RABINDRANATH TAGORE


 RABINDRANATH TAGORE

A.    Konteks Politis, Sosial, Kultural dan Religius

Rabindranath Tagore adalah seorang penyair dan pemikir. Ia lahir di Kalkuta pada tahun 1861 dan wafat pada tahun 1941. Ia pernah meraih penghargaan nobel pada tahun 1913. Tagore hidup pada masa penjajahan Inggris. Hal inilah yang banyak mempengaruhinya dalam menuangkan pikirannya. Ia melihat tindakan-tindakan para penjajah Inggris. Menurutnya tindakan yang dilakukan oleh para penjajah telah melanggar martabat manusia. Berangkat dari keprihatinan ini, ia kemudian menuliskan berbagai hal yang mewakili suara rakyat. Teknik pemaparan tulisan yang baik, menyentuh  hati para pembaca, baik itu di India maupun di Negara Lain[1].
Imperialisme yang dijalankan oleh pejajah Inggris ialah dengan menindas manusia dan menuguasai manusia. Tindakan ini membuat para penjajah tidak segan-segan melakukan tindakan yang keji dan menurunkan martabat manusia. Dorongan untuk membangun bangsa yang maju, membuat para penjajah menjadi buta terhadap sisi kemanusiaan yang dijajahnya. Bentuk penjajahan ini membuat masyarakat India berada dalam tahap yang amat prihatin. Di berbagai daerah terjadi tekanan yang memunculkan ketakutan dalam mengambil suatu tindakan. Berbagai aspek seperti pendidikan, agama dan hukum mengalami kemunduran. Hal ini kemudian mendorong berbagai tokoh untuk mengkritisi fenomena yang ada dengan menuangkan pikiran mereka. Rabindranath Tagore kemudian mengambil aspek pendidikan sebagai jalan untuk mengatasi fenomena yang sedang melanda masyarakat India. Salah satu gerakan yang membuatnya terkenal yaitu Santinekatan (sekolah di luar ruangan atau di alam bebas). Pada akhirnya Rabindranath Tagore kemudian dikenal sebagai Bapa Pendidikan India.

B.     Biografi Intelektual
Dalam melihat biografi intelektual Rabindranath Tagore[2], saya membaginya ke dalam tiga bagian:
a.       Pendidikan di India
Pada tahun 1873, Tagore berpindah dari Kalkuta ke Dalhouse, sebuah perbukitan di kaki Himalaya. Ketika ia tinggal di Dalhouse, ia banyak belajar tentang sejarah, astronomi, bahasa sansekerta dan karya sastra klasik. Dari semua pelajaran tersebut, ia lebih tertarik pada karya sastra klasik. Berangkat dari ketertarikan akan hal ini, ia kemudian menuliskan berbagai hal yang mendukung kesuksesannya sebagai seorang penyair yang sangat terkenal.

b.      Pendidikan di Inggris
Pada tahun 1878, ia pergi ke Inggris untuk kuliah di University College London. Pendidikan di Inggris ini tidak selesai karena ia telah dijodohkan oleh ayahnya dan pada tahun 1980 ia kembali ke India. Selama belajar di Inggris ia menemukan berbagai kebaikan mengenai sikap kepada sesama. Nilai-nilai kristiani yang ada di tengah masyarakat membuat sikap penghargaan terhadap sesama begitu kuat. Selama berada di Inggris, pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Filsafat Barat. Hal ini kemudian memberi pengaruh padanya dalam mengemukakan pemikirannya. Namun, satu hal yang diingat ialah Filsafat Barat tidak dijadikan dalam berpikir, melainkan lebih pada dorongan dalam menjawab persoalan yang ada di India.

c.       Pengetahuan atas Kunjungan ke Berbagai Negara
Tagore banyak melakukan kunjungan ke negara-negara Asia, Eropa dan Amerika.  Dalam kunjungan tersebut ia selalu mencoba memahami bagaimana masyarakat menghayati hidup sehari-hari. Dari pengamatannya ia melihat bahwa masing-masing bangsa memiliki keunikan tersendiri dalam hidup bermasyarakat.
C.    Pemikiran: Kritik terhadap Nasionalisme
Pemikiran Tagore tentang nasionalisme merupakan kumpulan pidato-pidato yang diadakan di Jepang, Amerika dan Eropa. Dalam setiap memaparkan pidatonya, ia mengemukakan tentang soal kebangsan di tanah airnya sendiri. Menurutnya masalah kebangsaan di negaranya tidak bersifat politik, melainkan bersifat sosial. Oleh karena itu, ia mengecam berbagai pandangan yang mengatakan bahwa India memiliki nasionalisme yang bersifat politik.
Tagore menentang sistem pendidikan yang dijalankan oleh penjajah Inggris. Dalam sistem tersebut, para pelajar menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah India. Menurut Tagore, dengan menggunakan bahasa Inggris dalam pendidikan di India, masyarakat dirugikan karena timbul kecenderungan untuk memakai bahasa Inggris daripada bahasa India[3]. Dengan demikian unsur kecintaan terhadap bahasa sendiri menjadi semakin menurun. Di samping itu, pendidikan dengan sistem bahasa Inggris akan menyulitkan orang-orang India ibarat orang hendak menyuburkan gurun pasir. Melalui bahasa Inggris dalam sistem pendidikan, pikiran dan pengetahuan orang India akan cenderung mengarah pada kebudayaan Barat. Dengan demikian masalah sosial di India tidak dapat diselesaikan dengan baik karena tidak berangkat dari dirinya sendiri.
Sistem pendidikan yang dijalankan penjajah Inggris merupakan sebuah ‘produk’. Tagore  berpandangan bahwa dengan menjalankan sistem pendidikan seperti akan cenderung mengaburkan martabat orang-orang India. Dengan mempelajari bahasa Inggris, secara tidak langsung berbagai pandangan orang Inggris dapat diterima begitu saja tanpa melihat apakah pandangan tersbut sesuai dengan pandangan orang India. Pada akhirnya sistem tersebut akan menghasilkan orang-orang India yang bertindak seperti orang Barat. Maksudnya tindakan dan perilaku orang-orang didorong oleh pola berpikir orang Barat.
Dalam menentang sistem ini, Tagore tidak hanya  berhenti pada kata-kata. Ia kemudian mendirikan sekolah pada tahun 1905. Ia menggunakan dasar pengetahuannya dalam mendidik orang-orang yang datang bersekolah. Sistem pendidikan yang dipakai di sekolah ini dimulai dengan membangun pola hidup yang teratur setiap harinya. Sudah ada jadwal  kegiatan mulai dari pagi hingga kegiata belajar di sekolah berakhir. Pendirian sekolah ini berdampak positif  karena anak-anak didiknya mulai menghayati hidup seturut dengan budaya dan kebiasaan masyarakat India. Di dalam setiap muridnya sudah mulai tertanam hasrat untuk membangun India menjadi lebih baik. Demikianlah sekolah ini terus berkembang dari masa ke masa.
Untuk berbicara lebih lanjut mengenai nasionalisme, saya ingin membaginya ke dalam beberapa bagian sesuai dengan tempat di mana Tagore berpidato.

1.      Pidato di Inggris
Pada saat berpidato di Inggris, Tagore bericara mengenai nasionalisme di Barat. Dalam berbicara mengenai nasionalisme di Barat, Tagore memulainya dengan mengungkapkan masalah golongan kebangsaan di India. Golongan kebangsaan di India yang entologis berbeda satu sama lain, merupakan suatu hubungan yang erat. Hal ini adalah panggilan Tuhan untuk hidup secara harmonis dalam bermasyarakat. Masalah di India dalam perjalanan waktu lebih pada masalah sosial yang tiada habis-habisnya, bukan merupakan penyusunan kekuasan yang membela diri dan menyerang bangsa lain. Dalam kebiasaan masyarakat India, bangsa lain merupakan teman. Oleh karena itu, ketika ada bangsa yang datang ke India, kewajiban masyarakat ialah menerima dan menghargai bangsa itu.
Budaya Barat dengan kemajuan teknologinya telah memberikan  kemudahan kepada manusia dalam memproduksi barang-barang. Namun, dari hal ini Tagore melihat bahwa ada tendensi yaitu kemunduran sifat kemanusiaan. Tuhan telah menganugerahkan manusia untuk bekerja dengan tangannya untuk menghasilkan barang-barang yang dibutuhkan. Menurut Tagore akan lebih jauh bernilai barang yang diproduksi dengan tangan manusia daripada barang yang diproduksi oleh mesin. Barang yang diproduksi sendiri akan menumbuhkan rasa puas terhadap diri[4]. Selama penjajahan Inggris, barang-barang yang diproduksi di India menggunakan mesin. Orang dapat melihat dengan jelas bahwa pada kemasan barang yang diproduksi terdapat keterangan barang tersebut tidak tersentuh oleh tangan manusia. Hal ini membuat masyarakat India mengalami kesulitan untuk menyadari sisi spritualitas dari barang yang diproduksi. Dengan demikian rasa cinta tidak akan tumbuh di dalam diri masyarakat India ketika menggunakan barang yang diproduksi.
Bangsa dalam arti kesatuan politik dan ekonomi merupakan aspek yang dipakai  untuk merangkum semua rakyat untuk mencapai tujuan. Akan tetapi, hal ini tidak efektif  karena tujuan sebenarnya sudah terdapat dalam diri setiap orang. Tujuan itu ialah hidup sebagai makhluk sosial. Kesadaran terhadap tujuan ini akan menyadarkan setiap orang untuk hidup dalam kerjasama. Memang dalam dalam kerjasama yang dilakukan tidak bisa dipungkiri bahwa akan terjadi praktek politik, tetapi praktek tersebut dapat diminimalisir dengan mendidik setiap orang secara baik melalui pendidikan yang menyadarkan masyarakat pada keharmonisan hidup bersama di dunia ini.
Kebudayaan Barat dan Timur pada dasarnya saling membutuhkan untuk saling mengisi. Pandangan yang berbeda antara bangsa Barat dan bangsa Timur tentang aspek kebenaran perlu dilihat sebagai sarana untuk menemukan jalan keluar yang baik, sehingga terjadi pendamaian di antara keduanya. Tidak akan ada lagi pemerintahan yang berasal dari satu pihak yang memberi tekanan. Jika masyarakat dapat sampai pada tahap ini, hidup akan terasa bahagia.
Pemerintahan yang dikendalikan oleh satu pihak cenderung menggelapkan sisi kemanusiaan dalam organisasi yang tiada berjiwa. Dari hal ini, setiap orang perlu menyadari bahwa  nasionalisme ternyata menjadi wabah kejahatan yang kejam yang menyapu bumi manusia dan memakan hajat susila[5]. Anggapan bahwa suatu bangsa adalah pemerintah terhadap bangsa lain menyebabkan orang bertindak atas dasar kepentingan pribadi tanpa melihat bangsa yang diperintah. Tagore mengatakan demikian:

Radical nationalism that acted as opiate of the people, making them irrational and fanatical blind to the sense of truth and justice, and willing to both kill and die for it, perpetuating a logic of ‘lunacy’ and war, instead of a cycle of freedom and peace”.[6]

Penderitaan yang terjadi di India disebabkan oleh semangat bangsa Inggris untuk membangun kesejahteraan dengan memanfaatkan sumber daya yang ada di India. Dalam tindakan ini terdapat ketidakseimbangan karena di satu sisi bangsa Inggris mengalami kemajuan, tetapi di sisi lain bangsa India menderita. Benih untuk dapat melakukan tindakan sekeji ini telah tumbuh dalam nasionalisme Barat yang dasarnya bukan kerjasama sosial. Dengan demikian, tujuan manusia sebagai  makhuk sosial menjadi tidak ditemukan di tengah masyarakat.

2.      Pidato di Jepang
Dalam pidato di Jepang berbicara mengenai nasionalisme yang dijalankan oleh orang Jepang. Masyarakat Jepang sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah. Pemerintah mengatur masyarakat dengan menggunakan pikiran mereka sendiri tanpa melihat  sisi rakyatnya. Dalam hal ini terjadi perbudakan pikiran dengan memaksakan rakyat mengikuti apa yang dipikirkan oleh perintah sebagai suatu kebijakan. Tindakan seperti ini cenderung menimbulkan egoisme di dalam pemerintah. Namun, tindakan ini bukanlah tiruan Jepang terhadap kebijakan orang Barat. Sesungguhnya tiruan hanyalah sumber kelemahan. Jepang hanya dapat meniru pengetahuan dari Barat bukan meminjam semangat[7]. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebijakan Jepang mirip dengan kebijakan Barat tetapi pendorongnya tidak sama.
Pemerintah Jepang dalam kehidupan sehari-hari bisa mendatangkan berbagai macam produksi orang Barat, tetapi mereka tidak mendatangkan sifat yang memberikan hidup padanya. Jepang telah memiliki jiwanya sendiri dan tidak dapat digantikan oleh kepunyaan orang lain. Namun, kebiasaan mendatangkan barang dari orang Barat telah menjadi media asimilasi antara jiwa orang Barat dan jiwa orang Jepang. Proses asimilasi ini mulai memberi pengaruh pada orang Jepang untuk mulai memperlihatkan kebanggaan. Jika hal ini terus dibiarkan, maka kebanggaan itu dapat menjadi suatu keaiban yang dapat mendatangkan kemelaratan dan kelemahan.
Memang harus diakui bahwa peradaban Barat membawa pengaruh yang amat besar bagi dunia. Akan tetapi, dari peradaban itu dapat dilihat bahwa tidak ada solusi atas masalah kehidupan. Di tengah masyarakat masih kerap kali ditemukan berbagai konflik atau perselisihan. Faktor utama dari perselisihan yang terjadi ini ialah dorongan nafsu dan semangat untuk mencari keuntungan sendiri.     
Di Eropa, orang dapat menemukan pahlawan-pahlawan kelana modern yang tidak kehilangan kepercayaan akan rasa cinta terhadap kemerdekaan dengan mementingkan dirinya sendiri. Keinginan untuk mendirikan kekuasaan sebagai suatu bangsa telah membutakan mereka terhadap nilai-nilai luhur yang membangun kemanusiaan. Bangsa Eropa telah mendapatkan nilai-nilai kemanusiaan melalui pengajaran keagamaan, tetapi faktanya mereka melakukan penindasan yang pada akhirnya mengaburkan nilai yang sudah ditanamkan di dalam diri mereka[8].Apa yang diperlihatkan oleh orang Eropa tidak berbanding lurus dengan kebiasaan orang Asia Timur. Jika orang Eropa menekankan politik sebagai asas dasar dalam tindakan,  orang Asia Timur lebih menekankan unsur sosial[9]. Dengan demikian tindakan yang dilakukan orang Asia tidak didasarkan pada perampasan, melainkan keluhuran semangat dan hubungan yang harmonis dengan sesama.
Kehidupan yang didasarkan pada ilmu pengetahuan semata-mata, tidaklah cukup karena ilmu pengetahuan akan membuat orang membangun sikap yang didasarkan pada kepura-puraan. Kehidupan yang seperti ini akan mendangkalkan makna kehidupan. Kehidupan seperti ini cenderung merangsang diri untuk mengejar kesuksesan dengan tidak memikirkan pengarai manusia yang lebih luhur. Namun, hal ini tidak berarti ilmu pengetahuan itu buruk. Jika ilmu pengetahuan yang dimiliki dapat menumbuhkan pikiran bahwa sesungguhnya manusia itu sama di hadapan Tuhan, maka hal tersebut tidak akan mendatangkan sikap yang arogan.

3.      Pidato di Amerika
Ketika berpidato di Amerika, Tagore banyak membahas tentang nasionalisme di India. Tagore kembali menegaskan bahwa masalah di India ialah masalah sosial, bukan politik. Ia mengatakan bahwa sudah sejak dulu India itu identik dengan aspek sosial. Pada tahap selanjutnya India mendapat pengaruh dari Barat khususnya Inggris yang mencoba merubah aspek sosial itu menjadi aspek politik dengan memasukkan nasionalisme mereka yang dapat dikatakan menjadi dasar dalam menindas dan memeras bangsa lain.
India bukanlah peminta-minta peradaban Barat. Peradaban Barat itu dengan sendirinya masuk melalui sikap para penjajah yang menduduki India. Menurut Tagore peradaban Barat itu telah membuat orang-orang India merasa asing di negeri sendiri. Peradaban Barat telah menanamkan keegoisan karena dalam peradaban itu ada kecenderungan mementingkan diri sendiri dengan menindas yang lemah. Semangat mengklaim diri sebagai suatu bangsa membuat mereka buta terhadap kemanusiaan. Sengat itu tidak lain di sebut sebagai nasionalisme. Tagore mengatakan demikian:

We, in India, must make up our mind that we cannot borrow other people’s history, and that if we stifle our own we are commiting suicide. When you borrow things that do not belong to your life, thy only serve to crush your life...I believe that it does India not good to compete with Western civilization in its own field...India is no beggar of West”[10].

Menurut Tagore bangsa merupakan suatu aspek dari seluruh rakyat sebagai suatu kekuasaan yang tersusun. Oraganisasi yang terus-menerus mendorong rakyat untuk menjadi kuat dan effisien. Akan tetapi, kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, telah menguras tenaga manusia yaitu semangat untuk berkorban dan berbuat yang nyata bagi sesama. Klaim sebagai bangsa membuat semangat berkorban turun ke taraf yang lebih rendah untuk mempertahankan diri yang bersifat mekanik. Sikap seperti ini, cenderung membutakan suara hati yang senantiasa mengarahkan manusia pada tanggung jawab moral. Dengan berpegang pada gagasan sebagai suatu bangsa, rakyat yang mencintai kemerdekaan akan melanjutkan penindasan dan perbudakan. Mereka akan merasa bangga karena apa yang mereka lakukan dianggap sebagai suatu kewajiban. Orang yang tidak jujur akan berperangai tidak jujur dan bersikap kejam melalui baik dalam tindakan maupun pikirannya. Jadi, kebangsaan itu adalah suatu ancaman besar. Hal itu telah diperlihatkan oleh para penjajah Inggris yang menduduki India[11]. Tagore mengatakan: “ If we are to build up a nation, we must with all du recpect and regret cast aside the load of the venerable rock like tradition, which is suffocating our humanity, our sterngth and our manly indepence[12].
Pada zaman sekarang ini, ada banyak bangsa yang telah mencapai kemerdekaan politiknya. Pencapain ini telah menunjukkan bahwa bangsa itu tidak lagi dikuasai oleh yang lain. Di dalam diri bangsa itu sudah memiliki kekuasaannya sendiri. Akan tetapi, kekuasaan itu telah memunculkan nafsu yang  tidak terkendali untuk mempertahankan kemerdekaan. Segala sesuatu yang dilakukan mulai memperlihatkan betapa besar kecintaannya pada bidang politik. Orang yang sangat mencintai kekuasaan politik dengan penuh nafsu berusaha melebarkan kekuasaannya dengan menduduki bangsa lain dalam kungkungan perbudakan.
Para nasionalis  India beranggapan bahwa orang-orang India telah mencapai kesempurnaan dalam cita-cita sosial dan semangat. Kewajiban untuk membangun masyarakat telah dicapai di masa silam. Orang yang beranggapan seperti ini telah dipengaruhi oleh peradaban Barat. Mereka telah mendapat pelajaran yang datang dari Barat sebagai suatu kebenaran yang mutlak. Dalam hal ini mereka telah kehilangan peri kemanusiaan[13]. Para kaum nasionalis akan cenderung mununjuk negara lain sebagai model yang patut ditiru. Akibatnya, berbagai kekayaan nilai kemanusiaan cenderung mengikuti bangsa yang ditiru. Dengan demikian kekayaan diri sendiri akan dilupakan dan tidak berfungsi dengan baik dalam membangun diri sendiri.



D.    Tanggapan Kritis dan Relevansi
Nasionalisme merupakan kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran dan kekuatan bangsa itu; semangat kebangsaan[14]. Nasionalisme muncul dari perjalanan sejarah. Begitu pun yang dialami oleh bangsa India. Nasionalisme yang mereka miliki adalah peninggalan penjajah Inggris. Dalam melihat nasionalisme ini, Tagore mengkritisinya karena  ada unsur politik yang diterapkan di dalamnya. Unsur politik ini akan membangun manusia yang bersifat arogan. Pandangan ini memiliki kesamaan dengan nasionalisme yang di kemukakan oleh Martin Buber. Menurut Matin Buber nasionalisme berpotensi mengarah pada hal yang negatif yaitu sikap agresif dan berlebihan seperti yang terjadi pada masa perang dunia pertama. Nasionalisme seperti ini disebut Buber sebagai nasionalisme yang busuk (degenerate nationalism)[15]. Kedua pandangan ini sama-sama mengkristisi nasionalisme. Tagore cenderung menolak nasionalisme karena dalam sejarah India, tidak ada kebiasaan yang demikian, sedangkan Buber lebih mengajak orang untuk membangun nasionalisme yang bersifat etis yaitu semangat kebangsaan yang berusaha membangun tindakan yang didorong oleh aspek sosial. Dari hal ini, saya ingin mengatakan bahwa nasionalisme itu tidak sepenuhnya penuh dengan keburukan. Tagore melihatnya sebagai suatu keburukan karena Ia ‘kecewa’ dengan bangsa Inggris yang tidak segan-segan menindas masyarakat India dalan upaya membangun bangsa mereka. Bentuk nasionalisme yang dijalankan oleh penjajah Inggris telah mengaburkan martabat manusia. Apabila bangsa India mengikuti nasionalisme yang seperti ini, maka yang terjadi mereka akan menginggalkan aspek sosial yang menjadi jati diri mereka. Oleh karena itu, Tagore terus-menerus menyuarakan pandangannya  agar masyarakat tidak jatuh dalam dampak negatif dari nasionalisme.
Tagore lebih suka menggunakan tindakan kasih sebagai aspek sosial yang sungguh berasal dari jati diri masyarakat India. Semangat kebangsaan yang didorong oleh aspek sosial ini akan mendorong setiap orang untuk menghargai martabat manusia. Jika hal ini terus dihidupi tidak ada lagi tindakan yang menunjukkan kekerasan. Setiap orang hanya berfokus untuk mencintai sesama manusia. Dalam mengemukakan pandangan ini, Tagore  kagum terhadap Yesus Kristus yang mewartakan cinta kasih ketika orang Yahudi berada di bawah pejajahan Orang Romawi. Yesus Kristus dipandang sebagai seorang revolusioner yang mengajarkan bahwa segala sesuatu harus didasari oleh kasih[16]. Menurut Tagore kasih merupakan sumber kebaikan yang baik untuk di hayati oleh setiap orang. Ia pernah mengatakan bahwa: “ From love the world is born, by love it is sustained, toward love it moves, dan into love it enters[17].
Dalam sejarah Gereja Indonesia, tokoh yang memiliki perhatian terhadap aspek sosial selama masa penjajahan ialah Mgr. Albertus Soegijapranata. Nasionalisme yang ditunjukkannya lebih mengarah pada tindakan kasih. Aspek sosial menjadi perhatian sang gembala. Mgr. Soegijapranata berpendapat bahwa nasionalisme itu bukan melulu suatu kesadaran berbangsa, bukan pula ideologi yang menanamkan semangat cinta tanah air belaka[18]. Nasionalisme itu muncul dari suatu kesadaran yang mampu mendorong setiap orang mengambil suatu tindakan. Tindakan yang dilakukan tentu harus menggambarkan usaha yang konkret dalam memperjuangan kesejateraan bersama. Semangat  seperti inilah yang sejalan dengan pemikiran Tagore. Kemanusiaan menjadi harga mati dalam membangun bangsa. Setiap orang menghargai dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Dengan membangun sikap seperti ini, kesejahteraan akan dirasakan oleh semua orang di dunia ini.





E.     Daftar Rujukan

A.   Quayum, Mohammad,


2006     ”Imagining "One  World": Rabindranath Tagore's Critique of Nationalism”, Interdisciplinary Literary Studies 7.

Americana Corp.,

1974  The Encyclopedia AMERICANA International Edtion, XXVI, Americana  Corporation, USA.

Baum, G.,

 2001     Nationalism, Religion and Ethics, McGill-Queens University Press.

Blakeney Williams, Louise,

2007 “The Cosmopolitan Nationalism and Modernist History of Rabindranath Tagore and W.B. Yeats”,The American Review 112.

Budi subanar, G.,
 2003   “Merdeka atau Mati versi Mgr. Soegijapranata”, Rohani 50.

Departemen Pendidikan Nasional,

 2008     Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gramedia, Jakarta.


Grolier,

       1991     Barnes & Noble New American Encyclopedia, XVIV, Grolier, USA.

Prakash, Anita,

 1995     “Tagore and Nationalism”, Social  Scientist 23.

Radice, W.,

2011    “Tagore and Christianity”, One  in Christ 45.

Tagore, Rabindranath,

1950    Nasionalisme, di terjemahkan dari Nationalism, oleh Tatang Sastrawiria, Balai Pustaka, Jakarta.

Tagore, Rabindranath,

2004    SADHANA The Classic of Indian Spirituality, Three Leaves Press, New York.




[1] Bdk. Grolier, Barnes & Noble New American Encyclopedia, XVIV, Grolier, USA 1991, 9-10.
[2] Bdk. Americana Corp., The Encyclopedia AMERICANA International Edtion, XXVI, Americana Corporation, USA 1974,  225-226.
[3] Bdk. Rabindranath Tagore, Nasionalisme, di terjemahkan dari Nationalism, oleh Tatang Sastrawiria, Balai Pustaka, Jakarta 1950, 11.
[4] Rabindranath Tagore, Nasionalisme, 25.
[5] Rabindratanh Tagore, Nasionalisme, 27.
[6] Mohammad A. Quayum,”Imagining "One  World": Rabindranath Tagore's Critique of Nationalism”, Interdisciplinary Literary Studies 7 (2006), 33.

[7] Bdk. Rabindranath Tagore, Nasionalisme, 52-53.
[8] Bdk. Louise  Blakeney Williams, “The Cosmopolitan Nationalism and Modernist History of Rabindranath Tagore and W.B. Yeats”,The American Review 112 (2007) 75-80.
[9] Bdk. Rabindranath Tagore, Nasionalisme, 59-61.
[10]  Mohammad A. Quayum,”Imagining "One  World": Rabindranath Tagore's Critique of Nationalism”, Interdisciplinary Literary Studies, 42.
[11] Bdk. Rabindranath Tagore, Nasionalisme, 87.
[12] Anita Prakash, “Tagore and Nationalism”, Social  Scientist 23 (1995) 129.
[13] Bdk. Rabindranath Tagore, Nasionalisme, 94-95.
[14] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gramedia, Jakarta 2008, 954.
[15] Gregory Baum, Nationalism, Religion and Ethics, McGill-Queens University Press  2001, 31.
[16] Bdk. Wiliam Radice, “Tagore and Christianity”, One  in Christ 45 (2011) 243-244.
[17] Rabindranath Tagore, SADHANA The Classic of Indian Spirituality, Three Leaves Press, New York 2004, 89.
[18]G. Budi subanar, “Merdeka atau Mati versi Mgr. Soegijapranata”, Rohani 50 (2003) 9.

Komentar

Postingan Populer