Karl Marx

PEKERJAAN: SARANA MENCIPTAKAN DIRI SENDIRI
Suatu Tinjauan Filosofis Menurut Karl Marx  

Pendahuluan
1.      Latar Belakang
Dalam dunia kerja, salah satu kualifikasi yang dibutuhkan ialah etos kerja. Setiap orang dituntut untuk memiliki etos kerja yang baik. Etos kerja yang baik akan tampak dari kesungguhan orang melakukan suatu pekerjaan. Orang yang sungguh dalam bekerja akan memberikan hal yang terbaik. Akan tetapi, orang-orang yang sungguh dalam bekerja agak sulit ditemukan. Kesulitan untuk menemukan orang-orang yang sungguh dalam bekerja bukan karena keterbatasan tenaga kerja. Tenaga kerja itu banyak, tetapi tidak semua tenaga kerja mampu memaknai pekerjaan. Pemaknaan pekerjaan itu tidak berasal dari luar diri seseorang. Setiap orang memaknai pekerjaan dari dalam diri sendiri.
Pemaknaan pekerjaan itu juga dipengaruhi oleh kompetensi seseorang dalam bidang yang digeluti. Kompetensi itu penting karena menjadi dasar orang memaknai pekerjaan. Tanpa kompetensi seseorang tidak dapat melakukan sesuatu dalam dunia kerja. Orang akan merasa asing dengan pekerjaannya tanpa memiliki kemampuan dalam bidang tersebut. Akibatnya mulai muncul rasa bosan dalam bekerja. Perasaan bosan atau jenuh membuat orang tidak lagi maksimal dalam bekerja. Hasil yang dicapai pun tidak sesuai dengan harapan dari suatu perusahaan. Ketika harapan itu tidak lagi sesuai, maka yang terjadi ialah permintaan barang itu menurun dan muncul ketidakseimbangan nilai produksi dan jumlah tenaga kerja.[1] Dalam situasi ini, perusahaan terpaksa memberhentikan orang-orang yang bekerja sebagai karyawan. Orang-orang yang berhentikan ini tentu bukan mereka yang giat dalam bekerja, melainkan orang-orang yang dianggap masih belum maksimal dalam bekerja.

2.      Rumusan masalah
a.       Apa dan bagaimana memaknai Pekerjaan?

3.      Lingkup Pembahasan
 Pembahasan mengenai pekerjaan  dilihat dalam kerangka pemikiran Karl Marx. Pemikiran Marx ini digunakan untuk melihat dan memaknai kerja sebagai sarana membentuk diri sendiri. Dengan memahami pekerjaan sebagai sarana menciptakan diri sendiri, orang semakin menghargai dan menikmati suatu pekerjaan.

4.      Tujuan Pembahasan
a.       Setiap orang mampu memaknai kerja
b.      Setiap orang menyadari bahwa pekerjaan itu membentuk diri sendiri

Pembahasan
1.      Biografi intelektual Karl Marx
Karl Heinrich Marx lahir pada 5 Mei 1818 di Traves, Jerman. Kedua orangtuanya adalah keturunan pendeta-pendeta Yahudi. Ayahnya seorang pengacara dan termasuk dalam golongan menengah. Ibunya adalah seorang puteri seorang pendeta Belanda yang berbangsa Yahudi. Pada tahun 1824, keluarga Marx berpindah dari agama Yahudi ke  agama Kristen Protestan. Perpindahan ini turut mempengaruhi kepercayaan keluarga tersebut. Keyakinan mereka bergeser dari kepercayan Yahova yang Esa kepada keyakinan Trinitas.[2]
Pada tahun 1835 ia melanjutkan pendidikan di fakultas Hukum Universitas Bonn. Pendidikan di tempat ini hanya berlangsung selama setahun karena ia tidak kerasan. Sikap itu muncul karena pendidikan yang di tempuh di Bonn merupakan keinginan dari sang ayah. Selanjutnya, ia masuk di Universitas Berlin dan mendalami pendidikan filsafat dan sejarah. Di tempat ini ia dapat mengembangkan bakat yang luar biasa dalam bidang filsafat. Selama menimba ilmu di tempat ini, ia bergabung dengan kelompok diskusi yang mengkaji ajaran-ajaran Hegel. Akhirnya pada usia 23 tahun ia memperoleh gelar Doktor.
Karl Marx berkeinginan melanjutkan karir sebagai dosen, tetapi hal itu gagal karena berbagai kritik keras yang dikemukakan oleh Hegelian Kiri. Kegagalan ini membuat Marx mulai merintis karir sebagai wartawan dan mulai menulis berbagai artikel. Tulisan-tulisan yang dikemukakan Marx banyak mengkritik pemerintah, sehingga izin menerbitkan tulisan itu dicabut. Marx kemudian berpindah ke Paris. Di tempat ini, ia mulai menyadari arti penderitaan, merasakan pengucilan, pengusiran dan penjara. Pada tahun 1844 Marx berkenalan dengan Frederick Engels, seorang anggota gerakan sosialis yang datang dari London. Marx dan Engels mulai bekerjasama dalam menerbitkan beberapa tulisan. Beberapa saat kemudian, ia diusir dari Perancis karena desakan pemerintah Jerman. Pengusiran itu membuat ia sakit hati dan melepaskan statusnya sebagai warga negara jerman. Kertika diusir ia berpindah ke Brussel. Di ddaerah ini, Marx mendalami studi ekonomi dan menejalin hubungan dengan organisasi-organisai buruh, dan secara intensif aktif dalam terlibat dalam diskusi-diskusi serta protes kaum pekerja.[3]
Marx mewarisi dan menggali ajaran revolusi dan sosialisme dari Perancis, ekonomi politik di Inggris, dan ide-ide filsafat dari tradisi filsafat Jerman. Ada dua tokoh yang mempengaruhi filsafat Marx yaitu Hegel dan Fauerbach. Dari Hegel, Marx mengadopsi konsep  dialektika, sedangkan dari Fauerbach, Marx mengambil corak pemikiran yang bersifat materialisme. Kedua corak pemikiran tersebut digunakan oleh Marx dalam menuangkan ide-idenya.
Marx meninggal pada 14 Maret 1883. Saat itu ia sedang berada di ruang kerjanya. Ia ditemukan meninggal di atas kursi tempat ia bekerja. Peristiwa ini tentu meninggalkan duka mendalam bagi sahabatnya, Engels. Dalam pidato penguburan Marx Engels mengatakan bahwa Marx ada tokoh yang dibenci, sekaligus dikasihi oleh banyak orang.

2.      Pandangan Marx tentang Pekerjaan
Menurut Marx, pekerjaan adalah tindakan manusia paling dasar. Dalam pekerjaan manusia menyatakan dirinya. Pekerjaan menjadi sarana bagi manusia untuk memahami diri sendiri. Dengan melakukan suatu pekerjaan manusia akan melihat bentuk nyata dari dirinya.

a.       Manusia sebagai Pekerja
Kegiatan dasar manusia ialah bekerja. Manusia bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kebutuhan itu dipenuhi dengan memanfaatkan alam sekitar. Manusia akan bekerja atau mengolah alam untuk merealisasikan kebutuhan hidup. Kegiatan manusia bekerja ini menjadi khas karena manusia bekerja menggunakan akal budi mereka. Hal ini tentu berbeda dengan binatang. Memang binatang juga melakukan aktivitas mengolah alam, tetapi apa yang dilakukan itu tidak didasari oleh akal budi. Binatang hanya memproduksi apa yang dibutuhkannya  secara langsung bagi dirinya sendiri atau keturunannya, sedangkan manusia berproduksi secara universal. Binatang berproduksi hanya menurut ukuran dan kebutuhan jenisnya, sedangkan manusia berproduksi menurut ukuran kebutuhan secara umum. Dengan demikian ada kekhasan yang ditampakkan manusia dalam bekerja.[4]
Dalam menguraikan kekhasan manusia bekerja, Marx membandingkan manusia dengan binatang. Menurutnya binatang itu berkerja di bawah desakan naluri sesuai dengan kebutuhannya, sedangkan manusia bekerja secara bebas dan universal. Manusia bebas karena  ia dapat melakukan pekerjaan meskipun tidak merasakan kebutuhan langsung. Pekerjaan itu bersifat universal karena manusia dapat  memakai pelbagai cara untuk tujuan yang sama. Dengan demikian, Marx ingin menekankan bahwa pekerjaan itu membedakan manusia dari binatang dan menunjukkan manusia itu bebas dan universal.

b.      Pekerjaan sebagai Objektivikasi Manusia
Pekerjaan itu selalu mengahasilkan objek dari pikiran manusia. Dalam pekerjaan manusia menuangkan ide yang ada padanya. Contoh paling konkret dapat dilihat dalam diri seniman. Para seniman dengan bebas menuangkan ide mereka menjadi nyata dalam berbagai bentuk seperti lukisan, patung dan berbagai kreatifitas yang lain. Dengan bekerja, manusia mengambil bentuk alami dari objek alami dan memberikan bentuknya sendiri. Ia mengobjektivisasikan diri ke dalam alam melalui pekerjaannya. Ia dapat melihat dirinya dalam hasil kerjanya tersebut. Selain itu, manusia juga memperoleh kepastian akan bakat dan kemampuannya.
Makna dari suatu pekerjaan itu dapat tercermin dalam perasaan manusia. Biasanya ketika manusia telah menghasilkan sesuatu dalam pekerjaannya, akan ada kecenderungan perasaan tertentu yang muncul. Perasaan itu  tentu akan dipengaruhi oleh hasil yang dicapai dari suatu pekerjaan. Jika hasil itu baik maka perasaan yang muncul ialah rasa senang. Begitupun sebaliknya, jika hasilnya buruk, orang akan merasa tidak puas. Selain itu keringat yang tercurah tidak berarti apa pun ketika orang memperoleh hasil yang membanggakan. Pada akhirnya pekerjaan akan membuktikan bahwa manusia tidak hanya berkhayal tentang sesuatu, melainkan dapat dilihat secara nyata.[5]

c.       Pekerjaan dan Sifat Sosial Manusia
Makna pekerjaan itu tidak terbatas pada orang yang bekerja. Manusia membuktikan diri sebagai makhluk sosial dalam pekerjaan. Hal itu didasari dari pemahaman bahwa manusia tidak mungkin menghasilkan apa yang dibutuhkan tanpa orang lain. Dalam memenuhi kebutuhan manusia tergantung pada orang lain. Dengan kata lain setiap orang saling membutuhkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Hasil dari suatu pekerjaan selalu berdampak pada kebutuhan orang lain. Orang lain akan sangat senang apabila dapat menikmati hasil dari suatu pekerjaan.  Dalam kegembiraan itu, orang lain akan menerima dan menghargai hasil pekerjaan. Ketika pekerja melihat kegembiraan dari orang lain, pekerja itu akan merasa berarti karena mengetahui bahwa ia berharga di mata orang lain. Sebenarnya pekerja akan sangat bahagia jika pekerjaan itu menghasilkan sesuatu bagi orang lain dibanding pekerja itu menjualnnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pekerjaan adalah jembatan antarmanusia.
Pekerjaan sebagai jembatan antarmanusia memiliki dimensi historis. Manusia hidup di dunia sekarang ini sedang menikmati hasil pekerjaan manusia dari generasi sebelumnya. Dalam hal ini ada proses yang terus berlangsung terus menerus dan saling berhubungan. Contoh paling konkret dapat dilihat dari perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi akan menampakkan dengan jelas hal-hal yang berasal dari masa lalu. Jika dulu orang bekerja secara manual, kini orang dapat menggunakan mesin.[6]

3.      Keterasingan dalam Pekerjaan
Pekerjaan sebagai sarana perwujudan diri diharapkan mampu memberikan kegembiraan dalam hidup. Melalui pekerjaan, manusia seharusnya merasa puas. Akan tetapi, dalam kehidupan sehari-hari, ada orang yang tidak merasa puas dan gembira dalam bekerja. Orang-orang tersebut merasa bahwa pekerjaan itu merupakan hal yang asing. Dengan demikan mereka tidak merealisasikan diri dalam pekerjaan, melainkan mengasingkan diri mereka.
Marx melihat bahwa keterasingan dalam suatu pekerjaan paling tampak dalam sistem kapitalisme. Dalam sistem tersebut orang tidak bekerja dengan bebas dan universal. Orang terpaksa bekerja semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidup. Jadi, makna pekerjaan di sini menjadi kabur. Pekerjaan tidak lagi mengembangkan, melainkan mengasingkan dirinya, baik dari diri sendiri maupun orang lain.

a.       Manusia Terasing dari Diri Sendiri
Menurut Marx keterasingan dari diri sendiri memiliki tiga segi. Pertama, pekerja terasing dari hasil pekerjaannya.  Hasil pekerjaan itu tidak membuat pekerja merasa senang dan puas. Ketidakpuasan itu muncul karena hasil pekerjaan itu tidak menjadi milik pribadi, melainkan milik perusahaan. Keterasingan itu akan semakin konkret apabila pekerja hanya menghasilkan bagian terkecil dari suatu barang yang kompleks. Kedua, tindakan bekerja kehilangan arti bagi pekerjanya. Tindakan bekerja itu menjadi tidak berarti karena ada unsur ‘keterpaksaan’. Orang melakukan tindakan itu hanya sebatas bekerja  tanpa didasari kesadaran bahwa ia sedang bekerja. Dalam hal ini manusia tidak bekerja menurut hasrat dan dorongan batin, melainkan bekerja menurut kebutuhan tertentu dari perusahaan. Ketiga, manusia memperalat dirinya dengan tujuan semata-mata memenuhi nafkah. Dalam pekerjaan manusia tidak mengembangkan dirinya, melainkan memiskinkan diri. Seluruh perhatian hanya diarahkan pada pemenuhan nafkah, tanpa melihat proses yang berlangsung dalam bekerja.[7]

b.      Manusia Terasing dari Orang Lain
Ketika manusia terasing dari hakikatnya, ia pun terasing dari orang lain. Hal ini dapat dilihat dalam sistem pekerja upahan. Secara empiris, keterasingan dari sesama menyatakan kepentingan-kepentingan yang bertentangan. Dalam sistem hak milik pribadi di mana mereka yang bekerja di bawah kekuasaan para pemilik yang tidak bekerja, masyarakat terpecah-pecah ke dalam kelas-kelas para pekerja dan kelas-kelas para pemilik. Dua kelas itu saling berlawanan, bukan karena secara emosional tidak saling menyukai, melainkan karena kepentingan mereka secara objektif saling bertentangan. Pemilik menginginkan keuntungan yang setinggi-tingginya. Untuk itu, ia harus mengurangi upah dan fasilitas lain. Di sisi lain, pekerja mengingkan upah yang tinggi dengan syarat kerja yang baik. Dalam hal ini, kita dapat melihat bahwa buruh dan pemilik terasing satu sama lain. Dengan demikian Marx ingin memperlihatkan bahwa dalam masyarakat yang berdasarkan hak milik pribadi dapat memmbuat suatu persaingan.[8]
Tanda keterasingan itu  adalah kekuasaan uang. Manusia tidak lagi bertindak demi sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri atau demi kebutuhan sesama, melainkan hanya sejauh tindakannya menghasilkan uang. Segala sesuatu yang dihasilkan diukur dari harganya. Uang menandakan keterasingan dari manusia dari alam dan sesama manusia.

 Relevansi
Dalam pembinaan calon imam, pekerjaan juga merupakan bagian yang penting dalam membentuk diri. Setiap orang diberi tanggung jawab untuk menangani tempat-tempat tertentu. Dalam tata tertib hidup bersama Seminarium Anging Mammiri dituliskan bahwa setiap seminaris bertanggung jawab atas kelangsungan hidup yang baik dalam komunitas melalui tugas-tugas yang dipercayakan kepadanya (art. 4.b). Pemberian tanggung jawab ini memiliki tujuan untuk melatih para seminaris memiliki dan menghidupi nilai tanggung jawab. Akan tetapi, dalam kehidupan sehari-hari ada kesan bahwa tujuan tersebut kurang diperhatikan. Hal itu dapat dilihat dari kehidupan sehari-hari. Ada orang-orang tertentu yang tidak melaksanakan tanggung jawab ini dengan baik.
Dari pemikiran Marx tentang makna pekerjaan ini, ada satu hal yang dapat diperhatikan yaitu melihat pekerjaan sebagai sarana membentuk diri sendiri. Jika hal ini diterapkan maka orang akan sungguh memaknai pekerjaan itu dengan baik. Para seminaris yang tidak melakukan tanggung jawab dengan baik dapat dikatakan bahwa mereka tidak melihat pekerjaan sebagai sarana membentuk diri. Mereka ibarat para pekerja yang terus bekerja mengejar upah, sehingga mengabaikan nilai terpenting dibalik pekerjaan itu.
Pekerjaan adalah perwujudan diri dari seseorang. Marx melihat bahwa hasil dari suatu pekerjaan adalah gambaran tentang orang itu sendiri. Para seminaris yang tidak melaksanakan tugas dengan baik secara tidak langsung menungkapkan diri sebagai orang ‘tidak bertanggung jawab’. Pengungkapan diri itu dapat dilihat secara jelas dalam kehidupan sehari-hari, khususnya bentuk konkret dari tanggung jawab yang diberikan seperti tempat opera harian.
Para seminaris yang melakukan tanggung jawab dengan baik dalam pekerjaan sehari-hari turut mengembangkan dirinya sebagai makhluk sosial. Pelaksanaan tugas yang baik akan menampakan nilai sosial. Marx sangat menekankan nilai sosial ini. Dalam pekerjaan secara tidak langsung orang melakukan sesuatu bagi orang lain. Hal ini dapat dilihat dalam pelaksanaan tugas masak pada hari Minggu. Orang-orang yang bertugas memasak itu menyediakan makanan bagi orang lain. Di situlah nilai sosial itu akan tampak. Orang lain akan merasa senang menikmati hasil pekerjaan itu. Dengan demikian orang lain akan mengungkapkan rasa terima kasih itu.

Penutup
Manusia adalah makhluk pekerja. Manusia memenuhi kebutuhan hidup dengan bekerja. Dalam pekerjaan itu manusia mengungkapkan diri mereka. Pengungkapan itu tampak dari hasil pekerjaan. Hasil kerja yang baik harus didukung oleh pemaknaan yang baik pula. Dari pemikiran Marx kita dapat melihat bahwa pemaknaan yang baik itu didasari oleh suatu kesadaran. Orang sadar bahwa pekerjaan itu dilakukan sebagai perwujudan diri. Orang harus memahami bahwa bekerja bukan sekedar memenuhi kebutuhan hidup, melainkan membentuk diri sendiri. Pemahaman seperti ini tentu harus didalami oleh pekerja itu sendiri, bukan orang lain. Orang lain hanya  dapat mengingatkan tentang  pekerjaan itu.
Makna dari suatu pekerjaan ialah proses membentuk diri. Dalam pekerjaan orang mengembangkan nilai-nilai hidup seperti kesabaran, tanggung jawab, keuletan dan sebagainya. Berbagai nilai tersebut sangat mendukung diri dalam membentuk karakter. Nilai-nilai itu akan menjadi sangat konkret ketika orang memperlihatkan hasil dari pekerjaan itu. Makna pekerjaan sebagai proses membentuk diri ini akan sangat membantu orang dalam membangun kebiasaan yang baik. Dengan mengerti dan memahami makna pekerjaan ini, orang akan sampai pada peningkatan kualitas pribadi.
Pemaknaan terhadap kerja itu tidak memiliki bentuk baku. Setiap orang dapat memaknai pekerjaan berdasarkan kemampuan masing-masing. Akan tetapi, pemaknaan itu senantiasa memiliki satu hal yaitu kesadaran bahwa hasil dari suatu pekerjaan adalah gambaran diri sang pekerja yang bersangkutan. Selain itu, pemaknaan pekerjaan  juga perlu selalu dilihat dalam kerangka sosial. Artinya, orang melihat bahwa hasil pekerjaan itu bukan hanya dinikmati diri sendiri, melainkan juga orang lain. Pemaknaan seperti ini akan membuat orang berusaha menunjukkan kemaksimalan dalam bekerja. Dengan demikian orang akan merasakan kebahagiaan itu, baik dari pekerja maupun orang yang menikmati hasil kerja itu.


  Daftar Pustaka
Edwards, Paul,

1967    The Encyclopedia of Philosophy, V, Macmillian Publishing, London.

Eliade, Mircea,
1987    The Encyclopedia of Religion, Macmillian Publishing, London.

Magnis Suseno, Franz,

2016    PEMIKIRAN KARL MARX, Gramedia, Jakarta.

Muawiyah Ramly, Andi,

2000    Karl Marx, Lkis, Yogyakarta.

Subekti,

2017    “Pemerintah Berupaya Meningkatkan Kompetensi Pekerja”, Diakses dari https://m.tempo.co/read/news/2017/05/01/090871128/pemerintah-berupaya-tingkatkan-kompetensi-pekerja. (02 Mei 2017)







[1] Subekti, “Pemerintah Berupaya Meningkatkan Kompetensi Pekerja”, 2017, Diakses dari https://m.tempo.co/read/news/2017/05/01/090871128/pemerintah-berupaya-tingkatkan-kompetensi-pekerja. (02 Mei 2017).
[2] Bdk. Paul Edwards, The Encyclopedia of Philosophy, V, Macmillian Publishing, London 1967, 171-172.
[3] Bdk. Mircea Eliade, The Encyclopedia of Religion, Macmillian Publishing, London 1987, 238-239.
[4] Franz Magnis Suseno, PEMIKIRAN KARL MARX, Gramedia, Jakarta 2016, 94.
[5] Bdk Franz Magnis Suseno, PEMIKIRAN KARL MARX, 95-96.
[6] Andi Muawiyah Ramly, Karl Marx, Lkis, Yogyakarta 2000, 77.
[7] Franz Magnis Suseno, PEMIKIRAN KARL MARX, 99-100.
[8] Franz Magnis Suseno, PEMIKIRAN KARL MARX, 101-102.

Komentar

Postingan Populer