Teologi Solidaritas
A.
INFORMASI
BUKU
Judul : TEOLOGI SOLIDARITAS
Nama pengarang : John Sobrino, SJ & Juan Hernandez
Pico, SJ
Penerbit : Kanisius
Tempat terbit : Yogyakarta
Tahun terbit : 1989
Jumlah halaman : 142
B. PEMBAHASAN BUKU
1.
Saling
Mendukung dalam Iman
(Jon Sobrino, SJ)
a. Gejala
Baru Solidaritas Kristen
Kebangkitan solidaritas
terhadap orang-orang Kristen dan gereja-gereja Amerika Latin dapat disaksikan
pada awal tahun 1980-an. Salah satu
contoh dari solidaritas itu ialah pengalaman solidaritas yang ditampilkan oleh
Gereja El Savador. Ada banyak orang dan lembaga telah menjadikan Gereja El
Savador ‘sesama’ menurut Injil. Para kardinal, uskup, biarawan-biarawati,
delegasi Gereja reformasi, politisi profesional, wartawan, lembaga kemanusiaan
telah datang ke negeri ini. Mereka melakukan kunjungan secara kristiani;
melibatkan diri dalam dialog dengan petugas gereja, ikut dalam pertemuan dan
perayaan liturgis orang-orang Kristen. Salah satu tindakan yang paling penting
ialah mendatangi orang-orang El Savador yang menderita di daerah pedalaman, di
penjara dan kamp-kamp pengungsi. Akhirnya banyak orang yang datang dari luar
dan berani tinggal secara berdampingan dengan orang-orang El Savador sebagai
sesama.
Fenomena di atas menjadi
titik tolak dalam mendalami konsepsi tentang solidaritas. Solidaritas itu bukan
hanya dalam arti bantuan, melainkan pemberian diri. Dalam melihat solidaritas
yang penuh makna itu, orang dapat mencari kekhasan itu dalam solidaritas
Kristen: (1) solidaritas digerakkan apabila beberapa Gereja membantu Gereja
lain yang membutuhkan; (2) Gereja-Gereja yang membantu ini harus menyadari
bahwa mereka tidak hanya memberi, melainkan juga menerima dari Gereja yang
mereka bantu; (3) Karena Gereja saling memberi dan menerima, Gereja-Gereja itu
memiliki hubungan timbal balik yang meliputi seluruh taraf kehidupan, dari
bantuan materi sampai dengan iman kepada Allah. Tindakan Gereja seperti inilah
yang disebut sebagai solidaritas.
b. Sumber
dari Solidaritas: Fakta Mengenai Kaum Miskin
Sumber dari solidaritas
ialah sesuatu yang nyata dalam sejarah dan sekaligus efektif. Maksud dari
keefektifan itu ialah bentuk solidaritas yang tidak digerakkan oleh upaya atau
paksaan dari atas (pemimpin). Keefektifan yang dimaksudkan dalam solidaritas
itu tergambarkan dalam pengalaman Gereja El Savador. Fakta yang nyata dalam
sejarah dan efektif ialah fakta mengenai kemalangan, penindasan, dan
ketidakadilan yang dialami oleh banyak orang di dunia, termasuk orang-orang
Kristen.
Fakta bahwa beberapa
gereja mengambil pendirian terhadap kaum miskin telah menarik perhatian seluruh
dunia dan menggerakkan solidaritas awal.
Apa yang terjadi di El Savador (pembunuhan para imam pada tahun 1977) telah
membantu menyingkapkan penganiayaan terhadap kaum miskin pedesaan dan
perkotaan, para pelayan pastoral, komunitas-komunitas Kristen, dan
lembaga-lembaga Gereja. Singkatnya, penganiayaan terhadap Gereja terbongkar.
Penganiayaan terhadap
Gereja ini memiliki dua akibat. Pertama, akibat yang lebih langsung dan nyata
ialah solidaritas yang baru mulai terhadap Gereja yang mengalami penganiayaan
itu; kedua, akibat yang semula kurang nyata namun lama-kelamaan lebih mendalam
dan lebih penting ialah panyingkapan fakta mengenai kaum miskin, mengenai
situais dan masa depan mereka.
Kebenaran mengenai kaum
miskin, yang telah diketahui secara teoretis dan sering ditegaskan oleh Gereja,
menjadi suatu kebenaran yang ‘lebih nyata dan lebih benar’. Kebenaran itu
didukung oleh sumber yang dapat dipercaya, yaitu Gereja yang dianiaya. Pada
dasarnya orang dapat melihat peristiwa ini dari dua taraf yang memiliki arah
berlawan.
Taraf
pengetahuan
|
Fakta
sosio-politis
|
Taraf
realitas
|
1
↓
|
Pembunuhan
para imam
|
5
|
2
↓
|
Penganiayaan
terhadap Gereja
|
↑
4
|
3
↓
|
Penindasan
terhadap rakyat
|
↑
3
|
4
↓
|
Kemalangan
menyeluruh
|
↑
2
|
5
|
Penindasan
struktural
|
↑
1
|
Pada taraf pengetahuan,
yang mendorong solidaritas ialah penindasan para imam, sedangkan pada taraf
realitas yang mendorong solidaritas itu ialah penindasan struktural. Kedua
taraf ini menggambarkan ada suatu gerakan ketika orang berhadapan dengan situasi
yang ada. Apabila orang sungguh memahami kedua taraf tersebut, maka mereka
sungguh siap menekuni gerakam solidaritas, termasuk dimensi-dimensi dari
gerakan tersebut yang berkaitan dengan Gereja dan Allah.
Berhadapan dengan situasi
yang menuntut adanya solidaritas, semua orang dituntut untuk membangun tanggung
jawab bersama. Dalam hal ini ada suatu tanggapan. Tanggapan terhadap
penderitaan kaum miskin ini adalah suatu tuntunan etis, namun juga merupakan
praktek yang menyelamatkan bagi orang-orang yang merasa solider dengan kaum
miskin. Dengan memberi tanggapan secara benar atas suatu masalah kemiskinan,
solidaritas itu menjadi nyata, dimana orang saling memberi, menerima dan ikut
menderita bersama dengan orang lain.
Peran Gereja dalam
menggerakkan solidaritas ini adalah rangkap dua. Pertama, lebih sebagai alat
Gereja memainkan peran positif dengan membantu orang lain mengenal kebenaran
mengenai kaum miskin yang merupakan mayoritas, sehingga orang-orang kaya tidak
akan meminjam kata-kata Paulus, “memenjarakan kebenaran dengan ketidakadilan,”
melainkan sebaliknya, mengakui situasi tragis mayoritas umat manusia sebagai
fakta paling mendasar. Gereja merupakan alat untuk menyuarakan jeritan kaum
mayoritas miskin, yang melalui kehadirannya mengumandangkan seruan bahwa dewasa
ini orang tidak dapat menjadi seorang manusia jikalau tidak menghiraukan
penderitaan berjuta-juta manusia lain. Kedua, sejauh Gereja mengizinkan dirinya
menjadi sebuah Gereja kaum miskin, Gereja menjadi lambang nyata kaum miskin,
yang tidak hanya menunjuk kebenaran mereka dari luar, tetapi menyatakan
kebenaran itu dalam dirinya sendiri. Penjelmaan Gereja dalam dunia kaum miskin,
yang membela nasib mereka dan ikut merasakan penganiayaan dan kematian mereka,
dengan jelas memperlihatkan realitas mengenai kaum miskin di dunia.
c. Solidaritas
sebagai Jalan Utama bagi Gereja-Gereja untuk Menjalin Hubungan Satu dengan yang
Lain
Berpalingnya Gereja
kepada dunia kaum miskin merupakan solidaritas yang utama. Gereja melaksanakan
misi dan mempertahankan identitas dengan solidaritas itu. Solidaritas utama
inilah yang mulai menghapus isolasi Gereja lokal dan membangun hubungan-hubungan
yang positif di antara Gereja lokal.
Kekatolikan Gereja selalu
diangggap merupakan salah satu tanda paling penting dari Gereja sejati, berarti
bahwa ada satu Gereja universal yang terwujud dalam keanekaragaman Gereja
lokal. Gereja sejati selalu bersifat universal sekaligus lokal. Disinilah
perumusan teoretis menghadapi masalah mengenai yang satu dan yang banyak dan
bagaimana memadukannya. Oleh karena itu kita perlu mengetahui tiga model
teoretis dalam menyelesaikan masalah ini. Model-model itu antara lain:
1) Model Uniformatis
Model teoretis
uniformatis mengandaikan bahwa esensi Gereja ada sebelum perwujudannya yang
konkret. Model ini mengakui suatu perbedaan minimum – perbedaan yang muncul
dari sejarah dan budaya Gereja lokal. Namun dalam prakteknya selalu ada
kecenderungan untuk memperkecil perbedaan, dan cita-cita yang dianjurkan ialah
kesamaan sebesar mungkin di antara Gereja lokal.
Model ini merupakan
satu-satunya yang digunakan sebelum Konsili Vatikan II. Atas nama universalitas
Gereja, ada kecenderungan mendorong bukan saja kesamaan doktrin dan moralitas,
tetapi juga kesamaan liturgi, kebijakan administratif, teologi, bahkan
filsafat. Dalam model ini tidak ada tempat untuk hubungan positif dan saling
memperkaya di antara Gereja-gereja lokal. Gereja-gereja lokal ditempatkan satu
di samping yang lain dan sebagai Gereja hampir tidak bisa dibedakan satu sama
lain.
2) Model
Pluriformatis
Model ini muncul pada
Konsili Vatikan II. Pada prinsipnya, yang ditekankan ialah perlu dan pentingnya
unsur lokal dalam Gereja. Keanekaragaman ungkapan liturgis, pastoral dan
teoligis mulai didorong. Keanekaragaman itu dianggap memperkaya Gereja
universal. Meskipun demikian, ada dua faktor penting yang tidak ada dalam model
pluralis ini. Pertama, kelolakalan sebuah Gereja, yaitu sifatnya yang terbentuk
karena faktor-faktor sejarah, ekonomi, sosial dan politik- tidak diberi tempat
dalam Gereja. Dengan kata lain, dunia tempat Gereja menjelma tidak dianggap
penting. Kedua, tidak ada ketentuan yang mengatur secara langsung hubungan timbal
balik antar Gereja lokal. Dengan kata lain, dalam model ini tidak ada jalan
untuk memperkenalkan secara meyakinkan tanggung jawab bersama antar Gereja,
saling memberi dan menerima, saling membantu satu sama lain, sebagai suatu
bentuk kekatolikan.
3) Model
Solidaritas
Pertama-tama kekatolikan
berarti tanggung jawab bersama antar Gereja lokal. Saling mengasihi dilihat
sebagai unsur utama dalam hubungan timbal balik antar Gereja lokal. Tanggung
jawab bersama yang dilandasi cinta kasih ini dicapai melalui tindakan saling
memberi dan menerima antar Gereja. Memberi dan menerima ini diperluas ke
bermacam-macam bidang kehidupan Gereja: liturgis, pastoral dan teologis, namun
berdasarkan pada sesuatu yang mendasar: praktek iman. Jadi, kekatolikan berarti
sikap saling mendukung satu sama lain.
Sikap saling mendukung
dalam iman ini tidak boleh dipahami secara formal dan abstrak, namun harus
dipraktekkan dalam tindakan. Praktek tersebut harus mencakup tanggapan terhadap
kehendak Allah berkenaan dengan kehidupan dan kematian manusia. Oleh karena
itu, solidaritas antargereja mengandaikan bahwa di suatu tempat dalam Gereja
universal ada solidaritas gerejani terhadap kaum miskin.
d. Solidaritas
sebagai Tindakan Saling Mendukung dalam Iman
Dalam wahyu Kristen jelas
sekali bahwa iman merupakan tindakan seorang individu. Melalui tindakan itu
orang tampil di hadapan Allah untuk mendengar dan menerima pernyataan diri
Allah, untuk menanggapi pernyataan tersebut dengan komitmen mutlak, dan dengan demikian
berhubungan erat dengan realitas Allah. Tindakan ini bersifat pribadi. Tanggung
jawab untuk melaksanakannya tidak mungkin didelegasikan kepada orang lain.
Isi dari iman itu tidak
lain ialah misteri Allah. Hal ini perlu disadari oleh setiap orang beriman.
Misteri Allah telah dirumuskan secara otoritatif dalam wahyu dan magisterium
Gereja. Dalam perumusan itu dinyatakan bahwa Allah adalah kasih, mahakuasa,
sumber mutlak dan yang akan datang, rahmat dan keselamatan, kelemahlembutan dan
kerahiman, serta lain-lain. Rumusan tersebut tidak dipahami dengan sendirinya
oleh semua orang. Rumusan-rumusan itu mengandung aspek yang berbeda dan tidak
seorang pun dapat menangkap secara utuh. Apabila kebenaran ini dipahami secara
konkret, orang akan menemukan aspek-aspek yang dapat menjadi sumber dalam
memahami misteri Allah, misalnya situasi pribadi, usia, jenis kelamin, riwayat
hidup, kedudukan sosial dan ekonomi. Contoh: kaum beriman yang hidup dalam
kelimpahan tidak terlalu menekankan doa permohoman, sedangkan kaum miskin pasti
akan banyak memanjjatkan doa permohonan. Keadaan inilah yang memungkinkan dan
menentukan cara misteri Allah dipahami dengan kadar yang berbeda.
Keadaan-keadaan tersebut yang “memusatkan” pemahaman mengenai misteri Allah
dalam situasi yang nyata. Meskipun misteri Allah telah dinyatakan secara resmi
dalam wahyu, pemahamannya dalam sejarah tergantung pada perkembangan konkret
kaum beriman sendiri.
Iman satu orang harus
berkaitan dengan iman orang lain karena isi misteri Allah itu justru adalah
‘misteri’. Inilah cara untuk menghindari pemutlakan pemahaman sendiri mengenai
misteri Allah dan menyepelekan segi utopia dari dari isinya. Itulah cara
praktis untuk mempertahankan tingkat ketidaktahuan yang harus menjadi bagian
dari pengetahuan sejati mengenai Allah. Dalam arti positif, kita harus terbuka
pada iman orang lain jikalau kita ingin memahami misteri Allah dan membiarkan
seluruh kekayaan misteri itu terungkap. Dengan cara ini, semua orang mengambil
bagian dan kita dapat memahami jauh lebih lengkap misteri Allah. Dengan cara
timbal balik antara iman pribadi dan iman sesama, konsepsi kita mengenai Allah
menjadi lebih dekat dengan realitas.
Iman merupakan komitmen
nyata manusia terhadap Allah. Komitmen ini, karena dibuat nyata, tidak dapat didelegasikan
kepada orang lain. Secara teologis, komitmen itu hanya dimungkinkan oleh rahmat
Allah. Akan tetapi, itu tidak berarti bahwa seseorang tidak boleh berorientasi
pada iman aktual dari dalam proses membuat komitmen iman. Iman nyata dari orang
lain seolah-olah merupakan merupakan cara rahmat yang menyebabkan komitmen
seseorang disalurkan dalam sejarah yang sedang berlangsung.
2.
Solidaritas
Terhadap Kaum Miskin dan Kesatuan Gereja
(Juan Hernandez Pico, SJ)
a. Solidaritas
dalam Alkitab: Mendengarkan Jeritan Kaum Miskin dan Menanggapi Upaya-Upaya
Mereka dalam Sejarah
Tujuan setiap praksis
Kristen ialah mewujudkan kebaikan paripurna dari Bapa Yesus Kristus: “Karena
itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna”
(Mat 5:48). Kebaikan Bapa, kesetiaan Bapa yang tak kelihatan terhadap
kepentingan manusia, ditegaskan dalam semua perjuangan melawan semua kejahatan
yang mampu dilakukan manusia dan bahkan dalam perjuangan banyak sekali kekuatan
adimanusiawi dari kejahatan.
Dalam
tradisi nabiah dikatakan bahwa Allah tidak mendengar doa orang-orang yang
“tangannya...berlumuran darah” (lih. Yes 1:17-18), walaupun Allah akan
berdialog dengan orang-orang “berhenti melakukan kejahatan (dan) belajar
melakukan yang baik”—yaitu, orang yang mengusahakan keadilan...sebagai tujuan
(hidupnya)” dan “mengendalikan orang kejam”. Dalam Mazmur juga ada tema
mengenai Allah yang membela darah yang tercurah ketika persahabatan putus dan
tema mengenai jeritan kaum miskin tertindas: “Sebab Dia, yang membalas penumpah
darah, ingat kepada orang yang tertindas” (Mzm 9:13). Mazmur ini juga
mengingatkan kita bahwa kesetiaan Allah pada jeritan inilah yang menjamin pembenaran
akhir atas harapan yang merupakan bagian dari protes melawan ketidakadilan:
“Sebab bukan untuk seterusnya orang miskin dilupakan, bukan untuk selamanya
hilang harapan orang sengsara” (Mzm 9:19). Orang-orang yang menjarah orang
lain, dengan mencobam menyelubungi penindasan mereka dengan merasionalisasi
ideologi, pasti akan mendapat penolakan Allah: “Oleh karena penindasan terhadap
orang-orang yang lemah, oleh karena keluhan orang-orang miskin, sekarang juga
Aku bangkit, firman TUHAN; Aku memberi keselamatan kepada orang yang
menghauskannya” (Mzm 12:6).
Dalam
Gereja purba, para rasul dan komunitas-komunitas Kristen menerima misi
pembebasan Yesus dalam sejarah: mereka melihatnya sebagai persiapan untuk
menjadi ragi setiap tindakan sejarah yang adil (“kamu adalah garam dunia”- Mat
5:13) dan sebagai jawaban atas hasrat keseluruhan yang ditemukan dalam setiap
upaya yang tulus untuk membantu orang lain (Luk 9:49-50). Tujuan yang dicanangkan
dalam nama Yesus inilah yang memaksa mereka menolak semua kekuatan yang mencoba
menghambat hubungan antara Yesus dari Nazaret dan setiap arah tindakan yang memperlihatkan
tanda-tanda Kerajaan Allah.
Di Amerika
tengah Dewasa ini, ada tindakan-tindakan sejarah yang direncanakan dan diterima
oleh kaum miskin sebagai sebuah bangsa. Di Guatemala, di El Savador, dan
khususnya di Nikaragua, proyeksi diri mengambil bentuk yang konkret; mereka
mewujudkan harapan kaum miskin dan kepentingannya. Solidaritas terhadap
tindakan adalah cara membuat nyata kewajiban Kristen untuk melayani orang lain,
dan berusaha keras memiliki warisan Yesus dan Israel untuk menciptakan kondisi-kondisi
persamaan derajat, kemerdekaan, dan keadilan di antara manusia.
Solidaritas
Kristen adalah suatu tanggapan yang sangat diperlukan, tanggapan yang dituntut
oleh pelayanan timbal balik dalam kasih untuk cakrawala keadilan dan
kemerdekaan ini. Tanggapan solidaritas harus menciptakan suatu pertemuan antara
saat rahmat yang menguntungkan (kairos)
dan upaya manusia dalam sejarah, supaya mampu menahan ketidakadilan yang
terus-menerus berusaha mencegah setiap pertemuan. Oleh karena itu, bagi orang Kristen,
realitas yang menimbulkan pertentangan dalam sejarah menyangkut perjuangan
antara kebaikan dan kejahatan, antara keadilan dan ketidakadilan, yang sedang
dialami kaum miskin di negara-negara kita (dan dialami oleh orang-orang yang
menerima kepentingan kaum miskin walapun bertentangan dengan kepentingan
golongannya sendiri) adalah suatu locus
theologicus, tempat Allah masuk dalam sejarah.
b. Solidaritas
Kristen: Bekerja dengan Rendah Hati dalam Solidaritas Manusiawi
Tindakan-tindakan yang
dilakukan untuk membela kepentingan kaum miskin- tindakan yang membela
kepentingan mereka, menerima kepentingan mereka, dan mencoba menemukan
saluran-saluran yang mungkin bagi mereka dalam konteks politik tertentu- adalah
tindakan yang didukung oleh solidaritas Kristen hanya karena tindakan-tindakan
itu didukung oleh solidaritas manusiawi. Setiap kewajiban solidaritas di pihak
Kristen tidak timbul karena tindakan itu ditentukan sebagai usaha Kristen atau
tindakan orang-orang Kristen. Kewajiban itu timbul karena tindakan itu dipahami
sebagai manusiawi. Tindakan itu tidak memerlukan pengabsahan keagamaan tambahan
selain keabsahan yang sudah menjadi sifatnya.
Iman kita sebagai orang
Kristen membantu kita melihat lebih baik makna terakhir maupun sifat
sakramental tindakan-tindakan tersebut: baik dalam kontinuitas maupun diskontinuitas
dengan Kerajaan Allah, tindakan itu mengarah pada Kerajaan Allah dan tindakan
itu memberikan sedikit pengetahuan mengenai Kerajaan Allah dalam praktek maupun
dalam ungkapan.
Tindakan-tindakan
pembebasan diri dari kaum miskin Guatemala, El Savador, dan Nikaragua
berlangsung pada saat tertentu dalam sejarah. Pada setiap saat dalam sejarah
peluang untuk hidup dan peluang untuk mati dapat dikemukakan dan disiapkan.
Salah satu segi penting tanggungjawab manusia ialah memperhitungkan
peluang-peluang yang ada. Bagi Amerika Tengah tahun 1970-an ditandai oleh
peningkatan eksploitasi dan penindasan dilakukan yang dilakukan pemerintah di
negara-negara tersebut; tindakan yang sangat bertentangan dengan saran-saran
untuk perkembangan dan ideologi-ideologi kemerdekaan, partsipasi dan keadilan
yang sedemikian rupa telah tersebar sebagai nilai dan tujuan. Akibatnya ialah
bangkitnya kesadaran kaum miskin di Amerika Tengah. Mereka mengambil langkah
pertama untuk keluar dari fatalisme yang biasanya mereka gunakan untuk
memandang kelemahan dan kekurangan. Kemudian mereka melanjutkannya dengan
perlawanan sekalipun, pada mulanya perlawanan itu kadang berupa jeritan keluhan
dan protes.
Solidaritas terhadap
tindakan pembebasan kaum miskin di Amerika Tengah pertama-tama berarti menerima
visi mengenai peluang-peluang hidup yang dimiliki kaum miskin pada masa yang
khusus itu. Fakta mengenai kemiskinan yang mengerikan orang-orang ini sudah tidak
dapat ditoleransi dan perjuangan untuk menolong mereka keluar dari kemiskinan
itu adalah sesuatu yang pada dasarnya baik. Solidaritas pada saat ini berarti
memperlihatkan keprihatinan praksis untuk menolong kaum miskin Amerika Tengah
dari kemalangannya.
Kita dipanggil untuk
melaksanakan karya kasih yang disebut solidaritas. Pertama-tama kita
menempatkan tugas tersebut dalam realitas jasmaniah tindakan-tindakan
pembebasan diri dari kaum miskin Amerika Tengah, yang dewasa ini menantang kita
dan menuntut solidaritas tersebut atas dasar kebaikan yang terbukti sendiri.
Dengan memberikan perhatian pada realitas jasmaniah yang menantang kita untuk
solider barangkali kita dapat menjalankan solidaritas dengan kerendahan
hati yang pantas bagi orang-orang.
Menanggapi tantangan yang
ada, akan memudahkan kita yang merupakan Gereja untuk mencari Tuhan bukan hanya
dari Gereja tetapi dari Gereja dan sejarah, suatu ketuhanan yang mengawasi dan
dipraktekkan dalam tindakan-tindakan pembebasan diri dari kaum miskin dalam
sejarah.
c. Solidaritas
Kristen: Catatan Khusus Mengenai Persatuan dan Kesetiaan di antara
Gereja-Gereja.
Proses-proses sejarah
yang mengikat kaum miskin Amerika Tengah dewasa ini merupakan suatu panggilan
solidaritas dari Gereja-gereja yang mengaku beriman pada Allah dan Bapa dari
Tuhan Yesus Kristus. Seperti setiap panggilan, proses-proses peran Gereja di
tengah masyarakat akan menguji iman Gereja, memaksa Gereja untuk cepat tanggap
dan terbuka terhadap resiko yang kritis.
Persoalan yang
dipertaruhkan ialah persoalan yang menyangkut perlakuan terhadap seluruh bangsa
dengan suatu cara mempertahankan atau mengingkari Allah dalam kehidupan. Persoalannya ialah
realitas jasmani, tubuh yang dapat diraba, di mana dipertaruhakan
harapan-harapan orang yang dirundung derita, orang-orang yang disisihkan dan
kaum miskin, akan mendapat perhatian serius atau tidak. Tak seorang pun pernah malihat Allah, kecuali
Yesus dari Nazaret yang telah menjelaskan kepada kita wajah Allah (lih. Yoh
1:18). Juga dewasa ini, Yesus tidak lagi berada di tengah-tengah kita (lih Yoh
14-16). Iman komunitas para murid yang pertama diuji dalam kaitan dengan orang
itu, orang yang seperti orang lainnya, adalah anak seorang tukang kayu yang
dikenal oleh semua orang. Penegasan-Nya agar diakui sebagai orang yang penerimaan
atau penolakannya berarti hidup atau mati merupakan suatu skandal justru karena
kemanusian-Nya sedemikian jelas dan tak dapat diingkari. Dalam sikap
pelanan-Nya hingga titik penyerahan hidup-Nya bagi sahabat-sahabat-Nya,
orang-orang lain berhubungan dengan suatu gambaran mengenai Allah yang
berkuasa, tidak dapat diraba, menakutkan dan tidak dapat berubah.
Barangkali apa yang
terjadi di Amerika Tengah merupakan tantangan bagi Gereja untukk mempertaruhkan
kesetiaannya pada Injil. Tantangan di mana Gereja perlu memikul penderitaan
yang memberi harapan bersama dengan kaum miskin. Kata ‘barangkali’ ini
digunakan sebagai suatu anggapan karena orang tidak dapat berbicara tentang
Allah dan kesetiaan Allah dengan kepastian yang mutlak. Namun, barangkali
solidaritas terhadap kaum miskin yang sedang berusaha membebaskan diri dalam
perkembangan saat ini merupakan cara melaksanakan karya-karya yang lebih sesuai
dengan Kerajaan Allah. Bagaimanapun harapan kita ada dalam Yesus dari Nazaret,
Putra Allah yang disalibkan dan dibangkitkan, yang kita imani sebagai ‘orang
yang lebih kuat’ (Luk 11:22), yang berani menghadapi semua intrik yang
dilakukan ‘orang kuat’ dari dunia ini (Luk 11:21;Yoh 12:31) untuk menghancurkan
harapan kaum miskin Amerika Tengah yang mereka temukan dalam solidaritas
manusiawi, Kriten dan gerejani.
***
Komentar
Posting Komentar