Negara dan Agama Menurut Machiavelli

NEGARA DAN AGAMA
Menurut Pandagan Machiavelli

Pemikiran Nicolo Machiavelli mengenai negara dan agama tidak terlepas dari konteks masa hidupnya. Machiavelli hidup pada masa Renaisans, masa di mana orang menginginkan adanya pemisahan antara negara dan agama. Dalam kehidupan tampak bahwa agama begitu mendominasi negara. Apa yang diserukan oleh agama menjadi suatu keharusan bagi negara untuk mengikutinya. Ketika negara tidak mendengarkan seruan itu, akan ada hal negatif yang terjadi pada negara, misalnya pengucilan dalam hubungan dengan negara lain. Fenomena ini membuat orang mulai mempertanyakan hubungan negara dan agama. Berangkat dari fenomena ini orang mulai menungkapkan pemikirannya, termasuk Machiavelli.
Dalam pemikiran Machiavelli tampak bahwa ia setuju terhadap pemisahan antara negara dan agama. Pemisahan yang dimaksudkan ialah bahwa agama itu harus dikendalikan oleh negara, bukan agama yang mendominasi negara[1]. Pandangan ini merujuk pada kebudayaan Yunani, di mana negara yang mengatur agama. Dalam hal ini agama itu berada dalam kekuasaan negara. Kehidupan beragama orang diatur oleh negara, sehingga negara dapat mandiri dalam memperjuangkan kelangsungan bernegara dengan baik. Negara dapat dengan mudah menjalankan hal-hal yang dapat membangun negara, tanpa memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan agama.
Agama itu merupakan urusan setiap individu manusia. Kehidupan beragama itu sebaiknya diberikan kepada invidu untuk mengembangkannya sendiri. Lembaga agama maupun negara tidak boleh memaksakan individu dalam melaksanakan kehidupan beragama. Jika negara dan agama memaksa invidu untuk melakukan apa yang diinginkan, individu tidak akan berkembang. Dengan demikian kemungkinan untuk menghayati agama hanya jatuh pada formalitas saja, tanpa adanya penghayatan.
Agama itu berguna bagi seluruh masyarakat. Melalui agama, setiap orang dapat membangun dan membentuk sikap tulus, taat, setia dan bersatu. Sikap-sikap tersebut dapat mendorong orang untuk memperjuangkan kesejahteraan. Agama memberi ruang kepada individu untuk membentuk dirinya menuju kebaikan. Pandangan Machiavelli mengenai agama pada dasarnya dilihat dari sudut pragmatisme dan kepentingan politik semata. Bagi Machiavelli agama itu memiliki makna apabila berguna bagi kepentingan politik kekuasaan. Penempatan agama dalam negara harus dilihat sebagai perekat sosial, bukan sebagai dasar atas suatu kebenaran[2]. Pandangan inilah yang membedakan Machiavelli dari pandangan para teolog abad pertengahan. Para teolog abad pertengahan melihat agama dari sudut pandang teologi dan filsafat, sehingga penghayatan atas hidup keagamaan itu lebih mendalam.
Fungsi dari agama itu ialah sebagai pemersatu masyarakat untuk membangun kesatuan politik yang kuat dan kokoh dalam mempertahankan eksistensi negara. Dengan adanya kesatuan yang kokoh negara tidak dapat mengalami perpecahan. Peran utama agama ialah sebagai pemersatu negara agar negara selalu diarahkan pada ikatan yang erat di antara masyarakatnya. Adapun kesatuan yang dibangun itu bersifat mengarahkan masyarakat pada ketaatan dan kesetiaan terhadap penguasa demi kesejahteraan negara. Singkatnya agama itu harus mampu menjadi alat pengaruh, alat kekuasaan dan alat pengawasan ditangan sang penguasa terhadap mereka yang dikuasai[3]. Dengan kata lain agama menjadi sarana untuk membangun kekuasaan.
Dalam mengembangkan pemikirannya mengenai negara, Machiaveli mengemukakan bahwa dasar utama dari suatu seluruh negara ialah undang-undang yang baik dan bala tentara yang baik. Bahkan, keberadaan bala tentara yang baik itu dipandang lebih penting dari undang-undang yang baik[4]. Tentara yang baik yang dimaksudkan ialah mereka yang dilatih secara militer, bukan tentara bayaran. Kebaikan dari tentara itu dapat dibentuk melalui lembaga agama. Dalam agama, orang-orang yang bergabung sebagai anggota militer akan mendapatkan nilai-nilai yang membentuk kepribadian, sehingga pengabdian terhadap negara itu menjadi total. Selain itu, ada juga kesatuan yang dibentuk secara tidak langsung dalam lembaga agama itu.
Adapun bentuk negara yang dikemukakan oleh Machiavelli ialah negara republik dan monarki. Negara berbentuk republik berarti negara itu dikepalai oleh seorang pemimpin, sedangkan negara berbentuk monarki berarti negara itu dikepalai oleh seorang raja[5].  Sebagai negara yang berbentuk republik dan monarki, kekuasaan itu berada dalam tangan sang pemimpin. Apapun yang dilakukan oleh sang pemimpin itu harus ditaati. Kebijakan pemimpin  menjadi suatu kewajiban untuk dilaksanakan. Tindakan-tindakan pemimpin dalam membangun dan mempertahankan negara itu selalu dibenarkan walaupun bertentangan dengan nilai-nilai dasar sebagaimana yang dipahami dalam agama. Kebenaran tindakan yang dimaksud ialah mengarah pada usaha untuk mempertahankan kekuasaan, bukan sekedar tindakan yang tidak memiliki alasan dasar. Oleh karena itu, sang penguasa perlu belajar dari pengalaman masa lalu seperti dalam masa pemeritahan Romawi.



[1] Masykur Arif Rahman, Buku Pintar: SEJARAH FILSAFAT BARAT, IRCiSoD, Yogyakarta 2013, 225.
[2] Bertand Russel,  SEJARAH FILSAFAT BARAT, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2007, 665.
[3] Bdk. Marcia L. Colish, “Republicanism, Religion, and Machiavelli's Savonarolan Moment”, Journal of the History of Ideas 60 (1999) 615-616.
[4] Quetin Skiner, Machiavelli: Dilema Kekuasaan dan Moralitas, Grafiti, Jakarta 1992, 46.
[5] Nocollo Machiavelli, SANG PENGUASA, diterjemahkan dari il Principe, oleh C. Woekirsari, Gramedia, Jakarta 1987, 64.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer