 1996.

Kusuma Bagus Kusumawanta, Dominikus, IMAM DI AMBANG BATAS, Yogyakarta: Kanisius, 2009.

Leon-Joseph Cardinal Suenens, Coresponsibility in the Church, London: Burns & Oates Ltd., 1968.

Terry Ponomban, “Ekaristi, Sumber yang Menghidupkan sang Gembala dan Kawanan”, dalam Imam Jantung Hati Yesus, Ed. Yon Lesek dkk. Jakarta: Obor, 2009.

Yosef Lalu, Makna Hidup dalam Terang Iman Katolik - Gereja Katolik Memberi Kesaksian Tentang Makna Hidup,Yogyakarta: Kanisius, 2010.




[1] T. Jacobs, Konstitusi Dogmatis “Lumen Gentium” Mengenai Geredja; Djilid I, (Yogyakarta: Kanisius, 1970), 221.
[2] T. Jacobs, Konstitusi Dogmatis “Lumen Gentium” Mengenai Geredja; Djilid I, 236.
[3] T. Jacobs, Konstitusi Dogmatis “Lumen Gentium” Mengenai Geredja; Djilid I, 242.
[4] T. Jacobs, Konstitusi Dogmatis “Lumen Gentium” Mengenai Geredja; Djilid I, 244.
[5] T. Jacobs, Konstitusi Dogmatis “Lumen Gentium” Mengenai Geredja; Djilid I, 245.
[6] T. Jacobs, Konstitusi Dogmatis “Lumen Gentium” Mengenai Geredja; Djilid I, 257-260.
[7] T. Jacobs, Konstitusi Dogmatis “Lumen Gentium” Mengenai Geredja; Djilid I, 276.
[8] T. Jacobs, Konstitusi Dogmatis “Lumen Gentium” Mengenai Geredja; Djilid I, 318.
[9] A. Heuken, “Hierarki,” dalam ENSIKLOPEDI GEREJA, vol. III (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2004), 30.
[10] Dominikus Kusuma Bagus Kusumawanta, IMAM DI AMBANG BATAS (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 61.
[11] Terry Ponomban, “Ekaristi, Sumber yang Menghidupkan sang Gembala dan Kawanan”, dalam Imam Jantung Hati Yesus, Ed. Yon Lesek dkk (Jakarta: Obor, 2009), 61.
[12] Leon-Joseph Cardinal Suenens, Coresponsibility in the Church, (London: Burns & Oates Ltd., 1968) 196.
[13] Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik, (Yogyakarta-Jakarta: Kanisius dan Obor, 1996) 375.
[14] Yosef Lalu, Makna Hidup dalam Terang Iman Katolik - Gereja Katolik Memberi Kesaksian Tentang Makna Hidup, (Yogyakarta: Kanisius, 2010) 135.
[15] Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana SJ (Jakarta: OBOR, , 1993)
[16] Gereja Misioner yang Diterangi Sabda Allah bersama Wilhelmus Van Der Weiden, ed. Bagus Irawan (Yogyakarta: Kanisius,2011), 37.
[17] Gopplet, Theology of the New Testament, vol I, BF, Mayer, 1981, 207.
[18] Gereja Misioner yang Diterangi Sabda Allah bersama Wilhelmus Van Der Weiden, 151.
[19] Gereja Misioner yang Diterangi Sabda Allah bersama Wilhelmus Van Der Weiden, 129.
[20] Dokumen Konsili Vatikan II, NA, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana SJ, (Jakarta: OBOR, 1993).
[21] Dokumen Konsili Vatikan II, GS, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana SJ, (Jakarta: OBOR, 1993).

Komentar

Postingan Populer