GEREJA SEBAGAI SAKSI ALLAH
A.
PENGANTAR
“Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku
akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya” (Mat 16:18).
Sepenggal ayat ini menjadi nasihat Yesus ketika memberikan tanggungjawab kepada
Petrus untuk menjadi pemimpin Gereja. Mulai saat itu Gereja terus bertumbuh dan
berkembang sampai sekarang. Gereja berdinamika menjadi sekawanan umat Allah
yang tiada henti menyerukan pewartaan Injil sebagai panggilan. Gereja terus
menghidupi semangat yang diberikan oleh Yesus Kristus yaitu semangat pelayan. “Sama
seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan
untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mat 20:28).
Semangat sebagai seorang pelayan ini diharapkan tumbuh
dan berkembang dalam kehidupan Gereja. Adapun model perutusan yang diperlihatkan
mencakup lima hal yaitu pewartaan, peribadatan,
pelayanan, persekutuan hidup dan kesaksian hidup. Kelima hal ini menjadi
arah yang hendak diperjuangkan Gereja agar pewartaan Injil semakin menggema
baik ke dalam maupun ke luar Gereja. Kami kemudian mencoba mencari jejak-jejak
Gereja ini dengan melihat salah satu paroki yang ada di Keuskupan Agung
Makassar, yaitu Paroki Santo Yusuf Pekerja Baras, yang terletak di Kabupaten
Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat. Adapun poin-poin yang hendak kami
uraikan antara lain: Gereja umat Allah dan sifat sakramentalnya, peranan
hierarki dalam Gereja, partisipasi kaum awam dan religius, serta Gereja yang
misioner dan berdialog. Empat hal ini akan diuraikan berdasarkan teori dan
fakta yang ada di lapangan.
B.
ISI
1.
Gereja
Umat Allah dan Sifat
Sakramental
Gereja
sebagai Umat Allah secara khusus dibahas dalam konstitusi dogmatis Lumen
Gentium tentang Gereja dalam Bab II (Umat Allah).
a.
Perjanjian
Baru dan Umat Baru (art. 9)
Judul
yang dipakai pada artikel ini tampaknya memiliki maksud bahwa Gereja hendak
melihat diri dalam rangka sejarah keselamatan. Istilah Umat Allah merupakan
istilah yang dipilih karena sejarah keselamatan. Istilah ini telah dipakai di
dalam Alkitab sehingga semakin menegaskan bahwa Gereja ada dalam sejarah
keselamatan. Istilah “Umat Allah” sendiri sudah memperlihatkan bahwa Gereja
dipandang dalam rangka sejarah keselamatan. Namun, “sejarah keselamatan”
bukanlah istilah yang mengatakan bahwa Gereja adalah lanjutan dari Israel
semata-mata. Antara Israel dengan sifat baru umat Gereja memiliki perbedaan
yakni:
“Gereja,
yang didirikan Kristus, adalah umat Allah
yang baru, yang tidak hanya menyusul umat terpilih yang lama, tetapi
dipersiapkan oleh umat yang lama itu (yang berupa lambang dari yang baru) dan
sekaligus juga menyempurnakannya. Oleh karena itu, nama yang dipakai untuk umat
lama dengan arti yang lebih mendalam diterapkan kepada Gereja, misalnya “Gereja
Allah” (I Kor 1:2; lih Ul 23:1-3); “Israel dari Allah” (Gal 6:16); “keturunan
terpilih, imamat rajawi” (I Ptr 2:9; lih. Pkh 19:6; Why 1:6). Anugerah-anugerah
yang hanya secara eksklusif diberikan kepada yang lama, sekarang dibagikan oleh
Roh Kristus di dalam Gereja: 1 Kor 10:6; terutama pengangkatan menjadi putera
(Rm 9:4; Gal 4:1-7); semua itu menurut janji-janji yang disampaikan kepada para
bangsa, dan sebagai pemulihan masehi yang diramalkan oleh para nabi (lih. Yes
40:1-11); meski kitapun masih mengharapkan keselamatan (Rm 5:2; Tit 2:13). Umat
baru merangkum, baik orang Yahudi maupun Yunani di bawah satu Kelapa (Rm
10:11-13; 1 Kor 1:24; 12:13; Gal 3:28)”.[1]
Secara ringkas, artikel
ini mengatakan bahwa terdapat kontinuitas sekaligus diskontinuitas tentang Umat
Allah. Dikatakan memiliki aspek kontinuitas karena Umat Allah itu merupakan
kelanjutan dari Israel (Perjanjian Lama). Dikatakan memiliki aspek diskontinuitas
karena pusatnya ialah Kristus. Sebagai komunio yang berciri historis, Umat
Allah ini berada di antara manusia dan masuk dalam sejarah manusia. Maka,
Gereja itu berciri manusiawi, memiliki wujud yang kelihatan dan berwajah
sosial. Inilah yang dikenal sebagai lembaga. Ciri historis ini hanya merupakan
tanda dari keselamatan universal yang mau disampaikan olehnya.[2]
Gereja tidak pernah menutup diri dan menjadi pulau dalam masyarakat. Gereja
hadir dalam dunia dan menjadi garam dan terang dunia.
Paroki St. Yusuf Pekerja Baras hadir di
Kabupaten Mamuju Utara sebagai sebuah lembaga yang kelihatan. Kristus hendak
masuk dalam sejarah keselamatan umat di kabupaten itu. Dalam hal ini, umat
Paroki Baras hadir sebagai communio yang
berpusat pada Kristus dan dikenal sebagai bagian dari lembaga yang disebut
Agama Katolik.
b.
Imamat
umum dan pelaksanaan imamat umum dalam sakramen-sakramen (art.10-11)
Artikel 10 berbicara mengenai martabat
baptisan. Setiap orang yang dibaptis memiliki martabat imamat umum.[3]
Ajaran tentang imamat umum ini memiliki akarnya dalam Alkitab, dan juga dalam
liturgi yang paling kuno semua orang yang dibaptis disebut “imam”.[4]
Jadi, imamat umum adalah kesatuan semua orang beriman dengan imamat Kristus.[5]
Artikel
11 lebih lanjut memberi penekanan pada bagaimana imamat umum mewujudkan diri
dalam perayaan sakramen-sakramen. Walaupun imamat umum merupakan kesatuan
dengan Kristus, tetapi tidak mengherankan bahwa pelaksanaan imamat umum di
bidang peribadatan mendapat perhatian khusus. Dalam bidang peribadatan,
pusatnya ialah sakramen-sakramen. Maka, berbicara mengenai imamat umum juga
semestinya berbicara mengenai segi-segi sakramental dari imamat ini.
Dengan
sakramen baptis, kaum beriman dimasukkan dalam tubuh Gereja. Pokok sakramen ini
ialah kelahiran kembali menjadi putera Allah. Dengan baptisan, orang
pertama-tama menjadi anggota Gereja dan dipersatukan dengan Kristus.
Keanggotaan ini tentu juga berarti suatu tugas, yakni “tugas untuk ibadah agama
kristiani”. Maka menjadi jelaslah bahwa baptisan mnjadi dasar imamat umum.
Tugas ini menjadi semakin jelas ketika orang menerima sakramen
penguatan/krisma. Dengan sakramen permandian, orang diterima dan sakramen
penguatan, orang diutus. Dan puncaknya ialah dalam sakramen ekaristi. Ekaristi
ialah pertama tama merupakan sebuah perayaan di mana seluruh Umat Allah
mengungkapkan kesatuannya di dalam Kristus.[6]
Pelaksanaan imamat umum dalam sakramen-sakramen lainnya juga menampakkan
kesatuan umat beriman dalam Kristus.
Setiap
perayaan sakramental yang dilakukan oleh umat di Paroki Baras menampakkan
kesatuan seluruh umat, sekaligus kesatuan mereka dengan Kristus. Setiap
perayaan itu pula menjadi bentuk pelaksanaan tugas mereka dalam imamat umum
yang mereka terima.
c.
Perasaan
iman dan karisma-karisma umat kristiani (art. 12)
Roh
Kudus itu hadir membimbing Gereja kepada kebenaran. Maka dari itu, Gereja tidak
mungkin dapat sesat. Ketidaksesatan ini menampakkan diri dalam Gereja melalui
“perasaan iman” yang adikodrati dari seluruh umat. Perasaan iman itu lebih
aktif dan terutama dinyatakan dalam menyelami dan mengembangkan iman.
“Perasaan” ini semacam kemampuan seluruh
Gereja untuk menyelami wahyu yang diteruskan dengan mengetahui mana yang benar
dan mana yang salah dalam hal-hal iman dan untuk sekaligus, semakin dalam
memasukinya serta dengan lebih penuh menerapkannya dalam hidup.
d.
Sifat
umum dan katolik Umat Allah yang satu (art. 13)
Pada
faktanya, Gereja Katolik
hanya terdiri dari sebagian kecil saja dari total keseluruhan penduduk dunia.
Artikel ini hendak mengawali/menyatakan hubungan Gereja dengan orang yang tidak
menganut agama Katolik. Namun sebelum membahas itu, konsili hendak menyatakan
terlebih dahulu bahwa Gereja tidak memandang diri sebagai suatu golongan yang
terpisah dari yang lain. Memang benar bahwa Gereja katolik hanya merangkum
sebagian kecil dari umat manusia, namun itu tidak berarti bahwa semangat Gereja
merupakan semangat partikular atau semangat minoritas. Gereja memiliki semangat
Katolik, artinya terbuka.[7]
Gereja tidak mau menutup diri dan menjadi pulau di tengah pulau. Katolik yang
terbuka ini juga sebenarnya melambangkan Gereja sebagai sakramen dari Roh
Kristus. Maka, kekatolikan mengindikasikan pengaruh dan kekuatan Gereja tidak
terbatas dirasakan hanya oleh “kelompok” partikular katolik, tetapi dirasakan
oleh seluruh dunia karena melalui Gereja-lah Roh berkarya.
“Satu”
tidak berarti “seragam”. Maka, kesatuan itu menerima keragaman. Kesatuan ini lebih bersifat kerja sama dan hubungan
antar-manusia. Kesatuan Gereja ialah kesatuan pribadi dalam Roh, bukan
keseragaman organisasi.
e.
Hubungan
Gereja dengan orang kristen bukan katolik dan umat bukan kristiani (art. 15-16)
Pada
dasarnya, kerja karya Kristus tidak hanya tertangkap dalam agama kristiani
saja.[8]
Gereja adalah tanda dari Kristus.
Allah hadir di tengah-tengah dunia dalam dan melalui Gereja. Kekhususan Gereja
bukan karena di dalamnya orang lebih mudah atau lebih dapat diselamatkan,
tetapi kekhususan Gereja adalah Tuhan yang mau mewahyukan diri kepada dunia
melalui Gereja.
Umat
Paroki Baras juga merupakan kelompok yang sangat terbuka. Hal ini terbukti
dengan keterlibatan mereka dalam Forum Kerukunan Umat
Beragama (FKUB) sehingga sampai sekarang, belum pernah terjadi konflik karena
intoleransi agama. Bahkan,
Desa Karave menjadi
salah satu desa percontohan toleransi se-Kabupaten.
f.
Sifat
misioner Gereja (art. 17)
Dasar
teologi misi adalah hakekat Gereja sebagai sakramen dari Kristus. Tuhan
mewahyukan diri di dalam Kristus secara historis dan sejarah keselamatan
Kristus dilanjutkan oleh Gereja. Maka Gereja menjadi istimewa bukan karena
kebaikan atau kepandaian anggota-anggotanya, tetapi karena kehadiran sabda
Allah. inilah dasar kegiatan misi Gereja. Gereja menghadirkan sabda Allah.
Orang dapat diselamatkan tanpa menjadi anggota Gereja. Tetapi orang tidak dapat
diselamatkan tanpa menerima sabda Allah yang dihadirkan oleh Gereja.
2.
Peranan
Hierarki
dalam Gereja
2.1 Pengertian
Hierarki
Kata hierarki berasal dari
bahasa Yunani hierarchy yang berarti
‘asal usul suci atau tata susunan’. Dalam bahasa yuridis Gereja, hierarki
merupakan tata susunan sekelompok pejabat dalam umat beriman, yang dipanggil
untuk mereprensentasikan Kristus kepada Gereja.[9] Secara objektif hierarki
dapat dikatakan sebagai tingkatan atau tata susunan, sedangkan secara subyektif
hierarki berarti para pelayan yang dipanggil untuk membangun umat beriman
secara rohani agar setiap orang beriman dalam berpartisipasi dalam kehidupan
Gereja.
Perkembangan hierarki berasal dari kelompok kedua
belas Rasul. Kata Rasul sendiri memiliki arti utusan. Akan tetapi setelah
kebangkitan Kristus sebutan Rasul tidak
hanya untuk kelompok kedua belas Rasul, melainkan juga para utusan dari
kelompok tersebut. Bahkan akhirnya semua ‘utusan jemaat’ (2Kor 8:22) dan semua
‘utusan Kristus’ (2Kor 5:20) disebut sebagai Rasul. Para Rasul sendiri diutus
untuk mewartakan iman dan memberi kesaksian tentang kebangkitan Kristus.
Kitab Suci menjelaskan bahwa perutusan ilahi, yang
dipercayakan Kristus kepada para Rasul akan berlangsung sampai akhir zaman (Mat
28:20). Pewartaan Injil yang diharapkan berlangsung sampai akhir zaman menjadi
asas seluruh kehidupan Gereja. Tugas mewartakan Injil menjadi hal pokok yang
perlu diperjuangkan secara terus-menerus dan berkelanjutan. Oleh karena itu
para Rasul mengangkat pengganti mereka untuk menunaikan tugas mewartakan Injil.
Dari sini, Konsili kemudian mengajarkan “atas penetapan ilahi para Uskup
menggantikan para Rasul sebagai gembala Gereja”. Para rasul diberi tugas untuk menjaga seluruh
kawanan: Karena itu jagalah dirimu dan jagalah seluruh kawanan, karena kamulah
yang ditetapkan Roh Kudus menjadi penilik untuk menggembalakan jemaat Allah
yang diperoleh-Nya dengan darah Anak-Nya sendiri (Kis 20:28). Tugas
penggembalaan inilah yang diteruskan oleh para Uskup sebagai pengganti para
Rasul.
Struktur hierarkis Gereja terdiri atas dewan para
Uskup dengan Paus sebagai kepala, para Imam dan Diakon sebagai pembantu Uskup.
Bersama dengan para Imam dan Diakon, para Uskup menunaikan tugas melayani dan
menggembalakan jemaat (bdk. Yoh 21:15-19). Para Uskup dan para pembantunya
bertindak sebagai wakil Kristus dalam memimpin kawanan yang mereka gembalakan.
Mereka bertindak sebagai guru dalam ajaran, Imam dalam ibadat suci, dan pelayan
dalam bimbingan (bdk. LG 20). Secara struktural kepemimpinan dalam Gereja
sekarang dapat diurutkan sebagai berikut:
a. Dewan Para
Uskup dengan Paus sebagai Kepalanya
Ketika Yesus mengangkat kedua belas Rasul, Ia
membentuk mereka menjadi semacam dewan. Yesus mengangkat Petrus sebagai ketua.
Seperti Santo Petrus dan para Rasul lainnya, atas penetapan Kristus menjadi
satu dewan. Begitu pun dengan Paus bersama para Uskup merupakansatu dewan.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa dewan para Uskup adalah pengganti para
Rasul (LG 20). Mereka dipanggil untuk menjadi pemimpin bagi Gereja.
b. Paus
Konsili Vatikan II menegaskan, “adapun dewan atau
badan para Uskup hanyalah berwibawa bila bersatu dengan Imam Agung di Roma
pengganti Petrus sebagai kepala dan selama kekuasaan primatnya terhadap semua,
baik gembala maupun kaum beriman, tetap berlaku seutuhnya.” Imam Agung di Roma
berdasarkan tugasnya, yakni sebagai wakil Kristus dan gembala Gereja semesta
memiliki kuasa penuh, tertinggi, dan universal terhadap Gereja, dan kuasa itu
selalu dapat dijalankan dengan bebas (LG 22).
c. Uskup
Seorang Uskup selalu berkarya dalam persekutuan dengan
para Uskup lain dan mengkui Paus sebagai kepala. Karya seorang uskup adalah
“menjadi asas dan dasar kelihatan bagi kesatuan dalam Gereja-Nya (LG 23). Tugas
pokok Uskup ialah pemersatu di tempatnya sendiri. Tugas utama hierarki ialah
mempersatukan dan mempertemukan umat. Tugas ini dapat disebut sebagai tugas
kepemimpinan dari para Uskup “dalam arti sesungguhnya disebut sebagai pembesar
umat yang mereka bimbing” (LG 27).
d. Imam
Imam adalah pembantu Uskup dalam menggembalakan umat
beriman. Para imam dipanggil untuk melayani umat Allah sebagai pembantu arif
bagi badan Uskup, sebagai penolong dan organ mereka (LG 28). Tugas konkret
seorang imam tidak terlepas dari tugas seorang Uskup. Melalui rahmat tahbisan
para imam memperoleh tugah untuk mewartakan Injil (PO 4) dan menggembalakan
umat (PO 6).
e. Diakon
Diakon merupakan
salah tahap sebelum orang menjadi imam. Pada abad pertama ada banyak diakon
yang dipilih untuk melayani jemaat (Kis 6:1-6). Adapun tugas-tugas seorang diakon
antara lain: tugas administratif dan pastoral, membaptis berkhotbah, membagi
komuni, memimpin upacara peneguhan nikah dan penguburan.
2.2 Tiga Tugas
Hierarki
Dalam kehidupan Gereja, hierarki memiliki tiga tugas
pokok yaitu, guru dalam ajaran, imam dalam ibadat dan pelayan dalam bimbingan.
Ketiga tugas tersebut menjadi arah dalam menunaikan tugas. Oleh karena itu,
dari hasil penelitian lapangan, kami mencoba menguraikan tiga tugas ini
berdasarkan fakta yang ada di lapangan.
a. Guru dalam
Ajaran
Imam adalah seorang perpanjangan tangan uskup dalam
melayani umat di Paroki. Imam berpartisipasi dalam mewujudkan tugas para Uskup
sebagai pewarta iman yang mengantarkan murid-murid pada Kristus (LG 25). Dalam
Kitab Hukum Kanonik dikatakan bahwa tugas dari imam-imam yang adalah rekan
sekerja uskup ialah memaklumkan Injil Allah; terutama para pastor paroki dan
mereka yang diserahi tugas reksa jiwa-jiwa, mempunyai kewajiban ini terhadap
umat yang dipercayakan kepada mereka; juga para diakon dalam persatuan dengan
uskup dan presbyteriumnya, harus mengabdi umat Allah dalam pelayanan sabda
(Kan. 757). Dari teks ini dapat dikatakan bahwa tugas pokok dank has seorang imam adalah
memaklumkan-mewartakan Injil Allah. Tugas mewartakan sabda Allah itu merupakan
pelaksaan pewartaan sabda secara konkret yang dilakukan melalui kegiatan
homili.[10]
Paroki St.
Yusuf Pekerja Baras memiliki seorang imam. Ia adalah Rm. Agustinus Matasak, Pr.
Ketika kami mencari fakta tentang bagaimana ia bertindak sebagai guru dalam
ajaran yang kami temukan ialah
pendampingan kaum muda. Beliau memberikan semacam rekoleksi untuk memperkaya
pengetahuan akan ajaran Gereja dan membangkitkan keterlibatan kaum muda dalam
hidup menggereja. Dari pengajaran melalui rekoleksi ini, harapannya kaum muda
terus bertumbuh menjadi orang yang aktif dalam Gereja.
Ada juga tugas dari imam sebagai guru dalam ajaran
yang tampak dalam pengamatan lapangan ialah homili. Dalam memberikan homili,
Rm. Agus berusaha mengangkat realitas yang ada dalam terang Kitab Suci sehingga
umat memahami bagaimana seharusya membangun iman yang baik. Contohnya, di
tengah umat ada kebiasaan menghabiskan uang seteleh gajian, khususnya kalangan
muda. Dari fakta ini, Rm Agus berbicara mengenai semangat menabung untuk
mempersiapkan masa depan dengan bercermin dari kisah pemuda kaya yang menghamburkan
harta (Luk 15:11-30).
b. Imam dalam
Ibadat
Salah satu sumber dan pertumbuhan Gereja ialah
Perayaan Ekaristi. Perayaan ini hanya dapat dipimpin oleh mereka yang telah
menerima rahmat tahbisan imamat. Uskup sebagai pihak yang memiliki kepenuhan
Sakramen Tahbisan, menjadi “pengurus rahmat imamat tertinggi”, terutama dalam
Ekaristi, yang dipersembahkan sendiri atau yang dipersembahkan atas kehendaknya
(LG 26). Tugas Uskup ini dalam
pelaksaannya dibantu oleh imam. Dalam Kurban Misa, mereka menghadirkan serta
menerapkan satu-satunya kurban Perjanjian Baru, yakni kurban Kristus, yang satu
kali mempersembahkan diri kepada Bapa sebagai kurban tak bernoda (lih. Ibr
9:11-28), hingga kedatangan Tuhan (lih. 1Kor 11:26) (LG 28).
Berdasarkan fakta di lapangan peran imam dalam ibadat
yang tampak ialah Perayaan Ekaristi. Rm. Agus sebagai romo paroki berusaha
menyusun jadwal untuk mengunjungi umat setiap bulan dan merayakan Ekaristi
bersama mereka. Dalam perayaan Ekaristi itu, imam bersama umat mengucapkan
syukur mereka atas keselamatan, karunia iman, pengampunan, kehidupan dan rahmat
lainnya yang nyata dalam kehidupan.[11] Ucapan syukur itu juga
menunjukkan ungkapan terima kasih atas kehadiran Yesus secara konkret dalam wujud
persekutuan umat, dalam diri imam, melalui sabda-Nya dan sakramen Tubuh serta
Darah-Nya.
Ada juga kegiatan-kegiatan ibadat yang dilaksanakan
oleh Rm. Agus sebagai kepala paroki. Kegiatan itu antara lain peneguhan
perkawinan dan pemberkatan jenasah. Kedua kegiatan ini menjadi bagian yang
tidak lepas dari perjalanan hidup sebagai imam di Paroki Baras. Ada orang yang
dinikahkan dan ada orang yang diberkati saat meninggal. Di sini, imam mau
menunjukkan bahwa imam hadir dalam setiap dinamika kehidupan umat. Mulai dari
awal kehidupan umat sampai pada kembalinya umat ke pangkuan Bapa.
c. Pelayan dalam
Bimbingan
Para Uskup membimbing Gereja yang dipercayakan kepada
mereka sebagai wakil dan utusan Kristus, dengan petunjuk-petunjuk,
nasihat-nasihat dan teladan mereka, tetapi juga dengan kewibawaan dan kuasa
suci. Kuasa itu hanyalah mereka gunakan
membangun kawan mereka dalam kebenaran dan kesucian dengan mengingat bahwa yang
terbesar hendaklah menjadi yang paling muda dan pemimpin menjadi sebagai
pelayan (lih. Luk 22:26-27) (LG 27). Kata penting dari tugas ini ialah pelayan.
Uskup sebagai seorang gembala perlu menampakkan semangat seorang pelayan,
begitupun para imam yang menjadi pembantunya. Semangat pelayan itu sendiri
bercermin pada Yesus Kristus. Apa yang telah diperlihat Yesus semasa hidup dan
karya-Nya menjadi teladan bagi imam. Bertindak sebagai pelayan berarti siap
sedia dalam menjawab kebutuhan umat.
Berdasarkan pengalaman Rm. Agus sebagai seorang romo
paroki selama kurang lebih empat tahun, semangat pelayan yang paling penting
dalam menggembalakkan umat ialah pengendalian diri. Kadang-kadang dalam
bertindak sebagai seorang gembala, tidak semua umat beriman dapat diajak untuk
bekerjsama secara muda. Sebagai seorang manusia biasa, tentu ada rasa jengkel
berhadapan dengan situasi itu. Namun berkat pengendalian diri muncul berbagai
nilai yang menguatkan imam dalam menghadapi situasi itu. Nilai itu seperti
kesabaran, ketekunan, keuletan dan lain sebagainya. Nilai-nilai ini sangat
membantu imam dalam bertindak sebagai gembala yang bijaksana.
Semangat pelayan juga muncul dari keterbukaan. Menjadi
seorang imam di paroki berarti hidup bersama dengan umat beriman yang
digembalakan. Keterbukaan menjadi penting dalam membuka kerjasama dengan umat.
Keterbukaan yang dimaksudkan ialah kesediaan menerima masukan dan gagasan yang
bersifat membangun Gereja. Kadangkala ada saja kebijakan yang perlu dilihat
bersama umat, agar kebijakan tersebut berdaya guna dalam perkembangan iman dan
kehidupan Gereja.
3.
Partispasi
Kaum Awam dan Para
Religius
a. Kaum Awam
Kompendium Ajaran Sosial Gereja menjelaskan bahwa
“ciri khas hakiki kaum awam beriman yang bekerja di kebun anggur Tuhan (bdk.
Mat 20:1-16) adalah corak sekular dari kemuridan mereka sebagai orang Kristen,
yang justru dilaksanakan di dalam dunia”. Fakta dalam kehidupan Gereja
menunjukkan bahwa bagian terbesar dalam Gereja adalah kaum awam.
Kaum
awam adalah semua orang beriman kristiani kecuali mereka yang termasuk golongan
imam atau status religius yang diakui dalam Gereja. Jadi, kaum beriman
kristiani, yang berkat Baptis telah menjadi anggota Tubuh Kristus, terhimpun
menjadi Umat Allah, dengan cara mereka sendiri ikut mengemban tugas imamat,
kenabian dan rajawi Kristus, dan dengan demikian sesuai dengan kemampuan mereka
melaksanakan perutusan segenap Umat Kristiani dalam Gereja dan di dunia. Ciri
khas dan istimewa kaum awam yakni sifat keduniaannya. Sebab mereka yang
termasuk golongan imam, meskipun kadang-kadang memang dapat berkecimpung dalam
urusan-urusan keduniaan, juga dengan mengamalkan profesi keduniaan, berdasarkan
panggilan khusus dan tugas mereka terutama diperuntukkan bagi pelayanan suci.
Hal ini dapat dilihat pada keterlibatan aktif kaum awam di Paroki Baras sendiri
baik mereka yang sudah tua (para bapak-ibu), orang-orang muda, dan anak-anak.
Mereka yang tua bekerja sama membangun Gereja, dan mereka yang muda bekerja
sama dalam pelayanan, seperti Ekaristi Kudus.
Berdasarkan
panggilan mereka yang khas, kaum awam wajib mencari kerajaan Allah, dengan
mengurusi hal-hal yang fana dan mengaturnya seturut kehendak Allah. Mereka
hidup dalam dunia, artinya: menjalankan segala macam tugas dan pekerjaan
duniawi, dan berada ditengah kenyataan biasa hidup berkeluarga dan sosial.
Hidup mereka kurang lebih terjalin dengan itu semua. Di situlah mereka
dipanggil oleh Allah, untuk menunaikan tugas mereka sendiri dengan dijiwai
semangat Injil, dan dengan demikian ibarat ragi membawa sumbangan mereka demi
pengudusan dunia bagaikan dari dalam. Begitulah mereka memancarkan iman,
harapan dan cinta kasih
terutama dengan kesaksian hidup mereka, serta menampakkan Kristus kepada
sesama. Jadi tugas mereka yang istimewa, yakni; menyinari dan mengatur semua
hal-hal fana, yang erat-erat melibatkan mereka, sedemikian rupa, sehingga itu
semua selalu terlaksana dan berkembang menurut kehendak Kristus, demi kemuliaan
Sang Pencipta dan Penebus” (LG 31).
Di Paroki Baras sendiri, ketelibatan
umat dalam masyarakat yang tampak ialah mengambil bagian sebagai guru atau
pegawai di instansi pemerintah.
Dasar
kerasulan awam adalah kesatuan sakramental dengan Kristus (lewat baptis dan
penguatan, terutama Ekaristi) dengan mengambil bagian dalam perutusan
keselamatan Gereja. Selain dari sakramen-sakramen, berbagai karisma juga
menjadi dorongan bagi kerasulan awam. Dari kalimat pertama: yang utama adalah
kerasulan seluruh Gereja, lalu ada pembagian fungsi (bdk. LG 17). Kerasulan bukan suatu aktivitas tambahan, tetapi hidup
Gereja sendiri. Kerasulan ini adalah hak dan kewajiban setiap orang yang
dipersatukan dengan Kristus (kerasulan umum) khususnya oleh sakramen-sakramen.
Kekhasan
kerasulan awam adalah berkontak langsung antarpribadi dalam masyarakat, seperti
garam bagi dunia (bdk. GS 23).
Kerasulan awam tidak mendapat ketentuan dari Kristus tetapi dari kedudukannya
dalam masyarakat sebagai fungsi duniawinya yang bertujuan untuk pembangunan
masyarakat berorientasi kristiani. Kerasulan awam semakin berarti bagi Gereja
jika ditentukan terutama dari dunia dan menjadi fungsi dalam dunia. Kerasulan awam
adalah kerasulan karena ditujukan kepada keselamatan Kristus; disebut kerasulan
awam karena mempersiapkan orang pada tujuan itu.
Imamat
kaum awam berpangkal pada imamat umum-ikut serta pada imamat Kristus (nabi,
imam dan raja). Imamat Kristus sebagai imamat umum kaum awam telah dijelaskan
dalam LG 10. Yang perlu diperhatikan kemudian adalah Kristus disebut sebagai
imam hanya terdapat dalam Ibr, secara
khusus 9:11 “Kristus yang datang sebagai Imam Besar…”. Yesus juga tidak pernah
menyebut diri imam, bukan dari golongan imam Levi/Harun, tidak pernah bertindak
sebagai imam yang mempersembahkan kurban kultis, kecuali wafat-Nya secara
simbolis disebut sebagai “kurban” (Ef 5:2). Jadi, imamat Kristus bukanlah suatu
tugas/fungsi, melainkan rumusan singkat bagi karya keselamatan (Ibr 10:11-15).
Imamat Kristus serta partisipasi di dalamnya adalah pengabdian kepada Allah,
sebagai “persembahan hidup…adalah ibadah yang sejati” (Rm 12:1).
Kaum
awam di dunia menurut konsili perlu menghidupi “di dalam Roh” semua karya, doa,
kerasulan, hidup suami-istri dan keluarga, jerih payah sehari-hari, istirahat
bagi jiwa dan badan hingga beban hidup (LG 34). Hal ini secara fundamental
menjadi “persembahan rohani” dan ibadat rohani yang mereka persembahkan kepada
Allah. Di dalamnya juga termuat keikutsertaan kaum awam dalam imamat umum,
sebab “mereka yang dibaptis,… disucikan menjadi imamat suci…dengan segala
perbuatan mereka, mempersembahkan kurban rohani dan untuk mewartakan daya
kekuatan-Nya…” (LG 10). Dengan kata lain, seluruh kegiatan, baik itu profan
atau rohani, apabila dihidupi “di dalam Roh”, memiliki suatu makna yang dalam
sebagai persembahan dan kurban, kesaksian iman yang sangat terkait dengan
imamat agung.[12]
Segala
sesuatu yang dijalankan awam dalam Gereja dan dunia adalah dalam kesucian hidup
(menghasilkan buah Roh) menjadi kurban rohani yang dipersembahkan bagi Bapa
dalam Ekaristi. Awam kemudian hidup dengan suci, membaktikan dunia (consecratio mundi) kepada Allah, artinya bahwa kurban rohani dan buah Roh tidak
hanya dalam bidang ibadat, tetapi juga dalam segala aktivitas keseharian orang
kristiani. Dalam istilah ini terungkap secara istimewa segi penyerahan dunia
dan kebaktian kepada Allah yang mencakup pemuliaan Allah dan keselamatan
manusia. Kata consecratio dapat dilihat
dalam perspektif kultis seperti dalam surat Ibrani yaitu sebagai ungkapan yang
ingin merangkum keseluruhan karya Kristus yang secara istimewa terungkap segi
penyerahan dan kebaktian.
b.
Para Religius
Para
religius dengan status hidup mereka memberi kesaksian yang cemerlang dan luhur
bahwa dunia tidak dapat diubah dan dipersembahkan kepada Allah tanpa semangat
Sabda Bahagia (34). Hal ini terlihat jelas bagaimana semangat hidup pelayanan
yang ditunjukkan oleh para Frater Hamba-Hamba Kristus bersama dengan para
Suster CIJ. Mereka, dengan penuh semangat berkatekese dari stasi ke stasi.
Tujuan mereka memberikan pendalaman iman itu bagi umat adalah supaya umat
menghayati imannya. Bentuk kegiatan pendalaman iman ini dilakukan dengan
berbagai macam kegiatan seperti rekoleksi, lomba cerdas cermat Alkitab, membaca
Alkitab, dan retret.
Kehadiran
Kristus dalam Gereja akan semakin tampak jelas dengan kesaksian para religius
yang dengan sungguh-sungguh berusaha memperjuangkan kasih Kristus kepada
masyarakat duniawi. Panggilan suci ini hendaknya tetap dipertahankan dan
diperjuangkan oleh para religius sehingga semakin maju dan dapat memperindah
wajah Gereja. Dengan mengikrarkan nasihat-nasihat injili, para religius bukan
hanya melepaskan tawaran nilai duniawi tetapi juga harus mengorbankan hal-hal
yang pantas dinilai tinggi. Para religius menyerahkan diri seuntuhnya pada
Allah dengan kebebasan rohani dan kemurnian hati. Kesaksian hidup para religius
dalam menghayati nasihat-nasihat Injili merupakan semangat yang berasal dari
Kristus sendiri yang memilih hidup dalam kemiskinan dan keperawanan. Dengan
corak hidup yang dipilih, para religius mampu menjadikan hidup orang kristiani
menjadi lebih serupa dengan Kristus sendiri.
Secara garis besar ada dua kongregasi yang berkarya di paroki Baras yaitu
suster CIJ dan Frater HHK. Para suster CIJ berkarya melalui pendidikan,
sedangkan para frater HHK melibatkan diri dalam pelayanan di stasi-stasi.
Penyerahan diri yang total kepada
Allah dengan ikrarnya tidak diartikan sebagai pilihan untuk terpisah dari kaum
awam atau terasing dari masyarakat duniawi. Namun mereka tetap ambil bagian
dalam usaha membangun Kerajaan Allah di dunia. Para religius tetap menyenangkan
sesama dalam kasih dan bekerjasama dengan mereka secara rohani, sehingga
pembangunan masyarakat duniawi bersandar pada karya Ilahi dan tertuju pada
Tuhan sendiri.
Para
religius hendaknya berusaha agar Gereja benar-benar menampilkan Kristus sebagai
kepala kaum beriman maupun tidak beriman, lewat perkataan dan tindakannya. Di
antara para religius terdapat pribadi-pribadi suci yang menjadi teladan bagi
seluruh umat Gereja dan itu memperlihatkan bahwa cita-cita Kristus telah
tertanam dalam dirinya. Ketika seorang religius dapat menghayati hidupnya
sebagai perwujudan nilai-nilai manusiawi yang sejati, maka ia tidak hanya
berkembang ke arah kedewasaan sendiri tetapi juga dapat berarti banyak bagi
orang lain. Dengan kata lain, saat seseorang yang kematangannya berdasarkan
pada hubungannya dengan Kristus, maka ia mampu memberi nilai kepada sesuatu
yang dialaminya dan itu bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk
orang lain.
Setiap orang yang mengikrarkan
nasihat-nasihat Injil
haruslah berusaha supaya bertahan dan semakin maju dalam menjalani semua itu.
Kehidupan kaum religius memang bukan sebagai fungsi gerejawi, tetapi sebuah corak kehidupan.[13] Yang
mau ditegaskan bahwa status mereka terwujudkan dengan pengikraran
nasihat-nasihat Injil, meski tidak termasuk dalam susunan hirarkis. Di sini,
yang perlu diingat adalah kesucian itu tidak tergantung pada sebuah corak
kehidupan. Akan tetapi, suatu cara hidup tertentu yang dapat membantu dan
menyokong pengarahan diri kepada Kristus.[14]
Kristus adalah tujuan segala usaha
dan kerja sama di dalam Gereja. Setiap anggota bekerja menurut daya yang
diterima dari Kepala, Kristus. Ef 4:15-16 dikutip untuk menegaskan persatuan
dalam semangat cinta, kerja sama yang erat, dan pengakuan iman yang sama.
Membangun Gereja berarti tidak hanya menyampaikan kebenaran dengan perkataan,
tetapi terutama dengan perbuatan/cinta kasih. Namun Gereja sendiri bukan
menjadi tujuan tetapi jalan untuk melaksanakan karya Tuhan.
4.
Gereja
yang Missioner
dan Berdialog
Gereja yang dengan
ajaran-ajarannya menghantar keselamatan, menjadi milik semua orang. Gereja
pasca Konsili Vatikan II memberikan titik jelas tentang hal ini. Gereja yang
semula bersemboyan extra ecclesiam nullam
salus, beralih kepada Gereja yang lebih terbuka mengundang semua orang
untuk masuk dalam persekutuan ajarannya sebagai salah satu jalan menuju
keselamatan. Dengan ini Gereja tidak lagi terkungkung di dalam ajarannya
sebagai klaim yang otentik melainkan lebih terbuka dan menyediakan jalan bagi
kemungkinan-kemungkinan lain dan secara bersama-sama menghantar semua orang
masuk dalam keselamatan kekal. Gereja baru akan mencapai kepenuhannya di dalam
kemuliaan surga bila tiba saatnya segala sesuatu diperbaharui (Kis 3:21), dan
bersama dengan seluruh umat manusia bergerak kearah kebaikan dan diperbaharui
secara sempurna dalam Kristus.[15]
Karya misi Gereja tidak dapat
dilepaskan dari realitas dunia yang beraneka ragam. Gereja berada diantara
macam-macam kebudayaan, etnis, suku, bahasa, bangsa dan keyakinan. Kenyataan
ini menuntut agar Gereja hadir sebagai sosok yang mampu bergaul dan berdialog
dengan keaneka ragaman tersebut. Dalam Lumen
Gentium, Konsili Vatikan II berbicara mengenai sikap Gereja terhadap
seluruh umat Allah di seluruh dunia. Dalam dokumen Gaudium et Spes, Konsili Vatikan II mengemukakan hubungan Gereja
dengan dunia dan umat zaman ini berdasarkan azas-azas ajaran Kristiani.[16] Dua dokumen Konsili ini
mengarahkan sikap Gereja kepada keanekaragaman tersebut.
Paroki Santo Yusuf Pekerja
Baras dapat dikatakan sebagai paroki yang bertumbuh dari umat yang mengikuti
transmigrasi. Iman Katolik yang hidup di paroki ini dibawa dan dikembangkan
oleh orang-orang yang berasal dari berbagai suku yaitu Toraja, Flores, Timoor,
Jawa dan Bali. Dalam keberagaman ini panggilan dialog menjadi sarana yang harus
dikembangkan. Dialog yang dibangun selama ini mulai tampak baik itu ke dalam
maupun ke luar. Doalog ke dalam lebih pada kegiatan ekumenisme, sedangkan
dialog ke luar lebih pada keterlibatan umat Katolik dalam instansi pemeritahan
seperti menjadi seorang guru dan anggota dewan.
Ketelibatan umat beriman dalam konteks ini membuat jalinan persaudaraan
terbangun dengan baik dalam kehidupan bermasyarakat. Tidak pernah terdengar
konflik muncul karena unsur agama. Umat Katolik hidup dengan harmonis di tengah
keberagaman.
4.1 Gereja
Sebagai Pewarta – Berdialog Meneladan Yesus
Dalam pidato pembukaan
konsili, Paus Yohanes XXIII mengemukakan bahwa Gereja harus tetap berpegang
teguh pada sabda Tuhan, “Pergilah,
Ajarilah semua bangsa dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Putera dan Roh
Kudus!”. Masing-masing kata dari seruan Yesus ini mempunyai arti yakni
Gereja sebagai pewarta, Gereja sebagai guru, Gereja sebagai pengudus dan diatas
semuanya itu adalah yang memberikan lisensi
kepada Gereja yakni Bapa, Putra dan Roh Kudus. Lisensi yang diberikan ini yakni kewenangan untuk mewartakan injil
kepada semua makhluk (bdk. Mrk 16:15). Dengan ini Gereja sungguh-sungguh
berusaha mendukung misi – misi untuk memajukan kemuliaan Allah dan keselamatan
semua orang.
Sebagai Gereja Kristus kita
harus meneladan Yesus. Yesus berkeliling di daerah Yahudi sebagai seorang
pengajar dan rabi, tanpa ikatan keluarga, profesi ataupun tempat tinggal.[17] Berulang kali Yesus
melintasi batas-batas secara bebas, entah itu batas geografis, rasial, ekonomi,
politik, kultural bahkan keagamaan. Dalam pewartaan itu Yesus selalu konsisten
dengan ajaran-ajarannya. Tentu, sikap yang harus dimiliki oleh seorang misioner
adalah sikap berani. Seperti yang dilakukan oleh Yesus, Ia berani menembus
batas-batas demi tujuan mulia yakni Kerajaan Allah. Tanpa sikap mendasar ini,
ajaran – ajaran Yesus dalam Kitab Suci hanya akan tetap menjadi gagasan tanpa
realisasi pewartaan.
Motivasi utama pelayanan Yesus
ialah, datangnya kerajaan Allah (bdk Mrk 1:14-15). Bagi-Nya, motivasi ini wajib
dinyatakan kepada semua orang; baik orang kaya, orang miskin, orang kusta, para
pendosa, pelacur, pemungut pajak. Yesus mengundang semua orang untuk masuk
kedalam kerajaan Bapa – Nya yang penuh kasih dan pengampunan. Bahkan, fenomena
misi untuk orang non-Yahudi bukanlah sesuatu yang dimiliki jemaat post – Paskah atau Paulus semata, Yesus
adalah orang yang meletakkan fondasi untuk misi bagi non – Yahudi.[18]
Yesus melayani mereka yang
terpinggirkan dan terbuang. Bahkan bentuk kematianNya di salib mengindikasikan
Yesus sebagai orang yang terbuang. Pelayanan misioner Yesus adalah manifestasi
kerajaan Allah yang sudah lama dirindukan oleh mereka yang terpinggir dan
terbuang. Yesus sendiri telah melepaskan diri dari harta duniawi; godaan,
kuasa, harta dan pengaruh. Sebagai orang yang melewati batas – batas duniawi
tersebut, Yesus memilih untuk tinggal bersama mereka yang berada di perbatasan.
Dengan demikian Yesus menciptakan pusat yang baru dan tentu saja berbeda. Pusat
ini dibangun melalui pertemuan segala batas dari beragam dunia sehingga kerap
kali menimbulkan konflik.
4.2 Dilema Misi –
Dialog
Aggiornamento yang dihembuskan
oleh Kosili Vatikan II membawa angin segar ditengah zaman milenial saat ini.
Dalam Nostra Aetate, membuka lebar
pintu dialog Gereja dengan penganut agama-agama lain. Dialog tidak lagi dilihat sebagai kemungkinan melainkan sebagai
sebuah keharusan. Namun, kedua fakta, Gereja yang berdialog – misioner tidak
gampang untuk depertemukan. Satu sisi, Gereja ingin melaksanakan tugas
misionernya, “pergilah, ajarilah semua
Bangsa dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus” Sisi
lain, dalam tugas misionernya, Gereja akan berjumpa dengan berbagai keyakinan
lain. Bagaimana memberikan kesaksian diantara keyakinan lain sedang Gereja
sendiri dalam NA 2 ⸹2 juga mengakui keyakinan-keyakinan lain. Lebih tegas lagi
LG 16, menyebutkan bahwa “apa pun yang baik dan benar, yang terdapat pada
mereka, oleh Gereja dipandang sebagai persiapan Injil”. Pertanyaan dijawab pada
paragraf ke dua; Gereja menghimbau para putranya agar dengan bijaksana dan
penuh kasih melakuan dialog sambil memberikan kesaksian tentang iman Kristiani
melalui cara hidup dan tetap menghargai kekayaan – kekayaan yang ada pada
mereka. Perbedaan arah misi pra
Konsili dan pasca Konsili sangat
jelas terlihat. Sebelum Konsili Vatikan II wajah misioner Gereja yang
ditampilkan adalah mencari tambahan anggota sebanyak-banyaknya. Sedangkan,
wajah lain yang ditampilkan Gereja setelah Konsili Vatikan II adalah lebih pada
menjadi garam dan terang dunia meski pun tetap ditekankan bahwa misi itu
akhirnya membawa orang untuk percaya kepada Kristus.
Dengan menegaskan kembali
Dekret tentang kegiatan Misioner Gereja dalam Ad Gentes, Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Redemptoris Missio menjawab pula dilema
di atas. Gereja perlu membaharui komitmen misionernya bukan hanya karena ada
dilema namun, terlebih bahwa dasar dari kegiatan misioner Gereja adalah
“pelayanan yang dapat diberikan Gereja kepada setiap orang di dunia modern
ini”. Gereja pasca Konsili Vatikan II tidak lagi hadir sebagai yang memutlakkan
ajarannya namun lebih pada menawarkan undangan sebagai salah satu jalan
kebenaran itu sendiri. Undangan itu terlebih khusus berupa pelayanan para
anggota – Nya kepada seluruh makhluk. Tidak ada sekat yang membatasi pelayanan
Gereja layaknya Yesus yang kerap kali menembus sekat-sekat buatan manusia. Kehadiran
Gereja diharapkan membawa angin segar bagi kedamaian seluruh makhluk sehingga
terpancarlah wajah kasih Kristus kepada semua orang.
Dokumen dari Komisi Kepausan
untuk Dialog antara agama dan untuk Evanggelisasi bangsa-bangsa juga menjawab
dilema di atas. Dialogue and Proclamation
ini membedakan tiga istilah: Evangelisasi (Evangelization), dialog
(dialogue) dan Proklamasi (proclamation).[19] Evangelisasi menunjuk
pada misi Gereja secara keseluruhan. Dialog berarti seluruh relasi yang positif
dan konstruktif dengan individu-individu dan komunitas-komunitas dari iman yang
lain. Sedangkan proklamasi adalah komunikasi pesan injil yang dinyatakan dalam
nama Yesus dan mengundang semua orang untuk beriman pada Yesus Kristus dan
menjadi anggota Gereja Kudus.
Gereja menyebarkan undangan
melaui cara hidup yang berdasarkan pada ajaran-ajaran Yesus. Sebab, kita tidak
dapat menyerukan nama Allah Bapa kepada semua orang apabila terhadap
orang-orang tertentu yang diciptakan menurut citra kesamaan Allah, kita tidak
mampu bersikap sebagai saudara.[20] Gereja dituntut untuk
membentuk teladan hidup sebagai komunitas kasih untuk mewujudkan perintah utama
Iman Kristiani, karena, “barang siapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah”
(1 Yoh 4:8).
Mengapa Gereja perlu bermisi
dan berdialog? Gereja bermisi karena Gereja yakin dan percaya dengan apa yang
diimani bahwa Yesus adalah Tuhan dan penyelamat, “tujuan sejarah manusia… dan
pemenuhan aspirasi-aspirasi mereka”.[21] Oleh karena itu, Gereja
merasa perlu untuk membagikan suka cita kepada semua bangsa agar secara
bersama-sama dapat berjalan mewartakan kadamaian dan Kasih Kristus menuju
kepada kehidupan kekal yang bahagia dengan tetap berpegang teguh pada tuntunan
Roh Allah yang mengarahkan sikap sebagai pionir misi Gereja dan membaktikan
diri untuk keselamat seluruh manusia.
C.
PENUTUP
Kehidupan Gereja di Paroki Baras menjadi suatu
panggilan untuk bersaksi di tengah masyarakat yang plural. Gereja dengan latar
belakang yang bermacam-macam suku memberikan kekayaan tersendiri di dalam
Gereja. Umat dipanggil menjadi orang yang mampu bekerja sama satu sama lain,
baik ke dalam maupun ke luar Gereja. Keterlibatan ke dalam Gereja, lebih pada
kegiatan-kegiatan yang memperkaya dan memperkuat iman, sedangkan keterlibatan
ke luar merupakan bentuk kesaksian dari Gereja.
Gereja dalam kehidupannya membutuhkan kerjasama antara
awam dan imam. Kedua pihak ini menjadi pemeran penting dalam mengupayakan
kerjasama. Jika imam dan awam mampu bekerjsama secara baik, maka seruan
kebaikan dengan sendirinya memancar ke luar Gereja. Bentuk kerjasama antara
imam dan awam senantiasa berpusat pada Kristus sebagai kepala. Di samping itu,
imam dan awam pun mengambil peran masing-masing dalam bermasyarakat. Awam
melalui pekerjaannya dipanggil untuk menyerukan kebaikan di dalamnya, sedangkan
imam mengarahkan umat untuk senantiasa hidup sesuai dengan kebenaran.
Pada akhirnya dinamika Gereja itu membutuhkan
kerjasama yang kuat antara imam dan awam. Ketika kerjasama ini sudah kuat, maka
panggilan untuk terlibat dengan masyarakat secara umum dapat dengan mudah
dilaksanakan. Dalam hal ini Gereja menjadi garam dan terang dunia.
D.
DAFTAR PUSTAKA
Dokumen Konsili Vatikan II,
diterjemahkan oleh R. Hardawiryana SJ (Jakarta: OBOR, , 1993.
“Gereja Misioner yang Diterangi Sabda Allah bersama Wilhelmus Van Der
Weiden”, ed. Bagus Irawan, Yogyakarta:
Kanisius, 2011.
Heuken, A., “Hierarki,” dalam ENSIKLOPEDI GEREJA, vol. III Jakarta:
Yayasan Cipta Loka Caraka, 2004.
Jacobs, T., Konstitusi Dogmatis “Lumen Gentium” Mengenai Geredja; Djilid I,Yogyakarta: Kanisius, 1970.
Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik, Yogyakarta-Jakarta: Kanisius dan Obor, 1996.
Kusuma Bagus Kusumawanta, Dominikus,
IMAM DI AMBANG BATAS, Yogyakarta:
Kanisius, 2009.
Leon-Joseph
Cardinal Suenens, Coresponsibility in the
Church, London: Burns & Oates Ltd., 1968.
Terry Ponomban, “Ekaristi,
Sumber yang Menghidupkan sang Gembala dan Kawanan”, dalam Imam Jantung Hati Yesus, Ed. Yon Lesek dkk. Jakarta: Obor, 2009.
Yosef Lalu, Makna Hidup dalam Terang Iman Katolik - Gereja Katolik Memberi
Kesaksian Tentang Makna Hidup,Yogyakarta: Kanisius, 2010.
[1] T. Jacobs, Konstitusi Dogmatis “Lumen Gentium” Mengenai
Geredja; Djilid I, (Yogyakarta: Kanisius, 1970), 221.
[2] T. Jacobs, Konstitusi Dogmatis “Lumen Gentium” Mengenai
Geredja; Djilid I, 236.
[3] T. Jacobs, Konstitusi Dogmatis “Lumen Gentium” Mengenai
Geredja; Djilid I, 242.
[4] T. Jacobs, Konstitusi Dogmatis “Lumen Gentium” Mengenai
Geredja; Djilid I, 244.
[5] T. Jacobs, Konstitusi Dogmatis “Lumen Gentium” Mengenai
Geredja; Djilid I, 245.
[6] T. Jacobs, Konstitusi Dogmatis “Lumen Gentium” Mengenai
Geredja; Djilid I, 257-260.
[7] T. Jacobs, Konstitusi Dogmatis “Lumen Gentium” Mengenai
Geredja; Djilid I, 276.
[8] T. Jacobs, Konstitusi Dogmatis “Lumen Gentium” Mengenai
Geredja; Djilid I, 318.
[9] A. Heuken,
“Hierarki,” dalam ENSIKLOPEDI GEREJA,
vol. III (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2004), 30.
[11] Terry
Ponomban, “Ekaristi, Sumber yang Menghidupkan sang Gembala dan Kawanan”, dalam Imam Jantung Hati Yesus, Ed. Yon Lesek
dkk (Jakarta: Obor, 2009), 61.
[12] Leon-Joseph Cardinal Suenens, Coresponsibility in the Church, (London:
Burns & Oates Ltd., 1968) 196.
[13] Konferensi Waligereja
Indonesia, Iman Katolik,
(Yogyakarta-Jakarta: Kanisius
dan Obor, 1996) 375.
[14] Yosef Lalu, Makna Hidup dalam Terang Iman Katolik -
Gereja Katolik Memberi Kesaksian Tentang Makna Hidup, (Yogyakarta:
Kanisius, 2010) 135.
[16] “Gereja Misioner yang Diterangi Sabda Allah
bersama Wilhelmus Van Der Weiden”, ed.
Bagus Irawan (Yogyakarta: Kanisius,2011), 37.
Komentar
Posting Komentar