Teologi Solidaritas

A.    INFORMASI BUKU
Judul                           : TEOLOGI SOLIDARITAS
Nama pengarang         : John Sobrino, SJ & Juan Hernandez Pico, SJ
Penerbit                       : Kanisius
Tempat terbit              : Yogyakarta
Tahun terbit                : 1989
Jumlah halaman          : 142

B.     PEMBAHASAN BUKU
1.      Saling Mendukung dalam Iman
(Jon Sobrino, SJ)
a.       Gejala Baru Solidaritas Kristen
Kebangkitan solidaritas terhadap orang-orang Kristen dan gereja-gereja Amerika Latin dapat disaksikan pada awal tahun  1980-an. Salah satu contoh dari solidaritas itu ialah pengalaman solidaritas yang ditampilkan oleh Gereja El Savador. Ada banyak orang dan lembaga telah menjadikan Gereja El Savador ‘sesama’ menurut Injil. Para kardinal, uskup, biarawan-biarawati, delegasi Gereja reformasi, politisi profesional, wartawan, lembaga kemanusiaan telah datang ke negeri ini. Mereka melakukan kunjungan secara kristiani; melibatkan diri dalam dialog dengan petugas gereja, ikut dalam pertemuan dan perayaan liturgis orang-orang Kristen. Salah satu tindakan yang paling penting ialah mendatangi orang-orang El Savador yang menderita di daerah pedalaman, di penjara dan kamp-kamp pengungsi. Akhirnya banyak orang yang datang dari luar dan berani tinggal secara berdampingan dengan orang-orang El Savador sebagai sesama.
Fenomena di atas menjadi titik tolak dalam mendalami konsepsi tentang solidaritas. Solidaritas itu bukan hanya dalam arti bantuan, melainkan pemberian diri. Dalam melihat solidaritas yang penuh makna itu, orang dapat mencari kekhasan itu dalam solidaritas Kristen: (1) solidaritas digerakkan apabila beberapa Gereja membantu Gereja lain yang membutuhkan; (2) Gereja-Gereja yang membantu ini harus menyadari bahwa mereka tidak hanya memberi, melainkan juga menerima dari Gereja yang mereka bantu; (3) Karena Gereja saling memberi dan menerima, Gereja-Gereja itu memiliki hubungan timbal balik yang meliputi seluruh taraf kehidupan, dari bantuan materi sampai dengan iman kepada Allah. Tindakan Gereja seperti inilah yang disebut sebagai solidaritas.

b.      Sumber dari Solidaritas: Fakta Mengenai Kaum Miskin
Sumber dari solidaritas ialah sesuatu yang nyata dalam sejarah dan sekaligus efektif. Maksud dari keefektifan itu ialah bentuk solidaritas yang tidak digerakkan oleh upaya atau paksaan dari atas (pemimpin). Keefektifan yang dimaksudkan dalam solidaritas itu tergambarkan dalam pengalaman Gereja El Savador. Fakta yang nyata dalam sejarah dan efektif ialah fakta mengenai kemalangan, penindasan, dan ketidakadilan yang dialami oleh banyak orang di dunia, termasuk orang-orang Kristen.
Fakta bahwa beberapa gereja mengambil pendirian terhadap kaum miskin telah menarik perhatian seluruh dunia dan menggerakkan  solidaritas awal. Apa yang terjadi di El Savador (pembunuhan para imam pada tahun 1977) telah membantu menyingkapkan penganiayaan terhadap kaum miskin pedesaan dan perkotaan, para pelayan pastoral, komunitas-komunitas Kristen, dan lembaga-lembaga Gereja. Singkatnya, penganiayaan terhadap Gereja terbongkar.
Penganiayaan terhadap Gereja ini memiliki dua akibat. Pertama, akibat yang lebih langsung dan nyata ialah solidaritas yang baru mulai terhadap Gereja yang mengalami penganiayaan itu; kedua, akibat yang semula kurang nyata namun lama-kelamaan lebih mendalam dan lebih penting ialah panyingkapan fakta mengenai kaum miskin, mengenai situais dan masa depan mereka.
Kebenaran mengenai kaum miskin, yang telah diketahui secara teoretis dan sering ditegaskan oleh Gereja, menjadi suatu kebenaran yang ‘lebih nyata dan lebih benar’. Kebenaran itu didukung oleh sumber yang dapat dipercaya, yaitu Gereja yang dianiaya. Pada dasarnya orang dapat melihat peristiwa ini dari dua taraf yang memiliki arah berlawan.

Taraf pengetahuan
Fakta sosio-politis
Taraf realitas
1

Pembunuhan para imam
5
2
Penganiayaan terhadap Gereja
4

3
Penindasan terhadap rakyat
3

4
Kemalangan menyeluruh
2

5
Penindasan struktural
1

Pada taraf pengetahuan, yang mendorong solidaritas ialah penindasan para imam, sedangkan pada taraf realitas yang mendorong solidaritas itu ialah penindasan struktural. Kedua taraf ini menggambarkan ada suatu gerakan ketika orang berhadapan dengan situasi yang ada. Apabila orang sungguh memahami kedua taraf tersebut, maka mereka sungguh siap menekuni gerakam solidaritas, termasuk dimensi-dimensi dari gerakan tersebut yang berkaitan dengan Gereja dan Allah.
Berhadapan dengan situasi yang menuntut adanya solidaritas, semua orang dituntut untuk membangun tanggung jawab bersama. Dalam hal ini ada suatu tanggapan. Tanggapan terhadap penderitaan kaum miskin ini adalah suatu tuntunan etis, namun juga merupakan praktek yang menyelamatkan bagi orang-orang yang merasa solider dengan kaum miskin. Dengan memberi tanggapan secara benar atas suatu masalah kemiskinan, solidaritas itu menjadi nyata, dimana orang saling memberi, menerima dan ikut menderita bersama dengan orang lain.
Peran Gereja dalam menggerakkan solidaritas ini adalah rangkap dua. Pertama, lebih sebagai alat Gereja memainkan peran positif dengan membantu orang lain mengenal kebenaran mengenai kaum miskin yang merupakan mayoritas, sehingga orang-orang kaya tidak akan meminjam kata-kata Paulus, “memenjarakan kebenaran dengan ketidakadilan,” melainkan sebaliknya, mengakui situasi tragis mayoritas umat manusia sebagai fakta paling mendasar. Gereja merupakan alat untuk menyuarakan jeritan kaum mayoritas miskin, yang melalui kehadirannya mengumandangkan seruan bahwa dewasa ini orang tidak dapat menjadi seorang manusia jikalau tidak menghiraukan penderitaan berjuta-juta manusia lain. Kedua, sejauh Gereja mengizinkan dirinya menjadi sebuah Gereja kaum miskin, Gereja menjadi lambang nyata kaum miskin, yang tidak hanya menunjuk kebenaran mereka dari luar, tetapi menyatakan kebenaran itu dalam dirinya sendiri. Penjelmaan Gereja dalam dunia kaum miskin, yang membela nasib mereka dan ikut merasakan penganiayaan dan kematian mereka, dengan jelas memperlihatkan realitas mengenai kaum miskin di dunia.

c.       Solidaritas sebagai Jalan Utama bagi Gereja-Gereja untuk Menjalin Hubungan Satu dengan yang Lain
Berpalingnya Gereja kepada dunia kaum miskin merupakan solidaritas yang utama. Gereja melaksanakan misi dan mempertahankan identitas dengan solidaritas itu. Solidaritas utama inilah yang mulai menghapus isolasi Gereja lokal dan membangun hubungan-hubungan yang positif di antara Gereja lokal.
Kekatolikan Gereja selalu diangggap merupakan salah satu tanda paling penting dari Gereja sejati, berarti bahwa ada satu Gereja universal yang terwujud dalam keanekaragaman Gereja lokal. Gereja sejati selalu bersifat universal sekaligus lokal. Disinilah perumusan teoretis menghadapi masalah mengenai yang satu dan yang banyak dan bagaimana memadukannya. Oleh karena itu kita perlu mengetahui tiga model teoretis dalam menyelesaikan masalah ini. Model-model itu antara lain:
1)      Model  Uniformatis
Model teoretis uniformatis mengandaikan bahwa esensi Gereja ada sebelum perwujudannya yang konkret. Model ini mengakui suatu perbedaan minimum – perbedaan yang muncul dari sejarah dan budaya Gereja lokal. Namun dalam prakteknya selalu ada kecenderungan untuk memperkecil perbedaan, dan cita-cita yang dianjurkan ialah kesamaan sebesar mungkin di antara Gereja lokal.
Model ini merupakan satu-satunya yang digunakan sebelum Konsili Vatikan II. Atas nama universalitas Gereja, ada kecenderungan mendorong bukan saja kesamaan doktrin dan moralitas, tetapi juga kesamaan liturgi, kebijakan administratif, teologi, bahkan filsafat. Dalam model ini tidak ada tempat untuk hubungan positif dan saling memperkaya di antara Gereja-gereja lokal. Gereja-gereja lokal ditempatkan satu di samping yang lain dan sebagai Gereja hampir tidak bisa dibedakan satu sama lain.

2)      Model Pluriformatis
Model ini muncul pada Konsili Vatikan II. Pada prinsipnya, yang ditekankan ialah perlu dan pentingnya unsur lokal dalam Gereja. Keanekaragaman ungkapan liturgis, pastoral dan teoligis mulai didorong. Keanekaragaman itu dianggap memperkaya Gereja universal. Meskipun demikian, ada dua faktor penting yang tidak ada dalam model pluralis ini. Pertama, kelolakalan sebuah Gereja, yaitu sifatnya yang terbentuk karena faktor-faktor sejarah, ekonomi, sosial dan politik- tidak diberi tempat dalam Gereja. Dengan kata lain, dunia tempat Gereja menjelma tidak dianggap penting. Kedua, tidak ada ketentuan yang mengatur secara langsung hubungan timbal balik antar Gereja lokal. Dengan kata lain, dalam model ini tidak ada jalan untuk memperkenalkan secara meyakinkan tanggung jawab bersama antar Gereja, saling memberi dan menerima, saling membantu satu sama lain, sebagai suatu bentuk kekatolikan.

3)      Model Solidaritas
Pertama-tama kekatolikan berarti tanggung jawab bersama antar Gereja lokal. Saling mengasihi dilihat sebagai unsur utama dalam hubungan timbal balik antar Gereja lokal. Tanggung jawab bersama yang dilandasi cinta kasih ini dicapai melalui tindakan saling memberi dan menerima antar Gereja. Memberi dan menerima ini diperluas ke bermacam-macam bidang kehidupan Gereja: liturgis, pastoral dan teologis, namun berdasarkan pada sesuatu yang mendasar: praktek iman. Jadi, kekatolikan berarti sikap saling mendukung satu sama lain.
Sikap saling mendukung dalam iman ini tidak boleh dipahami secara formal dan abstrak, namun harus dipraktekkan dalam tindakan. Praktek tersebut harus mencakup tanggapan terhadap kehendak Allah berkenaan dengan kehidupan dan kematian manusia. Oleh karena itu, solidaritas antargereja mengandaikan bahwa di suatu tempat dalam Gereja universal ada solidaritas gerejani terhadap kaum miskin.

d.      Solidaritas sebagai Tindakan Saling Mendukung dalam Iman
Dalam wahyu Kristen jelas sekali bahwa iman merupakan tindakan seorang individu. Melalui tindakan itu orang tampil di hadapan Allah untuk mendengar dan menerima pernyataan diri Allah, untuk menanggapi pernyataan tersebut dengan komitmen mutlak, dan dengan demikian berhubungan erat dengan realitas Allah. Tindakan ini bersifat pribadi. Tanggung jawab untuk melaksanakannya tidak mungkin didelegasikan kepada orang lain.
Isi dari iman itu tidak lain ialah misteri Allah. Hal ini perlu disadari oleh setiap orang beriman. Misteri Allah telah dirumuskan secara otoritatif dalam wahyu dan magisterium Gereja. Dalam perumusan itu dinyatakan bahwa Allah adalah kasih, mahakuasa, sumber mutlak dan yang akan datang, rahmat dan keselamatan, kelemahlembutan dan kerahiman, serta lain-lain. Rumusan tersebut tidak dipahami dengan sendirinya oleh semua orang. Rumusan-rumusan itu mengandung aspek yang berbeda dan tidak seorang pun dapat menangkap secara utuh. Apabila kebenaran ini dipahami secara konkret, orang akan menemukan aspek-aspek yang dapat menjadi sumber dalam memahami misteri Allah, misalnya situasi pribadi, usia, jenis kelamin, riwayat hidup, kedudukan sosial dan ekonomi. Contoh: kaum beriman yang hidup dalam kelimpahan tidak terlalu menekankan doa permohoman, sedangkan kaum miskin pasti akan banyak memanjjatkan doa permohonan. Keadaan inilah yang memungkinkan dan menentukan cara misteri Allah dipahami dengan kadar yang berbeda. Keadaan-keadaan tersebut yang “memusatkan” pemahaman mengenai misteri Allah dalam situasi yang nyata. Meskipun misteri Allah telah dinyatakan secara resmi dalam wahyu, pemahamannya dalam sejarah tergantung pada perkembangan konkret kaum beriman sendiri.
Iman satu orang harus berkaitan dengan iman orang lain karena isi misteri Allah itu justru adalah ‘misteri’. Inilah cara untuk menghindari pemutlakan pemahaman sendiri mengenai misteri Allah dan menyepelekan segi utopia dari dari isinya. Itulah cara praktis untuk mempertahankan tingkat ketidaktahuan yang harus menjadi bagian dari pengetahuan sejati mengenai Allah. Dalam arti positif, kita harus terbuka pada iman orang lain jikalau kita ingin memahami misteri Allah dan membiarkan seluruh kekayaan misteri itu terungkap. Dengan cara ini, semua orang mengambil bagian dan kita dapat memahami jauh lebih lengkap misteri Allah. Dengan cara timbal balik antara iman pribadi dan iman sesama, konsepsi kita mengenai Allah menjadi lebih dekat dengan realitas.
Iman merupakan komitmen nyata manusia terhadap Allah. Komitmen ini, karena dibuat nyata, tidak dapat didelegasikan kepada orang lain. Secara teologis, komitmen itu hanya dimungkinkan oleh rahmat Allah. Akan tetapi, itu tidak berarti bahwa seseorang tidak boleh berorientasi pada iman aktual dari dalam proses membuat komitmen iman. Iman nyata dari orang lain seolah-olah merupakan merupakan cara rahmat yang menyebabkan komitmen seseorang disalurkan dalam sejarah yang sedang berlangsung.


2.      Solidaritas Terhadap Kaum Miskin dan Kesatuan Gereja
(Juan Hernandez Pico, SJ)
a.       Solidaritas dalam Alkitab: Mendengarkan Jeritan Kaum Miskin dan Menanggapi Upaya-Upaya Mereka dalam Sejarah
Tujuan setiap praksis Kristen ialah mewujudkan kebaikan paripurna dari Bapa Yesus Kristus: “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna” (Mat 5:48). Kebaikan Bapa, kesetiaan Bapa yang tak kelihatan terhadap kepentingan manusia, ditegaskan dalam semua perjuangan melawan semua kejahatan yang mampu dilakukan manusia dan bahkan dalam perjuangan banyak sekali kekuatan adimanusiawi dari kejahatan.
Dalam tradisi nabiah dikatakan bahwa Allah tidak mendengar doa orang-orang yang “tangannya...berlumuran darah” (lih. Yes 1:17-18), walaupun Allah akan berdialog dengan orang-orang “berhenti melakukan kejahatan (dan) belajar melakukan yang baik”—yaitu, orang yang mengusahakan keadilan...sebagai tujuan (hidupnya)” dan “mengendalikan orang kejam”. Dalam Mazmur juga ada tema mengenai Allah yang membela darah yang tercurah ketika persahabatan putus dan tema mengenai jeritan kaum miskin tertindas: “Sebab Dia, yang membalas penumpah darah, ingat kepada orang yang tertindas” (Mzm 9:13). Mazmur ini juga mengingatkan kita bahwa kesetiaan Allah pada jeritan inilah yang menjamin pembenaran akhir atas harapan yang merupakan bagian dari protes melawan ketidakadilan: “Sebab bukan untuk seterusnya orang miskin dilupakan, bukan untuk selamanya hilang harapan orang sengsara” (Mzm 9:19). Orang-orang yang menjarah orang lain, dengan mencobam menyelubungi penindasan mereka dengan merasionalisasi ideologi, pasti akan mendapat penolakan Allah: “Oleh karena penindasan terhadap orang-orang yang lemah, oleh karena keluhan orang-orang miskin, sekarang juga Aku bangkit, firman TUHAN; Aku memberi keselamatan kepada orang yang menghauskannya” (Mzm 12:6).
Dalam Gereja purba, para rasul dan komunitas-komunitas Kristen menerima misi pembebasan Yesus dalam sejarah: mereka melihatnya sebagai persiapan untuk menjadi ragi setiap tindakan sejarah yang adil (“kamu adalah garam dunia”- Mat 5:13) dan sebagai jawaban atas hasrat keseluruhan yang ditemukan dalam setiap upaya yang tulus untuk membantu orang lain (Luk 9:49-50). Tujuan yang dicanangkan dalam nama Yesus inilah yang memaksa mereka menolak semua kekuatan yang mencoba menghambat hubungan antara Yesus dari Nazaret dan setiap arah tindakan yang memperlihatkan tanda-tanda Kerajaan Allah.
Di Amerika tengah Dewasa ini, ada tindakan-tindakan sejarah yang direncanakan dan diterima oleh kaum miskin sebagai sebuah bangsa. Di Guatemala, di El Savador, dan khususnya di Nikaragua, proyeksi diri mengambil bentuk yang konkret; mereka mewujudkan harapan kaum miskin dan kepentingannya. Solidaritas terhadap tindakan adalah cara membuat nyata kewajiban Kristen untuk melayani orang lain, dan berusaha keras memiliki warisan Yesus dan Israel untuk menciptakan kondisi-kondisi persamaan derajat, kemerdekaan, dan keadilan di antara manusia.
Solidaritas Kristen adalah suatu tanggapan yang sangat diperlukan, tanggapan yang dituntut oleh pelayanan timbal balik dalam kasih untuk cakrawala keadilan dan kemerdekaan ini. Tanggapan solidaritas harus menciptakan suatu pertemuan antara saat rahmat yang menguntungkan (kairos) dan upaya manusia dalam sejarah, supaya mampu menahan ketidakadilan yang terus-menerus berusaha mencegah setiap pertemuan. Oleh karena itu, bagi orang Kristen, realitas yang menimbulkan pertentangan dalam sejarah menyangkut perjuangan antara kebaikan dan kejahatan, antara keadilan dan ketidakadilan, yang sedang dialami kaum miskin di negara-negara kita (dan dialami oleh orang-orang yang menerima kepentingan kaum miskin walapun bertentangan dengan kepentingan golongannya sendiri) adalah suatu locus theologicus, tempat Allah masuk dalam sejarah.

b.      Solidaritas Kristen: Bekerja dengan Rendah Hati dalam Solidaritas Manusiawi
Tindakan-tindakan yang dilakukan untuk membela kepentingan kaum miskin- tindakan yang membela kepentingan mereka, menerima kepentingan mereka, dan mencoba menemukan saluran-saluran yang mungkin bagi mereka dalam konteks politik tertentu- adalah tindakan yang didukung oleh solidaritas Kristen hanya karena tindakan-tindakan itu didukung oleh solidaritas manusiawi. Setiap kewajiban solidaritas di pihak Kristen tidak timbul karena tindakan itu ditentukan sebagai usaha Kristen atau tindakan orang-orang Kristen. Kewajiban itu timbul karena tindakan itu dipahami sebagai manusiawi. Tindakan itu tidak memerlukan pengabsahan keagamaan tambahan selain keabsahan yang sudah menjadi sifatnya.
Iman kita sebagai orang Kristen membantu kita melihat lebih baik makna terakhir maupun sifat sakramental tindakan-tindakan tersebut: baik dalam kontinuitas maupun diskontinuitas dengan Kerajaan Allah, tindakan itu mengarah pada Kerajaan Allah dan tindakan itu memberikan sedikit pengetahuan mengenai Kerajaan Allah dalam praktek maupun dalam ungkapan.
Tindakan-tindakan pembebasan diri dari kaum miskin Guatemala, El Savador, dan Nikaragua berlangsung pada saat tertentu dalam sejarah. Pada setiap saat dalam sejarah peluang untuk hidup dan peluang untuk mati dapat dikemukakan dan disiapkan. Salah satu segi penting tanggungjawab manusia ialah memperhitungkan peluang-peluang yang ada. Bagi Amerika Tengah tahun 1970-an ditandai oleh peningkatan eksploitasi dan penindasan dilakukan yang dilakukan pemerintah di negara-negara tersebut; tindakan yang sangat bertentangan dengan saran-saran untuk perkembangan dan ideologi-ideologi kemerdekaan, partsipasi dan keadilan yang sedemikian rupa telah tersebar sebagai nilai dan tujuan. Akibatnya ialah bangkitnya kesadaran kaum miskin di Amerika Tengah. Mereka mengambil langkah pertama untuk keluar dari fatalisme yang biasanya mereka gunakan untuk memandang kelemahan dan kekurangan. Kemudian mereka melanjutkannya dengan perlawanan sekalipun, pada mulanya perlawanan itu kadang berupa jeritan keluhan dan protes.
Solidaritas terhadap tindakan pembebasan kaum miskin di Amerika Tengah pertama-tama berarti menerima visi mengenai peluang-peluang hidup yang dimiliki kaum miskin pada masa yang khusus itu. Fakta mengenai kemiskinan yang mengerikan orang-orang ini sudah tidak dapat ditoleransi dan perjuangan untuk menolong mereka keluar dari kemiskinan itu adalah sesuatu yang pada dasarnya baik. Solidaritas pada saat ini berarti memperlihatkan keprihatinan praksis untuk menolong kaum miskin Amerika Tengah dari kemalangannya.
Kita dipanggil untuk melaksanakan karya kasih yang disebut solidaritas. Pertama-tama kita menempatkan tugas tersebut dalam realitas jasmaniah tindakan-tindakan pembebasan diri dari kaum miskin Amerika Tengah, yang dewasa ini menantang kita dan menuntut solidaritas tersebut atas dasar kebaikan yang terbukti sendiri. Dengan memberikan perhatian pada realitas jasmaniah yang menantang kita untuk solider barangkali kita dapat menjalankan solidaritas dengan kerendahan hati  yang pantas bagi orang-orang.
Menanggapi tantangan yang ada, akan memudahkan kita yang merupakan Gereja untuk mencari Tuhan bukan hanya dari Gereja tetapi dari Gereja dan sejarah, suatu ketuhanan yang mengawasi dan dipraktekkan dalam tindakan-tindakan pembebasan diri dari kaum miskin dalam sejarah.



c.       Solidaritas Kristen: Catatan Khusus Mengenai Persatuan dan Kesetiaan di antara Gereja-Gereja.
Proses-proses sejarah yang mengikat kaum miskin Amerika Tengah dewasa ini merupakan suatu panggilan solidaritas dari Gereja-gereja yang mengaku beriman pada Allah dan Bapa dari Tuhan Yesus Kristus. Seperti setiap panggilan, proses-proses peran Gereja di tengah masyarakat akan menguji iman Gereja, memaksa Gereja untuk cepat tanggap dan terbuka terhadap resiko yang kritis.
Persoalan yang dipertaruhkan ialah persoalan yang menyangkut perlakuan terhadap seluruh bangsa dengan suatu cara mempertahankan atau mengingkari  Allah dalam kehidupan. Persoalannya ialah realitas jasmani, tubuh yang dapat diraba, di mana dipertaruhakan harapan-harapan orang yang dirundung derita, orang-orang yang disisihkan dan kaum miskin, akan mendapat perhatian serius atau tidak.  Tak seorang pun pernah malihat Allah, kecuali Yesus dari Nazaret yang telah menjelaskan kepada kita wajah Allah (lih. Yoh 1:18). Juga dewasa ini, Yesus tidak lagi berada di tengah-tengah kita (lih Yoh 14-16). Iman komunitas para murid yang pertama diuji dalam kaitan dengan orang itu, orang yang seperti orang lainnya, adalah anak seorang tukang kayu yang dikenal oleh semua orang. Penegasan-Nya agar diakui sebagai orang yang penerimaan atau penolakannya berarti hidup atau mati merupakan suatu skandal justru karena kemanusian-Nya sedemikian jelas dan tak dapat diingkari. Dalam sikap pelanan-Nya hingga titik penyerahan hidup-Nya bagi sahabat-sahabat-Nya, orang-orang lain berhubungan dengan suatu gambaran mengenai Allah yang berkuasa, tidak dapat diraba, menakutkan dan tidak dapat berubah.
Barangkali apa yang terjadi di Amerika Tengah merupakan tantangan bagi Gereja untukk mempertaruhkan kesetiaannya pada Injil. Tantangan di mana Gereja perlu memikul penderitaan yang memberi harapan bersama dengan kaum miskin. Kata ‘barangkali’ ini digunakan sebagai suatu anggapan karena orang tidak dapat berbicara tentang Allah dan kesetiaan Allah dengan kepastian yang mutlak. Namun, barangkali solidaritas terhadap kaum miskin yang sedang berusaha membebaskan diri dalam perkembangan saat ini merupakan cara melaksanakan karya-karya yang lebih sesuai dengan Kerajaan Allah. Bagaimanapun harapan kita ada dalam Yesus dari Nazaret, Putra Allah yang disalibkan dan dibangkitkan, yang kita imani sebagai ‘orang yang lebih kuat’ (Luk 11:22), yang berani menghadapi semua intrik yang dilakukan ‘orang kuat’ dari dunia ini (Luk 11:21;Yoh 12:31) untuk menghancurkan harapan kaum miskin Amerika Tengah yang mereka temukan dalam solidaritas manusiawi, Kriten dan gerejani.

***


Komentar

Postingan Populer