Teologi Praksis

A.     Pendahuluan
Di tengah zaman Modern ini, dibutuhkan berbagai macam metode dalam berteologi. Orang tidak begitu saja mengambil suatu metode teologi ketika berhadapan dengan situasi. Ada berbagai hal yang perlu dipertimbangankan berkaitan dengan kehendak memilih suatu metode berteologi, seperti situasi, kebudayaan, kelas sosial dan lain-lain. Dengan mengetahui secara pasti tentang hal tersebut, dapat menentukan metode yang akan digunakan. Sejauh ini, sudah ada beberapa metode teologi yang ditawarkan sebagai sarana yang bisa digunakan untuk mencapai tujuan dari teologi itu sendiri. Salah satu dari metode-metode berteologi itu ialah metode praksis.
Metode praksis sampai pada saat ini belum diketahui dengan pasti oleh semua orang. Beberapa informasi yang berkaitan dengan metode ini masih perlu dipaparkan agar semua orang dapat memahami dan mempraktekan metode ini. Dalam mendalami informasi mengenai metode ini, ada baiknya dimulai dari pengertian dan sejarah yang memberi pemahaman awal tentang metode ini. Kemudian, dikembangkan dengan menggunakan pemikiran beberapa tokoh beserta contoh konkretnya. Pemahaman akan pengetian, sejarah, tokoh dan contoh dari metode praksis menjadi semakin mendalam karena adanya catatan kritis dan perbandingan dengan metode lain, terlebih khusus metode terjemahan dan metode antropolog


B.  Pengertian dan Sejarah Singkat
Sejak akhir tahun 1960-an, “teologi pembebasan” mulai muncul sebagai salah satu kekuatan yang paling vital dalam teologi kontemporer. Model ini memiliki banyak jenis, misalnya teologi Amerika Latin, teologi feminis yang dikembangkan oleh kaum perempuan kulit putih AS, dan teologi hitam dari Amerika Serikat atau Afrika.[1] Jon Sobrino, salah satu pelopor utama dari gerakan teologi pembebasan di Amerika Latin, pernah memberikan ceramah di Mexico City. Pada saat itu, beliau menegaskan bahwa model teologi yang memadai pada waktu itu ialah model yang mampu mempertimbangkan dua momen pemikiran, yakni momen filsafat Rene Descartes pada abad ke-17 dan filsafat Imanuel Kant pada akhir abad ke-18 (momen Pencerahan Eropa). Pada saat itu, yang sangat ditekankan ialah aktivitas manusia yang subjektif. Pandangan ini menekankan bahwa manusia hanya benar-benar mengetahui sesuatu jika ia secara pribadi telah mengetahuinya melalui penilaian pribadi.[2]
Dalam ceramahnya di Mexico City, Sobrino mencatat bahwa “peralihan ke yang subjektif” ini sangat revolusioner dan tentu saja mengubah hakikat teologi. Pengetahuan intelektual tidaklah cukup untuk suatu pemahaman utuh tentang sesuatu. Tujuan pengetahuan bukan sekedar pemahaman intelektual atas dunia, melaiknan pada akhirnya ialah transformasi dunia.[3]
Lebih jauh lagi, Sobrino melihat bahwa terdapat ketidakadilan di dunia ini, struktur-struktur sosial di banyak belahan dunia benar-benar merupakan struktur yang menindas, maka tema teologi Kristen di tempat seperti itu mesti berupa transformasi atau pembebasan dari ketidakadilan itu.[4]
Setelah melihat praktek teologi pembebasan, orang kembali diingatkan bahwa ternyata sejak zaman para nabi dulu, praktek tentang metode praktek ini sudah ada. Dalam tradisi kenabian, para nabi tidak hanya menyerukan untuk berpikir benar (ortodoksi) tetapi juga untuk bertindak benar (ortopraksi):
a)       “Apabila kamu menadahkan tanganmu untuk berdoa, Aku akan memalingkan muka-Ku, bahkan sekalipun kamu berkali-kali berdoa, Aku tidak akan mendengarkannya, sebab tanganmu penuh dengan darah. Basuhlah, bersihkanlah dirimu, jauhkanlah perbuatan-perbuatanmu yang jahat dari depan mata-Ku. Berhentilah berbuat jahat, belajarlah berbuat baik; usahakanlah keadilan, kendalikanlah orang kejam; belalah hak anak-anak yatim, perjuangkanlah perkara janda-janda!” (Yes 1:15-17).
b)      Berkenankah TUHAN kepada ribuan domba jantan, kepada puluhan ribu curahan minyak? Akan kupersembahkankah anak sulungku karena pelanggaranku dan buah kandunganku karena dosaku sendiri? Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut TUHAN dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?" (Mi 6:7-8)
Singkatnya, sejarah dari metode praksis dapat digambarkan sebagai berikut: terdapat sebuah gagasan dari Karl Marx mengenai para filsuf yang menafsirkan dunia dengan bermacam-macam cara, tetapi yang terpenting sebenarnya ialah cara untuk mengubahnya. Dari gagasan tersebut, muncullah gerakan-gerakan di Eropa yang menekankan praksis. Gerakan ini ialah gerakan “teologi pembebasan”. Karena sejak awal Gereja tidak memiliki ajaran tersendiri mengenai metode praksis ini, maka ada teologi pembebasan terlebih dahulu kemudian praktek itu dikenali sebagai metode praksis. Ketika ditelusuri kembali, ternyata metode ini sudah ada sejak zaman para nabi.
Bagan dari metode praksis dapat digambarkan sebagai berikut:

            AKSI--------REFLEKSI (a. analisis konteks; b. memabaca tradisi dan kitab suci)--------AKSI..........REFLEKSI.......Dst.


Dari bagan di atas, dapat disimpulkan bahwa metode praksis ialah metode yang menekankan aksi tetapi bukan sekedar aksi biasa. Aksi yang dimaksudkan ialah aksi yang dilandasi refleksi. Adapun langkah-langkah berteologi dengan metode praksis ialah:[5]
1.      Langkah pertama: aksi dilakukan dengan penuh pengabdian. Orang membutuhkan iman agar bisa berteologi, dan imam membutuhkan model praksis bukan melulu ihwal mempercayai teori-teori.
2.      Langkah kedua: teori yang sudah ada dikembangkan lebih lanjut. Pengembangan teori ini berlandaskan pada (1) analisis terhadap tindakan-tindakan kita, dan (2) membaca ulang tradisi Gereja dan Kitab Suci.
3.      Langkah ketiga: sekali lagi mengadakan aksi, namun kali ini aksinya lebih dimurnikan, lebih diakarkan dalam Kitab Suci, dan juga lebih diakarkan ke dalam realitas sosial.

C.  Tokoh-tokoh
1)   Teologi Gustavo Gutierrez (Teolog Amerika Latin)
Menurut Gustavo Gutierrez teologi mesti bertolak dari praksis, yakni pengalaman akan Allah dalam kontemplasi dan aksi. Alasannya, dengan praksis orang dapat membicarakan aksi secepatnya. Praksis adlah kondisi mutlak untuk berteologi: berpikir dan berbicara tentang Allah. Hal ini berarti teologi adalah kegiatan kedua yang mengikuti praksis sebagai kegiatan pertama. Praksis adalah langkah awal menjumpai dengan Allah dalam pergulatan hidup. Teologi merupakan usaha lebih lanjut untuk merefleksikan secara kritis pengalaman akan Allah dalam cahaya iman Gereja. 


     i.          Kegiatan Pertama: Praksis (Saat Diam di Hadapan Allah)
Pembicaraan tentang Allah harus bertolak dari pengalaman akan Allah dalam kehidupan, yakni dalam kontemplasi dan aksi. Karena itu, berteologi tanpa kontemplasi dan aksi tak akan menemukan misteri Allah. Gutierrez menyebut kontemplasi dan kontemplasi dan aksi sebagai praksis. Teologi (talking) merupakan kegiatan kedua yang mengikuti kegiatan pertama, yakni kontemplasi dan aksi (silence) dalam kehidupan. Pembicaraan tentang Allah merupakan fase kedua yang dilakukan setelah fase pertama diam di hadapan Allah (fase pengalaman akan Allah). Diam di hadapan Allah terdapat dua segi. Pertama, diam dalam kontemplasi dimana manusia diresapi oleh rahmat Allah. Kedua, diam dalam aksi yang menuntun keterlibatan diri dalam kehidupan bersama orang lain sesuai kehendak Allah. Dalam konteks Amerika Latin keterlibatan itu bersolider dengan kaum miskin dan tertindas dalam memperjuangkan pembebasan.
   ii.          Kegiatan Kedua: Berteologi (Saat Berbicara tentang Allah)
Gutierrez mendefenisikan teologi sebagai refleksi kritis atas praksis historis dalam terang sabda Allah. Karena itu, kondisi historis sangat menentukan Perspektif Berteologi. Perspektif berteologi dalam dunia pertama berbeda dengan dunia ketiga. Duni pertama berteologi bertolak dari kenyataan hidup yang berhadapan dengan masalah utama bagaimana menghubungkan iman dan sains, Gereja dan demokrasi. Dalam dunia ketiga berteologi atas realitas kemiskinan dan penindasan. Dengan demikian teologi yang terjadi di dunia ketiga akan memprovokasikan konflik dengan model teologi yang menggunakan orang miskin sebagai alat legitimasi, konflik dengan institusi Gereja yang berhubungan dengan penguasa, dan konflik dengan elite penguasa yang terancam kepentingannya. Gutierrez melihat demi mencapai keadilan sosial, konflik tidak perlu dihindari.
Praksis historis (komitmen dalam sejarah) akan menjadi matriks (acuan refleksi) dalam teologi. Dalam sejarah matriks teologi bersumber pada Kitab Suci dan Tradisi. Lalu, matriks teologi seperti apa yang digunakan Gutierrez? Pertama, cinta kasih dalam iman kristiani merupakan praksis historis. Hal ini karena Allah adalah kasih (1Yoh. 4:8) Maka, setiap kasih mengungkapkan kehadiran Allah. dalam konteks Amerika Latin kasih harus hidup dalam struktur-struktur sosial masyarakat sehingga praksis historis yang belandaskan pada cinta menyata dalam sikap solider dengan kaum miskin. Kedua, praksis historis berkaitan dengan Kerajaan Allah. kehadiran Allah menjadi nyata ketika kita hidup dalam kebenaran, perdamaian, dll. Sebaliknya, kekerasan, kepalsuan, ketidakadilan, penindasan adalah wujud anti kerajaan Allah. Ketiga, praksis historis bertolak dari peristiwa inkarnasi. Melalui inkarnasi Allah menjadi manusia dan diam dalam sejarah dan menjadi sejarah. Inkarnasi menjadikan manusia kenisah yang hidup dari Allah. Maka, sejarah tidak pernah lagi menjadi sekuler tetapi medan karya Allah. 
Lalu, Teologi Merupakan Refleksi Kritis yang menganalisis bentuk-bentuk tindakan masyarakat maupun Gereja dalam perspektif iman. Tugas teologi menganalisis situasi masyarakat dengan kritik profetis terhadap bentuk tindakan sosial yang mementingkan elite penguasa. Teologi juga menganalisis situasi Gereja, baik seluruh umat Allah maupun pelbagai segmen seperti klerus, awam, kelompok-kelompok Kristiani. Berkaitan dengan ini perlu dilihat apakah Gereja mendukung status quo  kekuasaan penindas atau berjuang dengan kaum miskin. 
 iii.          Sebuah Bahasa tentang Tuhan
Teologi merupakan pembicaraan tentang Allah yang dihayati dalam kehidupan. Maka, situasi kehidupan sangat menentukan bahasa yang digunakan untuk membicarakan Allah. Gutierrez mengambil kisah Ayub sebagai figur yang menderita secara tak bersalah. Dalam kisah Ayub ada dua model berteologi. Ketiga teman Ayub (Elifas, Bildad, Yofar) berteologi dari teori pembalasan di bumi dan menerapkan prinsip abstrak pada hidup Ayub. Dari teori menuju praktek (teologi menuju praksis). Sebaliknya, Ayub berteologi dari pengalaman konkritnya sebagai orang menderita yang tak bersalah (praksis menuju teologi). Dalam pergulatan yang lama Ayub menemukan bahasa yang tepat untuk orang yang tak bersalah, yakni bahasa profetis dan kontemplasi.
Bahasa Profetis menjadi autentik sejauh dibangun dalam pengalaman solidaritas bukan atas dasar teori-teori abstrak. Jadi, bahasa profetis berarti pembicaraan tentang Allah bertolak dari solidaritas dalam kehidupan kaum miskin untuk menyatakan keadilan dan kebenaran dalam masyarakat. Bahasa Kontemplatif berarti berbicara tentang Allah berpangkal pada perjumpaan dengan Allah yang penuh kasih. Situasi ini terjadi dalam hidup Ayub. Dalam kontemplasi Ayub melihat bahwa Allah akan membela orang-orang yang menderita karena bersalah. Kedua bahasa ini (profetis dan kontemplatif) harus disatukan agar pembicaraan tentang Allah berpangkal pada perjumpaan dengan kasih karunia Allah (komtemplatif) dan sekaligus terungkap dalam solidaritas bersama kaum miskin dalam memperjuangkan keadialan dan kebenaran (profetis). Bagi Gutierrez, melalui bahasa profetis, dikritik situasi ketidakadilan yang terjadi di Amerika Latin dan melalui bahasa kontemplatif diakui segala sesuatu termasuk perjuangan menegakkan keadilan bersumber dari rahmat Allah dan pertemuan dengan kasihNya.[6] 
Skema teologi Gutierrez:
Aksi = refleksi = aksi = refleksi = aksi = refleksi....dst..
D. Contoh-contoh Metode Praksis
1.    Douglas John Hall
Douglas Hall adalah seorang pendeta Gereja Persekutuan Kanada dan mahaguru emeritus bidang teologi Kristen di universitas McGill di Montreal. Dalam bukunya ia berupaya memaparkan sebuah teologi yang bersifat pribumi menyangkut pengalaman Amerika utara sebagai masyarakat teknologis yang paling riil sampai saat ini. Satu titik tolak, kata Hall, ialah merefleksikan beberapa praktik aktual yang dibuat dalam kekristenan Kanada dan Amerika Serikat. Ia katakan “barangkali ada kedalaman-kedalaman tersembunyi dari apa yang mungkin memiliki arti penting secara teologis di dalam beberapa praktik yang ditata dari dalam dan yang mengatakan sesuatu tentang kehidupan sehari-hari di dalam Gereja-Gereja Amerika Utara.” Kalau kita membuat refleksi “atas praktik-praktik ini dengan imajinasi secukupnya untuk menggumuli maknanya yang lebih dalam,” seraya membiarkan “kedalaman pemahaman yang baru” ini membentuk dan menata dari dalam tindakan kita selanjutnya, maka kita sudah terlibat dalam apa yang disebut para teolog sebagai praksis.
Pemikiran praksis menekankan bahwa teori yang riil muncul dari aksi dan membangkitkan lebih banyak tanggung jawab, lebih banyak kegiatan yang riil. Pemikiran praksis tidak beranggapan bahwa kebenaran itu bisa dicapai secara terlepas dari kehidupan, tetapi sebaliknya ia berpendapat bahwa kebenaran itu hanya bisa ditangkap dalam dialog dengan kehidupan sebagaimana kehidupan itu secara aktual dilakoni, diderita dan dirayakan. Tradisi kepelayanan/kepengurusan (stewardship) di dalam Gereja Amerika Utara dilihat Hall sebagai hal yang secara khusus patut direfleksi oleh para teolog Amerika Utara. Akan tetapi, refleksi itu mesti dilakukan dalam bingkai praksis. Praksis berarti bahwa refleksi kita atas makna teologi kepelayanan mengandaikan bukan penarikan diri dari praktik pelayanan itu, melainkan ‘refleksi kritis atas praktik historis’.



2.    Virgina Fabella, Teolog Feminis di Asia
Dalam tulisan ini, Bevans menjadikan Virginia Fabella dari Filipina menjadi salah satu contoh dari teolog feminis Asia yang menggunakan model praksis. Fabella menyunting beberapa buku, di antaranya: With Passion and Compassion, Inheriting Our Mothers’ Gardens: Feminist Theology in Third World Perspective, dan We Dare to Dream: Doing Theology as Asian Women. Tulisan-tulisan dalam buku tersebut tidak saja membabarkan contoh-contoh yang gamblang tentang model praksis, tetapi juga memperlihatkan bagaimana model ini bekerja dalam berbagai konteks (Asia dan pengalaman kaum perempuan di Asia) yang tidak bertalian secara langsung dengan tindakan pembebasan yang sering kali menjadi muara dari model praksis tersebut.
Fabella dalam tulisannya berjudul “Christology from an Asian Woman’s Perspective”menyatakan bahwa kristologi tidak akan memiliki relevansinya di Asia bila kita tidak memberi perhatian khusus kepada pengalaman kaum perempuan, kepada pembebasan para perempuan Asia dari situasi penindasan, pelecehan dan dominasi laki-laki dalam kebudayaan-kebudayaan Asia yang sangat partriarkat. Fabella mengambil posisi kesetiakawanan terhadap kaum miskin Asia, dan khususnya dengan kaum miskin perempuan Asia.[7]

E. Catatan Kritis
1.      Model ini memiliki hubungan yang erat di masa lampau, seperti tradisi para nabi (bdk. Yesaya, Amos) yang menekankan tidak saja pada kata-kata, tetapi juga tindakan. Dalam Yakobus 1:22 juga menekankan tentang perlunya tidak hanya mendengarkan Firman, tetapi juga melakukannya. Karl Barth pun menegaskan bahwa “hanya pelaku Firman yang menjadi pendengar yang sejati”.
2.      Model ini bekerja di atas keyakinan bahwa “kebenaran ada pada tataran sejarah, bukan pada bidang ide-ide”. Dengan kata lain, model ini berdasarkan sesuatu yang nyata dan bukan dari ide-ide saja. Philip Berryman mencirikan model ini dengan mengacu kepada penggunaanya oleh Paolo Freire, yakni praksis merupakan “aksi dengan refleksi”. Ia mengadakan refleksi atas aksi dan mengadakan aksi atas refleksi – dua-duanya berputar menjadi satu.[8]
3.      Kekhasan model ini tidak terletak pada tema tertentu, tetapi pada satu metode tertentu. Seperti pewartaan Yesus bukan terutama tentang menyangkut doktrin-doktrin melainkan sikap dan tingkah laku yang menggoyang kemaparan struktur; bahwa dosa mesti dilawan bukan dengan kompromi melainkan dengan penataan kembali kehidupan seseorang secara radikal.[9]
4.      Model ini membantu kita untuk memaknai dan mendalami iman kita dalam tindakan yang benar.
5.      Model ini berlandas pada sebuah epistemologi yang sangat baik, pemahamannya tentang pewahyuan sangat segar lagi menarik, dan ia memiliki akar-akar yang kokoh dalam tradisi teologi.
6.      Model ini juga mendapat kritik, dalam bentuknya yang konkret, yakni teologi pembebasan. Beberapa kalangan merasa tidak nyaman atas penggunaan Marxisme oleh teologi pembebasan; yang lain memperlihatkan ciri selektif bahkan naif dari cara teologi ini dalam membaca Kitab Suci.
7.      Model ini memberi ruang yang luas bagi pengungkapan pengalaman personal dan komunal, pengungkapan budaya atas iman, dan pengungkapan iman dari perspektif lokasi sosial. Pada saat yang sama, ia menyediakan pemahaman-pemahaman baru lagi menarik menyangkut Kitab Suci dan kesaksian-kesaksian teologis yang lebih tua.

E.  Perbandingan dengan Metode Lain
Model praksis sebagai suatu model dalam berteologi memberi tekanan pada identitas orang Kristen dalam suatu konteks tertentu yang berhubungan dengan perubahan sosial. Hal ini membedakannya dari dua metode yang dibahas sebelumnya. Pada metode terjemahan, penekanannya terletak pada identitas orang Kristen di dalam suatu konteks dan berusaha memelihara kesinambungan dengan tradisi. Pada metode antropologi yang ditekankan ialah identitas orang Kristen di dalam sebuah konteks tertentu dan berusaha membangun cara mereka sendiri dalam merumuskan imannya.[10] Dari ketiga metode ini, kita dapat melihat bahwa ada unsur kesamaan dan perbedaan. Kesamaan itu terletak pada identitas orang Kristen dalam suatu konteks, sedangkan perbedaannya terletak pada caranya. Metode praksis lebih berfokus pada masalah perubahan sosial, metode terjemahan lebih berfokus pada pada budaya yang memiliki unsur yang berkaitan dengan tradisi Kristiani dan metode antropologi lebih berfokus pada orang-orangnya dalam rangka mereka merumuskan imannya.
Ciri khas dari metode praksis ialah kesatuan antara pengetahuan sebagai aktivitas dan pengetahuan sebagai isi. Artinya tindakan yang dilakukan selalu berdasar pada pengetahuan, sehingga isi atau makna dari suatu tindakan itu dapat dirasakan oleh orang sekitar. Hal terpenting bagi suatu pengetahuan yang paling utuh bukan melulu pengetahuan intelektual tentang kebenaran, melainkan satu pengetahuan yang didasarkan pada aksi dan refleksi atas aksi itu (praksis). Selain itu, para teolog dan umat sederhana terbantu dengan metode ini. Metode ini memberikan ruang untuk merefleksikan iman orang ketika berhadapan dengan situasi yang konkret. Adanya unsur refleksi atas suatu situasi dapat menghadirkan perilaku beriman yang sungguh menyentuh hati. Dengan kata lain, pengalaman yang ada disikapi dalam iman dan diwujudkan dalam tindakan. Inti model ini terdapat pada frasa Jon Sobrino “Mengenal Kristus berarti mengikuti Dia.”[11] Berteologi sebagai refleksi kritis atas praksis, membuat teologi semakin baik dalam pengungkapannya.  Kegiatan sehari-hari yang direfleksikan dalam bingkai Kitab Suci dan tradisi, mampu memberikan makna yang mendalam tentang agama Kristen. Dari situ, orang kemudian dapat mempertajam pengungkapan iman.
Model praksis memberi ruang yang luas bagi pengungkapan pengalaman personal dan komunal, pengungkapan budaya atas iman, dan pengungkapan iman dari perspektif lokasi sosial. Pada saat yang sama ia menyediakan pemahaman-pemahaman baru dan menarik tentang Kitab Suci dan kesaksian-kesaksian teologis yang lebih tua. Ia juga mengangkat situasi konkret secara lebih bersungguh-sungguh. Model ini menerapkan teologi bukan sebagai suatu produk yang bisa diterapkan dan berlaku untuk segala waktu dan tempat serta dianggap sudah tuntas paripurna, melainkan sebagai suatu pemahaman tentang pergumulan dengan kehadiran Allah di dalam situasi-situasi yang sangat khusus. Model praksis menawarkan pembenahan kepada suatu teologi yang terlalu umum dan mau berlagak secara universal.[12]
Dalam penerapan sehari-hari, metode ini juga tetap membutuhkan ilmu lain untuk melengkapi dan mempertajam refleksi atas suatu fenomena yang sedang dihadapi oleh orang-orang. Disiplin ilmu lain juga membantu seorang teolog dalam bertindak sehingga tercipta kesinambungan antara masalah dan tindakan yang dilakukan. Dengan membaca atau mendalami ilmu lain, seorang teolog akan mudah menemukan bentuk tindakan konkret yang dapat diambil sebagai suatu kebijakan atas fenomena yang ada. Secara singkat dapat dikatakan bahwa disiplin ilmu lain memberikan manfaat yang berguna bagi aksi dan refleksi.
Kami melihat bahwa metode praksis ini sangat cocok dipakai untuk Gereja yang mengalami masalah sosial, misalnya kemiskinan dan musibah bencana alam. Selain itu, metode ini juga dapat digunakan secara umum, baik di dalam Gereja sendiri maupun di luar Gereja. Dalam metode ini, orang tidak lagi berhenti pada ungkapan-ungkapan saja, tetapi juga komitmen pada tindakan. Dengan demikian ada tindakan nyata yang nampak dalam berteologi.

E.  PENUTUP
Model praksis bukanlah suatu hal yang baru. Model ini sudah ada sejak lama, tetapi tidak dikenal sebagai suatu metode. Orang baru menyadarinya sebagai suatu metode ketika Gereja berhadapan dengan situasi yang menuntut adanya tindakan dan refleksi. Dua unsur penting yaitu: tindakan dan refleksi membuat orang menyadari bahwa hal ini sangat berguna dalam mengembangkan dan mempertajam iman. Dalam perkembangan selajutnya, model ini kemudian dipandang sebagai sesuatu yang baru.
Model praksis memberikan pemahaman yang mendalam tentang iman karena konkret dalam tindakan. Orang tidak lagi berfokus pada ungkapan-ungakapan iman yang seolah-olah ‘sulit’ dipahami, tetapi lebih pada tindakan yang nyata. Setelah orang bertindak, akan ada refleksi yang membuka mata hati orang untuk melihat iman itu secara lebih tajam. Iman itu berkembang terus-menerus karena dibaharui melalui refleksi yang kritis atas suatu situasi konkret. Dengan demikian orang dapat membangun pribadi yang memiliki iman secara dewasa secara bertahap dalam kehidupan ini.
Model praksis dalam kehidupan sehari-hari mengarahkan orang untuk secara sungguh mewujudkan iman itu dalam situasi apapun, baik situasi sedih maupun gembira. Orang dapat menggunakan model ini di manapun mereka berada. Akan tetapi, model ini menjadi sangat berguna ketika orang menggunakannya dalam situasi yang berkaitan dengan perubahan sosial, misalnya kemiskinan, peperangan dan musibah bencana alam. Akhirnya model ini dapat digunakan seorang teolog untuk sungguh mewujudnyatakan karyanya.


F.  DAFTAR PUSTAKA

Bevans, Stephen B.,

Model-Model Teologi Kontekstual, diterjemahkan oleh Yosef Maria Florisan, Ledalero, Maumere.

Bevans, Stephen B.,

2002    Models of Contextual Teology, Orbis Books, New York.

Bevans, Stephen B.,

2010    Teologi dalam Perspektif Global, diterjemakan oleh Yosef Maria Florisan, Ledalero, Maumere.

Chen, Martin,

2002    Teologi Gustavo Gutierrez, Kanisius,  Yogyakarta.

Eka Rahayu-Wedayanti F. Harianto-Givendra Saragih,

2016    “Model Praksis”, Diakses dari https://www.scribd.com/document/77992448/Givendra-Teologi-Kontekstual-Model-Praksis-Fin. (17 Oktober 2016)






[1] Stephen B. Bevans, Teologi dalam Perspektif Global, diterjemakan dari, oleh Yosef Maria Florisan, Ledalero, Maumere 2010, 216.
[2] Stephen B. Bevans, Teologi dalam Perspektif Global, 218-219.
[3] Stephen B. Bevans, Teologi dalam Perspektif Global, 219-220.
[4] Stephen B. Bevans, Teologi dalam Perspektif Global, 220.
[5] Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi Kontekstual, diterjemahkan dari Models of Contextual Theology, oleh Yosef Maria Florisan  , Ledalero, Maumere  ,138-139.
[6] Martin Chen, Teologi Gustavo Gutierrez, Kanisius,  Yogyakarta 2002, 34-44.
[7] Eka Rahayu-Wedayanti F. Harianto-Givendra Saragih, “Model Praksis”, 2016, Diakses dari https://www.scribd.com/document/77992448/Givendra-Teologi-Kontekstual-Model-Praksis-Fin. (17 Oktober 2016).
[8] Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi Kontekstual,  132.
[9] Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi Kontekstual, 133.
[10] Bdk. Stephen B. Bevans, Models of Contextual Teology, Orbis Books, New York 2002, 70.
[11] Bdk. Stephen B. Bevans, Teologi dalam Perspektif Global, 245-247.
[12] Bdk. Stephen B. Bevans, Teologi dalam Perspektif Global, 142-145.

Komentar

Postingan Populer