RABINDRANATH TAGORE
RABINDRANATH TAGORE
A.
Konteks
Politis, Sosial, Kultural dan Religius
Rabindranath Tagore adalah seorang penyair
dan pemikir. Ia lahir di Kalkuta pada tahun 1861 dan wafat pada tahun 1941. Ia
pernah meraih penghargaan nobel pada tahun 1913. Tagore hidup pada masa
penjajahan Inggris. Hal inilah yang banyak mempengaruhinya dalam menuangkan
pikirannya. Ia melihat tindakan-tindakan para penjajah Inggris. Menurutnya
tindakan yang dilakukan oleh para penjajah telah melanggar martabat manusia.
Berangkat dari keprihatinan ini, ia kemudian menuliskan berbagai hal yang
mewakili suara rakyat. Teknik pemaparan tulisan yang baik, menyentuh hati para pembaca, baik itu di India maupun
di Negara Lain[1].
Imperialisme yang dijalankan oleh pejajah
Inggris ialah dengan menindas manusia dan menuguasai manusia. Tindakan ini
membuat para penjajah tidak segan-segan melakukan tindakan yang keji dan
menurunkan martabat manusia. Dorongan untuk membangun bangsa yang maju, membuat
para penjajah menjadi buta terhadap sisi kemanusiaan yang dijajahnya. Bentuk
penjajahan ini membuat masyarakat India berada dalam tahap yang amat prihatin.
Di berbagai daerah terjadi tekanan yang memunculkan ketakutan dalam mengambil
suatu tindakan. Berbagai aspek seperti pendidikan, agama dan hukum mengalami
kemunduran. Hal ini kemudian mendorong berbagai tokoh untuk mengkritisi
fenomena yang ada dengan menuangkan pikiran mereka. Rabindranath Tagore
kemudian mengambil aspek pendidikan sebagai jalan untuk mengatasi fenomena yang
sedang melanda masyarakat India. Salah satu gerakan yang membuatnya terkenal
yaitu Santinekatan (sekolah di luar ruangan atau di alam bebas). Pada akhirnya
Rabindranath Tagore kemudian dikenal sebagai Bapa Pendidikan India.
B.
Biografi
Intelektual
Dalam melihat biografi intelektual Rabindranath
Tagore[2], saya
membaginya ke dalam tiga bagian:
a.
Pendidikan di India
Pada
tahun 1873, Tagore berpindah dari Kalkuta ke Dalhouse, sebuah perbukitan di
kaki Himalaya. Ketika ia tinggal di Dalhouse, ia banyak belajar tentang
sejarah, astronomi, bahasa sansekerta dan karya sastra klasik. Dari semua
pelajaran tersebut, ia lebih tertarik pada karya sastra klasik. Berangkat dari
ketertarikan akan hal ini, ia kemudian menuliskan berbagai hal yang mendukung
kesuksesannya sebagai seorang penyair yang sangat terkenal.
b.
Pendidikan di Inggris
Pada
tahun 1878, ia pergi ke Inggris untuk kuliah di University College London.
Pendidikan di Inggris ini tidak selesai karena ia telah dijodohkan oleh ayahnya
dan pada tahun 1980 ia kembali ke India. Selama belajar di Inggris ia menemukan
berbagai kebaikan mengenai sikap kepada sesama. Nilai-nilai kristiani yang ada
di tengah masyarakat membuat sikap penghargaan terhadap sesama begitu kuat.
Selama berada di Inggris, pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Filsafat Barat.
Hal ini kemudian memberi pengaruh padanya dalam mengemukakan pemikirannya.
Namun, satu hal yang diingat ialah Filsafat Barat tidak dijadikan dalam
berpikir, melainkan lebih pada dorongan dalam menjawab persoalan yang ada di
India.
c.
Pengetahuan atas Kunjungan ke Berbagai
Negara
Tagore
banyak melakukan kunjungan ke negara-negara Asia, Eropa dan Amerika. Dalam kunjungan tersebut ia selalu mencoba
memahami bagaimana masyarakat menghayati hidup sehari-hari. Dari pengamatannya
ia melihat bahwa masing-masing bangsa memiliki keunikan tersendiri dalam hidup
bermasyarakat.
C.
Pemikiran:
Kritik terhadap Nasionalisme
Pemikiran Tagore tentang nasionalisme
merupakan kumpulan pidato-pidato yang diadakan di Jepang, Amerika dan Eropa.
Dalam setiap memaparkan pidatonya, ia mengemukakan tentang soal kebangsan di
tanah airnya sendiri. Menurutnya masalah kebangsaan di negaranya tidak bersifat
politik, melainkan bersifat sosial. Oleh karena itu, ia mengecam berbagai
pandangan yang mengatakan bahwa India memiliki nasionalisme yang bersifat politik.
Tagore menentang sistem pendidikan yang
dijalankan oleh penjajah Inggris. Dalam sistem tersebut, para pelajar
menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah India.
Menurut Tagore, dengan menggunakan bahasa Inggris dalam pendidikan di India,
masyarakat dirugikan karena timbul kecenderungan untuk memakai bahasa Inggris
daripada bahasa India[3].
Dengan demikian unsur kecintaan terhadap bahasa sendiri menjadi semakin
menurun. Di samping itu, pendidikan dengan sistem bahasa Inggris akan
menyulitkan orang-orang India ibarat orang hendak menyuburkan gurun pasir.
Melalui bahasa Inggris dalam sistem pendidikan, pikiran dan pengetahuan orang
India akan cenderung mengarah pada kebudayaan Barat. Dengan demikian masalah
sosial di India tidak dapat diselesaikan dengan baik karena tidak berangkat
dari dirinya sendiri.
Sistem pendidikan yang dijalankan penjajah
Inggris merupakan sebuah ‘produk’. Tagore
berpandangan bahwa dengan menjalankan sistem pendidikan seperti akan cenderung
mengaburkan martabat orang-orang India. Dengan mempelajari bahasa Inggris,
secara tidak langsung berbagai pandangan orang Inggris dapat diterima begitu
saja tanpa melihat apakah pandangan tersbut sesuai dengan pandangan orang
India. Pada akhirnya sistem tersebut akan menghasilkan orang-orang India yang
bertindak seperti orang Barat. Maksudnya tindakan dan perilaku orang-orang
didorong oleh pola berpikir orang Barat.
Dalam menentang sistem ini, Tagore tidak
hanya berhenti pada kata-kata. Ia kemudian
mendirikan sekolah pada tahun 1905. Ia menggunakan dasar pengetahuannya dalam
mendidik orang-orang yang datang bersekolah. Sistem pendidikan yang dipakai di
sekolah ini dimulai dengan membangun pola hidup yang teratur setiap harinya.
Sudah ada jadwal kegiatan mulai dari
pagi hingga kegiata belajar di sekolah berakhir. Pendirian sekolah ini
berdampak positif karena anak-anak
didiknya mulai menghayati hidup seturut dengan budaya dan kebiasaan masyarakat
India. Di dalam setiap muridnya sudah mulai tertanam hasrat untuk membangun
India menjadi lebih baik. Demikianlah sekolah ini terus berkembang dari masa ke
masa.
Untuk berbicara lebih lanjut mengenai
nasionalisme, saya ingin membaginya ke dalam beberapa bagian sesuai dengan
tempat di mana Tagore berpidato.
1.
Pidato di Inggris
Pada
saat berpidato di Inggris, Tagore bericara mengenai nasionalisme di Barat.
Dalam berbicara mengenai nasionalisme di Barat, Tagore memulainya dengan
mengungkapkan masalah golongan kebangsaan di India. Golongan kebangsaan di
India yang entologis berbeda satu sama lain, merupakan suatu hubungan yang
erat. Hal ini adalah panggilan Tuhan untuk hidup secara harmonis dalam
bermasyarakat. Masalah di India dalam perjalanan waktu lebih pada masalah
sosial yang tiada habis-habisnya, bukan merupakan penyusunan kekuasan yang
membela diri dan menyerang bangsa lain. Dalam kebiasaan masyarakat India,
bangsa lain merupakan teman. Oleh karena itu, ketika ada bangsa yang datang ke
India, kewajiban masyarakat ialah menerima dan menghargai bangsa itu.
Budaya
Barat dengan kemajuan teknologinya telah memberikan kemudahan kepada manusia dalam memproduksi
barang-barang. Namun, dari hal ini Tagore melihat bahwa ada tendensi yaitu
kemunduran sifat kemanusiaan. Tuhan telah menganugerahkan manusia untuk bekerja
dengan tangannya untuk menghasilkan barang-barang yang dibutuhkan. Menurut Tagore
akan lebih jauh bernilai barang yang diproduksi dengan tangan manusia daripada
barang yang diproduksi oleh mesin. Barang yang diproduksi sendiri akan
menumbuhkan rasa puas terhadap diri[4].
Selama penjajahan Inggris, barang-barang yang diproduksi di India menggunakan
mesin. Orang dapat melihat dengan jelas bahwa pada kemasan barang yang
diproduksi terdapat keterangan barang tersebut tidak tersentuh oleh tangan
manusia. Hal ini membuat masyarakat India mengalami kesulitan untuk menyadari
sisi spritualitas dari barang yang diproduksi. Dengan demikian rasa cinta tidak
akan tumbuh di dalam diri masyarakat India ketika menggunakan barang yang
diproduksi.
Bangsa
dalam arti kesatuan politik dan ekonomi merupakan aspek yang dipakai untuk merangkum semua rakyat untuk mencapai
tujuan. Akan tetapi, hal ini tidak efektif
karena tujuan sebenarnya sudah terdapat dalam diri setiap orang. Tujuan
itu ialah hidup sebagai makhluk sosial. Kesadaran terhadap tujuan ini akan
menyadarkan setiap orang untuk hidup dalam kerjasama. Memang dalam dalam
kerjasama yang dilakukan tidak bisa dipungkiri bahwa akan terjadi praktek
politik, tetapi praktek tersebut dapat diminimalisir dengan mendidik setiap
orang secara baik melalui pendidikan yang menyadarkan masyarakat pada
keharmonisan hidup bersama di dunia ini.
Kebudayaan
Barat dan Timur pada dasarnya saling membutuhkan untuk saling mengisi.
Pandangan yang berbeda antara bangsa Barat dan bangsa Timur tentang aspek
kebenaran perlu dilihat sebagai sarana untuk menemukan jalan keluar yang baik, sehingga
terjadi pendamaian di antara keduanya. Tidak akan ada lagi pemerintahan yang
berasal dari satu pihak yang memberi tekanan. Jika masyarakat dapat sampai pada
tahap ini, hidup akan terasa bahagia.
Pemerintahan
yang dikendalikan oleh satu pihak cenderung menggelapkan sisi kemanusiaan dalam
organisasi yang tiada berjiwa. Dari hal ini, setiap orang perlu menyadari bahwa
nasionalisme ternyata menjadi wabah
kejahatan yang kejam yang menyapu bumi manusia dan memakan hajat susila[5].
Anggapan bahwa suatu bangsa adalah pemerintah terhadap bangsa lain menyebabkan
orang bertindak atas dasar kepentingan pribadi tanpa melihat bangsa yang
diperintah. Tagore mengatakan demikian:
“Radical nationalism that acted as opiate of
the people, making them irrational and fanatical blind to the sense of truth
and justice, and willing to both kill and die for it, perpetuating a logic of
‘lunacy’ and war, instead of a cycle of freedom and peace”.[6]
Penderitaan
yang terjadi di India disebabkan oleh semangat bangsa Inggris untuk membangun kesejahteraan
dengan memanfaatkan sumber daya yang ada di India. Dalam tindakan ini terdapat
ketidakseimbangan karena di satu sisi bangsa Inggris mengalami kemajuan, tetapi
di sisi lain bangsa India menderita. Benih untuk dapat melakukan tindakan
sekeji ini telah tumbuh dalam nasionalisme Barat yang dasarnya bukan kerjasama
sosial. Dengan demikian, tujuan manusia sebagai
makhuk sosial menjadi tidak ditemukan di tengah masyarakat.
2.
Pidato di Jepang
Dalam
pidato di Jepang berbicara mengenai nasionalisme yang dijalankan oleh orang
Jepang. Masyarakat Jepang sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah.
Pemerintah mengatur masyarakat dengan menggunakan pikiran mereka sendiri tanpa
melihat sisi rakyatnya. Dalam hal ini
terjadi perbudakan pikiran dengan memaksakan rakyat mengikuti apa yang
dipikirkan oleh perintah sebagai suatu kebijakan. Tindakan seperti ini
cenderung menimbulkan egoisme di dalam pemerintah. Namun, tindakan ini bukanlah
tiruan Jepang terhadap kebijakan orang Barat. Sesungguhnya tiruan hanyalah
sumber kelemahan. Jepang hanya dapat meniru pengetahuan dari Barat bukan
meminjam semangat[7].
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebijakan Jepang mirip dengan kebijakan
Barat tetapi pendorongnya tidak sama.
Pemerintah
Jepang dalam kehidupan sehari-hari bisa mendatangkan berbagai macam produksi
orang Barat, tetapi mereka tidak mendatangkan sifat yang memberikan hidup
padanya. Jepang telah memiliki jiwanya sendiri dan tidak dapat digantikan oleh
kepunyaan orang lain. Namun, kebiasaan mendatangkan barang dari orang Barat
telah menjadi media asimilasi antara jiwa orang Barat dan jiwa orang Jepang.
Proses asimilasi ini mulai memberi pengaruh pada orang Jepang untuk mulai
memperlihatkan kebanggaan. Jika hal ini terus dibiarkan, maka kebanggaan itu
dapat menjadi suatu keaiban yang dapat mendatangkan kemelaratan dan kelemahan.
Memang
harus diakui bahwa peradaban Barat membawa pengaruh yang amat besar bagi dunia.
Akan tetapi, dari peradaban itu dapat dilihat bahwa tidak ada solusi atas
masalah kehidupan. Di tengah masyarakat masih kerap kali ditemukan berbagai
konflik atau perselisihan. Faktor utama dari perselisihan yang terjadi ini
ialah dorongan nafsu dan semangat untuk mencari keuntungan sendiri.
Di
Eropa, orang dapat menemukan pahlawan-pahlawan kelana modern yang tidak
kehilangan kepercayaan akan rasa cinta terhadap kemerdekaan dengan mementingkan
dirinya sendiri. Keinginan untuk mendirikan kekuasaan sebagai suatu bangsa
telah membutakan mereka terhadap nilai-nilai luhur yang membangun kemanusiaan.
Bangsa Eropa telah mendapatkan nilai-nilai kemanusiaan melalui pengajaran
keagamaan, tetapi faktanya mereka melakukan penindasan yang pada akhirnya
mengaburkan nilai yang sudah ditanamkan di dalam diri mereka[8].Apa
yang diperlihatkan oleh orang Eropa tidak berbanding lurus dengan kebiasaan
orang Asia Timur. Jika orang Eropa menekankan politik sebagai asas dasar dalam
tindakan, orang Asia Timur lebih
menekankan unsur sosial[9].
Dengan demikian tindakan yang dilakukan orang Asia tidak didasarkan pada
perampasan, melainkan keluhuran semangat dan hubungan yang harmonis dengan
sesama.
Kehidupan
yang didasarkan pada ilmu pengetahuan semata-mata, tidaklah cukup karena ilmu
pengetahuan akan membuat orang membangun sikap yang didasarkan pada
kepura-puraan. Kehidupan yang seperti ini akan mendangkalkan makna kehidupan.
Kehidupan seperti ini cenderung merangsang diri untuk mengejar kesuksesan
dengan tidak memikirkan pengarai manusia yang lebih luhur. Namun, hal ini tidak
berarti ilmu pengetahuan itu buruk. Jika ilmu pengetahuan yang dimiliki dapat
menumbuhkan pikiran bahwa sesungguhnya manusia itu sama di hadapan Tuhan, maka
hal tersebut tidak akan mendatangkan sikap yang arogan.
3.
Pidato di Amerika
Ketika
berpidato di Amerika, Tagore banyak membahas tentang nasionalisme di India.
Tagore kembali menegaskan bahwa masalah di India ialah masalah sosial, bukan
politik. Ia mengatakan bahwa sudah sejak dulu India itu identik dengan aspek
sosial. Pada tahap selanjutnya India mendapat pengaruh dari Barat khususnya
Inggris yang mencoba merubah aspek sosial itu menjadi aspek politik dengan
memasukkan nasionalisme mereka yang dapat dikatakan menjadi dasar dalam menindas
dan memeras bangsa lain.
India
bukanlah peminta-minta peradaban Barat. Peradaban Barat itu dengan sendirinya
masuk melalui sikap para penjajah yang menduduki India. Menurut Tagore
peradaban Barat itu telah membuat orang-orang India merasa asing di negeri
sendiri. Peradaban Barat telah menanamkan keegoisan karena dalam peradaban itu
ada kecenderungan mementingkan diri sendiri dengan menindas yang lemah.
Semangat mengklaim diri sebagai suatu bangsa membuat mereka buta terhadap
kemanusiaan. Sengat itu tidak lain di sebut sebagai nasionalisme. Tagore
mengatakan demikian:
“We, in India, must make up our mind that we
cannot borrow other people’s history, and that if we stifle our own we are
commiting suicide. When you borrow things that do not belong to your life, thy
only serve to crush your life...I believe that it does India not good to
compete with Western civilization in its own field...India is no beggar of
West”[10].
Menurut
Tagore bangsa merupakan suatu aspek dari seluruh rakyat sebagai suatu kekuasaan
yang tersusun. Oraganisasi yang terus-menerus mendorong rakyat untuk menjadi
kuat dan effisien. Akan tetapi, kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan
tersebut, telah menguras tenaga manusia yaitu semangat untuk berkorban dan
berbuat yang nyata bagi sesama. Klaim sebagai bangsa membuat semangat berkorban
turun ke taraf yang lebih rendah untuk mempertahankan diri yang bersifat
mekanik. Sikap seperti ini, cenderung membutakan suara hati yang senantiasa
mengarahkan manusia pada tanggung jawab moral. Dengan berpegang pada gagasan
sebagai suatu bangsa, rakyat yang mencintai kemerdekaan akan melanjutkan
penindasan dan perbudakan. Mereka akan merasa bangga karena apa yang mereka
lakukan dianggap sebagai suatu kewajiban. Orang yang tidak jujur akan berperangai
tidak jujur dan bersikap kejam melalui baik dalam tindakan maupun pikirannya.
Jadi, kebangsaan itu adalah suatu ancaman besar. Hal itu telah diperlihatkan
oleh para penjajah Inggris yang menduduki India[11].
Tagore mengatakan: “ If we are to build
up a nation, we must with all du recpect and regret cast aside the load of the
venerable rock like tradition, which is suffocating our humanity, our sterngth
and our manly indepence”[12].
Pada
zaman sekarang ini, ada banyak bangsa yang telah mencapai kemerdekaan politiknya.
Pencapain ini telah menunjukkan bahwa bangsa itu tidak lagi dikuasai oleh yang
lain. Di dalam diri bangsa itu sudah memiliki kekuasaannya sendiri. Akan
tetapi, kekuasaan itu telah memunculkan nafsu yang tidak terkendali untuk mempertahankan kemerdekaan.
Segala sesuatu yang dilakukan mulai memperlihatkan betapa besar kecintaannya
pada bidang politik. Orang yang sangat mencintai kekuasaan politik dengan penuh
nafsu berusaha melebarkan kekuasaannya dengan menduduki bangsa lain dalam
kungkungan perbudakan.
Para
nasionalis India beranggapan bahwa
orang-orang India telah mencapai kesempurnaan dalam cita-cita sosial dan
semangat. Kewajiban untuk membangun masyarakat telah dicapai di masa silam.
Orang yang beranggapan seperti ini telah dipengaruhi oleh peradaban Barat.
Mereka telah mendapat pelajaran yang datang dari Barat sebagai suatu kebenaran
yang mutlak. Dalam hal ini mereka telah kehilangan peri kemanusiaan[13].
Para kaum nasionalis akan cenderung mununjuk negara lain sebagai model yang
patut ditiru. Akibatnya, berbagai kekayaan nilai kemanusiaan cenderung
mengikuti bangsa yang ditiru. Dengan demikian kekayaan diri sendiri akan
dilupakan dan tidak berfungsi dengan baik dalam membangun diri sendiri.
D.
Tanggapan
Kritis dan Relevansi
Nasionalisme merupakan kesadaran
keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama
mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran
dan kekuatan bangsa itu; semangat kebangsaan[14].
Nasionalisme muncul dari perjalanan sejarah. Begitu pun yang dialami oleh
bangsa India. Nasionalisme yang mereka miliki adalah peninggalan penjajah
Inggris. Dalam melihat nasionalisme ini, Tagore mengkritisinya karena ada unsur politik yang diterapkan di
dalamnya. Unsur politik ini akan membangun manusia yang bersifat arogan.
Pandangan ini memiliki kesamaan dengan nasionalisme yang di kemukakan oleh
Martin Buber. Menurut Matin Buber nasionalisme berpotensi mengarah pada hal
yang negatif yaitu sikap agresif dan berlebihan seperti yang terjadi pada masa
perang dunia pertama. Nasionalisme seperti ini disebut Buber sebagai
nasionalisme yang busuk (degenerate nationalism)[15].
Kedua pandangan ini sama-sama mengkristisi nasionalisme. Tagore cenderung
menolak nasionalisme karena dalam sejarah India, tidak ada kebiasaan yang
demikian, sedangkan Buber lebih mengajak orang untuk membangun nasionalisme
yang bersifat etis yaitu semangat kebangsaan yang berusaha membangun tindakan
yang didorong oleh aspek sosial. Dari hal ini, saya ingin mengatakan bahwa nasionalisme
itu tidak sepenuhnya penuh dengan keburukan. Tagore melihatnya sebagai suatu
keburukan karena Ia ‘kecewa’ dengan bangsa Inggris yang tidak segan-segan
menindas masyarakat India dalan upaya membangun bangsa mereka. Bentuk
nasionalisme yang dijalankan oleh penjajah Inggris telah mengaburkan martabat
manusia. Apabila bangsa India mengikuti nasionalisme yang seperti ini, maka
yang terjadi mereka akan menginggalkan aspek sosial yang menjadi jati diri
mereka. Oleh karena itu, Tagore terus-menerus menyuarakan pandangannya agar masyarakat tidak jatuh dalam dampak
negatif dari nasionalisme.
Tagore lebih suka menggunakan tindakan
kasih sebagai aspek sosial yang sungguh berasal dari jati diri masyarakat
India. Semangat kebangsaan yang didorong oleh aspek sosial ini akan mendorong
setiap orang untuk menghargai martabat manusia. Jika hal ini terus dihidupi
tidak ada lagi tindakan yang menunjukkan kekerasan. Setiap orang hanya berfokus
untuk mencintai sesama manusia. Dalam mengemukakan pandangan ini, Tagore kagum terhadap Yesus Kristus yang mewartakan
cinta kasih ketika orang Yahudi berada di bawah pejajahan Orang Romawi. Yesus
Kristus dipandang sebagai seorang revolusioner yang mengajarkan bahwa segala
sesuatu harus didasari oleh kasih[16]. Menurut
Tagore kasih merupakan sumber kebaikan yang baik untuk di hayati oleh setiap
orang. Ia pernah mengatakan bahwa: “ From
love the world is born, by love it is sustained, toward love it moves, dan into
love it enters”[17].
Dalam sejarah Gereja Indonesia, tokoh yang
memiliki perhatian terhadap aspek sosial selama masa penjajahan ialah Mgr.
Albertus Soegijapranata. Nasionalisme yang ditunjukkannya lebih mengarah pada
tindakan kasih. Aspek sosial menjadi perhatian sang gembala. Mgr.
Soegijapranata berpendapat bahwa nasionalisme itu bukan melulu suatu kesadaran
berbangsa, bukan pula ideologi yang menanamkan semangat cinta tanah air belaka[18].
Nasionalisme itu muncul dari suatu kesadaran yang mampu mendorong setiap orang
mengambil suatu tindakan. Tindakan yang dilakukan tentu harus menggambarkan
usaha yang konkret dalam memperjuangan kesejateraan bersama. Semangat seperti inilah yang sejalan dengan pemikiran
Tagore. Kemanusiaan menjadi harga mati dalam membangun bangsa. Setiap orang
menghargai dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Dengan membangun sikap
seperti ini, kesejahteraan akan dirasakan oleh semua orang di dunia ini.
E.
Daftar
Rujukan
A. Quayum, Mohammad,
2006 ”Imagining "One World": Rabindranath Tagore's
Critique of Nationalism”, Interdisciplinary Literary
Studies 7.
Americana
Corp.,
1974
The Encyclopedia AMERICANA
International Edtion, XXVI, Americana Corporation, USA.
Baum, G.,
2001
Nationalism, Religion and Ethics,
McGill-Queens University Press.
Blakeney Williams,
Louise,
2007 “The Cosmopolitan
Nationalism and Modernist History of Rabindranath Tagore and W.B. Yeats”,The
American Review 112.
Budi
subanar, G.,
2003 “Merdeka
atau Mati versi Mgr. Soegijapranata”, Rohani
50.
Departemen
Pendidikan Nasional,
2008
Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Gramedia, Jakarta.
Grolier,
1991
Barnes & Noble New American
Encyclopedia, XVIV, Grolier, USA.
Prakash, Anita,
1995 “Tagore and Nationalism”, Social
Scientist 23.
Radice, W.,
2011 “Tagore and Christianity”, One
in Christ 45.
Tagore,
Rabindranath,
1950
Nasionalisme, di terjemahkan
dari Nationalism, oleh Tatang
Sastrawiria, Balai Pustaka, Jakarta.
Tagore, Rabindranath,
2004 SADHANA
The Classic of Indian Spirituality, Three Leaves Press, New York.
[1] Bdk. Grolier, Barnes & Noble New American Encyclopedia, XVIV, Grolier, USA 1991, 9-10.
[2] Bdk. Americana Corp., The
Encyclopedia AMERICANA International Edtion, XXVI, Americana Corporation,
USA 1974, 225-226.
[3] Bdk. Rabindranath Tagore, Nasionalisme, di terjemahkan dari Nationalism, oleh Tatang Sastrawiria,
Balai Pustaka, Jakarta 1950, 11.
[4] Rabindranath Tagore, Nasionalisme, 25.
[5] Rabindratanh Tagore, Nasionalisme, 27.
[6] Mohammad A. Quayum,”Imagining "One
World": Rabindranath Tagore's
Critique of Nationalism”, Interdisciplinary Literary
Studies 7 (2006), 33.
[7] Bdk. Rabindranath Tagore, Nasionalisme, 52-53.
[8] Bdk. Louise Blakeney Williams,
“The Cosmopolitan Nationalism and Modernist History of Rabindranath Tagore and
W.B. Yeats”,The American Review 112 (2007) 75-80.
[9] Bdk. Rabindranath Tagore, Nasionalisme, 59-61.
[10] Mohammad A.
Quayum,”Imagining "One World": Rabindranath Tagore's
Critique of Nationalism”, Interdisciplinary Literary
Studies, 42.
[11] Bdk. Rabindranath Tagore, Nasionalisme, 87.
[13] Bdk. Rabindranath Tagore, Nasionalisme, 94-95.
[14] Departemen Pendidikan
Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Gramedia, Jakarta 2008, 954.
[15] Gregory Baum, Nationalism, Religion and Ethics,
McGill-Queens University Press 2001, 31.
[16] Bdk. Wiliam Radice,
“Tagore and Christianity”, One in Christ 45 (2011) 243-244.
[17] Rabindranath Tagore, SADHANA The Classic of Indian Spirituality,
Three Leaves Press, New York 2004, 89.
[18]G. Budi subanar, “Merdeka
atau Mati versi Mgr. Soegijapranata”, Rohani
50 (2003) 9.
Komentar
Posting Komentar