Daisetsu Teitaro Suzuki
DAISETSU
TEITARO SUZUKI
A. Konteks
Politik, Sosial dan Religius
Daisetsu
Teitaro Suzuki adalah salah seorang pemikir dan penulis Buddhisme Zen yang
terkenal. Ia lahir pada 18 Oktober 1870 di Honda-machi, Jepang. Ia terlahir
sebagai golongan Samurai yang mengalami kemunduran bersamaan dengan jatuhnya
pemerintahan feodal. Kejatuhan pemerintahan feodal itu ditandai dengan kegelisahan atau keresahan
akibat tekanan budaya modern (budaya Barat) yang menghilangkan budaya lama. Ketika
berusia lima tahun, ayah Suzuki meninggal dunia. Setelah ayahnya meninggal, ia
dibesarkan oleh ibunya dalam keadaan miskin. Ibunya sendiri adalah seorang
penganut agama Buddhis. Pada tahun 1889, ibunya meninggal dunia. Sejak saat
itu, ia melanjutkan pendidikannya sendiri. Menjelang usia dewasa, Suzuki mulai
membayangkan pada saat reinkarnasi nasibnya akan kembali seperti saat saat ini.
Oleh karena itu, ia mulai mencari jawaban atas bayangannya itu pada berbagai
ragam kepercayaan.[1]
B. Biografi Intelektual[2]
Pada
usia muda Suzuki sudah mulai menekuni pelajaran dalam bahasa Cina, Sansekerta,
Pali dan beberapa bahasa Eropa. Pengetahuan akan berbagai bahasa tersebut
membantunya dalam memahami ajaran-ajaran pada berbagai ragam kepercayaan.
Pengetahuan akan banyak bahasa itu membantunya dalam menerjemahkan berbagai
ajaran Buddhisme ke dalam bahasa Jepang.
Pendidikan
D.T. Suzuki ditempuh di Universitas Tokyo. Dalam proses belajar ini ia mulai
berlatih Zen. Dalam proses latihan itu, ia mendapatkan pelajaran mengenai hal
batin termasuk meditasi dalam waktu yang lama. Selama menjalani pendidikan,
Suzuki menjalani kehidupan seperti seorang biksu. Pola kehidupan ini turut
mempengaruhi pemikirannya. Selain itu, ia juga dekat dengan Shoyen Shaku (salah
seorang guru besar Buddhisme Zen). Kedekatan ini membuat Shoyen Shaku memberi
kepercayaan kepada Suzuki untuk membantu seorang ilmiawan Jerman dalam
menerjemahkan literatur spiritual dunia Timur yang akan dipublikasikan di dunia
Barat. Selama proses tersebut, Suzuki tinggal di LaSalle, Illonis sampai pada
tahun 1908.
Suzuki
juga melakukan perjalanan ke beberapa negara Eropa. Dalam perjalanan ini ia
banyak belajar tentang hidup spiritual yang berkembang di Eropa. Pada tahun
1911, ia menikahi Beatrice Erskine Lane, seorang teosofi asal Amerika yang
memiliki banyak kontak dengan kepercayaan Baha’i, baik di Amerika maupun di
Jepang. Pada tahun 1921, Suzuki menjadi guru besar di Universitas Otani. Selama
menjadi guru besar, ia mengelilingi universitas-universitas di Amerika. Bahkan,
ia mendapat kesempatan mengajar di Universitas Columbia pada tahun 1952-1957. Akhirnya
Suzuki meninggal dunia pada tanggal 12 Juli 1966 di Tokyo.
C. Pemikiran:
Konsep Diri dalam Buddhisme Zen
Buddhisme
Zen merupakan salah satu aliran dari Buddhisme Mahayana. Zen berkembang dari
pemahaman Mahayana mengenai keselamatan yang diperoleh melalui upaya sendiri
(jariki). Kata Zen sendiri secara harafiah dapat diartikan sebagai meditasi.
Penekanan pokok pada meditasi dalam Buddhisme ini bisa jadi merupakan salah
satu alasan penamaan Buddhisme Zen. Meditasi ini terkenal dalam bentuk lotus,
yaitu meditasi dengan posisi duduk bersila. Cikal bakal Zen dimulai oleh
Boddhidharma (520) di Cina. Perkembangan Zen mulai dinampakkan oleh Huineng
(638-895). Huineng dapat dikatakan
sebagai penemu Zen Cina. Dalam perjalanan waktu Zen itu berinteraksi dengan pemikiran
Cina: Taoisme (menciptakan keselarasan
individu dengan cara mengiyakan aturan hidup dalam alam) dan Confucianisme
(menyediakan sikap praktis dan etis). Perjumpaan antara Mahayana dan
Confucianisme ini kemudian melahirkan segi etis dan praktis pada Zen.
Perkembangan
Zen yang begitu menarik membuat banyak tokoh dari luar yang datang ke Cina
untuk belajar mengenai Zen. Di antara tokoh-tokoh itu, terdapat beberapa orang
Jepang. Ketika orang-orang itu kembali ke Jepang, mereka mulai menghidupi Zen.
Di Jepang, Zen mengalami perkembangan atau perubahan yang menjadi ciri khasnya.
Perkembangan itu terjadi akibat adanya perbedaan tafsir mengenai pokok ajaran
penerangan. Ada dua aliran yang muncul dari perkembangan itu, yaitu Soto dan
Rinzai. Soto mengembangkan ajaran penerangan yang hening, sedangkan Rinzai
mengembangkan usaha mencapai penerangan secara aktif. Jika dalam Soto
penerangan itu dicapai dengan satu cara yaitu meditasi dengan posisi duduk
bersila (Za-zen), dalam Rinzai dikembangkan dengan dua cara yaitu Koan (metode
pemecahan masalah melalui meditasi) dan Mondo (dialog untuk mengetahui
pengalaman penerangan). Sampai saat ini, baik Soto maupun Rinzai, masih
berkembang di Jepang.[3]
Dalam
Buddhisme Zen sendiri, ada empat pokok ajaran. Keempat pokok ajaran itu ialah
Satori (penerangan), Zendo (tata tertib), Zazen (meditasi bersila) dan Konsep Diri.
Dari keempat ajaran tersebut Suzuki mencoba berbicara mengenai Konsep Diri
dalam Buddhisme Zen. Dari penjelasan Suzuki tampak bahwa ia mencoba memberikan
penjelasan bahwa selain sains, ada jalan lain untuk mengenal diri sendiri.
Jalan alternatif itu ialah konsep diri yang dimuat dalam ajaran Zen.
Pendekatan
yang dilakukan dalam Zen itu bersifat anti-ilmiah. Zen bergerak berlawanan
dengan arah atau metode yang digunakan dalam sains. Akan tetapi, hal ini tidak
selalu berarti bahwa Zen bertentangan dengan sains. Dari pandangan ini, satu
hal yang ingin ditekankan ialah bahwa ketika orang hendak memahami Zen orang
harus mengambil posisi yang dianggap ‘tidak ilmiah’. Dengan mengambil posisi
tersebut usaha untuk memahami Zen secara mendalam dapat dilakukan secara
perlahan-lahan. "Zen is the most
irrational, inconceivable thing in the world. Zen is one thing and logic is
another.... Zen deals with facts and not with generalization”[4]
Secara
umum dapat dipahami bahwa sains itu bersifat sentrifugal, ekstrovert, dan
memandang secara objektif kajiannya. Sains berusaha menjaga jarak dan tidak
pernah berusaha agar menyatu dengan objek kajian tersebut. Bahkan, ketika para
ilmuwan melakukan penelitian dengan melihat ke-dalam (batin) untuk pemeriksaan
diri, mereka tetap bersikap menjadikan diri ‘diri’ asing bagi diri mereka
sendiri seolah-olah apa yang ada di-dalam (batin) bukanlah bagian dari mereka.[5]
Teknik ini membuat, orang cenderung mengarah pada teori yang tidak mencakup
keseluruhan dari ‘diri’ itu sendiri. Dengan kata lain, pengalaman batin tidak
dimasukkan sebagai acuan dalam memahami diri.
Zen
is decidedly not a system founded upon logic and analysis. If anything, it is
the antipode to logic, by which I mean the dualistic mode of thinking. There
may be an intellectual element in Zen, for Zen is the whole mind, and in it we
find a great many things; but the mind is not a composite thing that is to be
divided into so many faculties, leaving nothing behind when the dissection is
over. Zen has nothing to teach us in the way of intellectual analysis ; nor has
it any set doctrines which are imposed on its followers for acceptance.[6]
Selama ini
ilmu pengetahuan berusaha menerangkan apa arti diri menggunakan sistem filsafat
atau sistem berpikir lainnya. Menurut ajaran Zen, hal ini merupakan suatu
kesia-siaan karena tujuan dari pendekatan itu ialah untuk menyelidiki,
menerangkan dan bicara mengenai ‘diri’, tetapi tidak mengenai ‘diri’ itu
sendiri. Dalam hal ini, ilmu pengetahuan menjadikan ‘diri’ sebagai objek
kajian. Para ilmuwan tidak akan sampai pada pemahaman utuh mengenai ‘diri’ bila
‘diri’ dijadikan objek. Suzuki mengatakan bahwa ketika orang menempatkan ‘diri’
itu di luar, maka orang itu menjadi orang luar bagi dirinya sendiri.
Melalui
Zen, orang dituntun untuk bertemu ‘diri’ itu sendiri tanpa menjadikan ‘diri’
sebagai objek. Pertemuan atau pemahaman tentang diri itu, hanya dapat dilakukan
dengan bila orang meninggalkan keinginan untuk berpikir dan membangun
penghayatan yang berpadu dengan ‘diri’ itu sendiri atau wahana Sang Diri
(Sunyata).[7] Sang
Diri (Sunyata) merupakan kekosongan namum berisi penuh seperti bulatan yang
memiliki banyak pusat. Sang diri itu sendiri merupakan pusat dari alam semesta.
Sang Diri merupakan asal semua dan tempat semua bernaung termasuk manusia. Sang
Diri dalam diri setiap makhluk itu identik. Hal ini seolah-olah merupakan suatu
kemustahilan, akan tetapi itulah kenyataan. Zen mencoba menjelaskan bahwa hal
itu nyata, sehingga untuk menyadari ‘diri’ harus berangkat atau bertitik tolak
dari Diri itu. Sang Diri itulah yang mengetahui atau menyadari dirinya sendiri.
Dengan demikian pemahaman tentang diri itu dimulai dari dalam diri bukan dari
luar diri.
Diri
adalah sesuatu yang tidak akan mungkin disentuh (fuleatoku: Jepang), tidak mungkin dicapai (anupalabdha: Sansekerta), tidak mungkin diobjekkan (pu-ko-te: Cina). Diri itu memiliki
sinonim dengan person yang memiliki
arti moral, sinonim dengan individu yang mau dikontraskan dengan kelompok,
sinonim dengan the self (Sang Diri)
yang memiliki arti moral, psikologis maupun religius. Pemahaman tentang
pengalaman ‘diri’ dilihat dari perbedaan
dengan pengalaman lain. Dalam pengalaman ‘diri’ itu selalu dibarengi dengan
perasaan otonomi, bebas, hidup, serta penguasaan diri.[8]
Menurut
Suzuki, ide dasar dari Zen berhubungan
dengan proses kerja batin dari keberadaan seseorang yang dilakukan secara langsung tanpa apapun yang bersifat
eksternal atau dari luar. Orang masuk ke dalam diri sendiri untuk menemukan insight mengenai hakekat diri sendiri.
Pengenalan hakikat diri sendiri ini bukan suatu bentuk pengenalan intelektual,
melainkan suatu ‘wawacara’ eksperensial.
Zen pada dasarnya adalah seni melihat hakikat keberadaan diri seseorang, dan
menunjukkan jalan dari perbudakan ke kebebasan...Bisa kita katakan bahwa
membebaskan semua energi yang tersimpan secara alamiah dan semestinya dalam
diri kita masing-masing, yang dalam keadaan bisa terkekang dan teralihkan
sehingga tidak menemukan saluran yang memadai untuk beraktifitas.[9]
Orang melakukan penyelidikan diri dari dalam memakai energi alamiah untuk
memperoleh pengetahuan tentang diri. Inilah yang menjadi perbedaan sains dan
Zen. Perbedaan ini antara kedua bentuk tersebut merupakan pusat nilai Zen, akan
tetapi hal tersebut juga menjadi suatu kesulitan bagi orang Barat untuk
memahami Zen.
Pengetahuan
ilmiah tentang Diri bukanlah pengetahuan sejati selama ia meng-obyektifikasi
Diri. Pengetahuan ilmiah perlu membalik arah dalam memahami Diri. Diri harus
dipahami dari dalam, bukan dari luar. Dengan kata lain, proses pengenalan Diri
itu dilakukan tanpa harus keluar dari diri sendiri. Suzuki mengatakan bahwa pengetahuan diri dimungkinkan hanya bila
terjadi identifikasi subyek dan obyek; maksudnya, ketika semua penelitian
ilmiah berhenti, dan meletakkan semua perlengkapan eksperimentasinya, serta
mengakui bahwa ternyata mereka tidak bisa melanjutkan penyelidikan lagi kecuali
mereka mampu mentransendenkan diri dengan melakukan lompatan ajaib ke dalam
subyektivitas absolut.[10]
Subyektivitas absolut merupakan keadaan diri yang bergerak. Dengan kata lain
Diri yang bersifat dinamis. Subyektivitas itu terus bergerak menuju kemandegan
dan keheningan. Sifat subyektivitas absolut yang demikian membuat orang sulit
menemukan diri dari sisi obyektivitas.
Para
ilmuwan cenderung bersikap obyektif dan menghindari sikap subyektif karena
mereka berpegang teguh pada kebenaran yang sejati selalu dibuktikan atau divalidasi
secara obyektif. Sikap subyektif tidaklah cukup untuk memahami secara utuh
tentang suatu hal. Dalam hal ini para ilmuwan berusaha menghindari sisi
subyektivitas. Dengan melakukan hal itu, para ilmuwan ‘lupa’ suatu fakta bahwa
seseorang itu menjalani kehidupan yang bersifat personal dan bukan kehidupan
yang didefinisikan secara konseptual atau ilmiah. Menurut Suzuki, seseorang sungguh telah mengenal dirinya
sendiri tiada lagi pernah kecanduan pada teoritisasi, tak menulis buku, tak
gemar memberi pemahaman kepada orang lain, ia selalu menjalani kehidupan
uniknya, kehidupan kreatif yang bersifat bebas.Dari pernyataan ini hendak
ditekankan bahwa Sang Diri mengenal dirinya sendiri dari-dalam (batin) dan
tidak pernah dari-luar.
Segala
sesuatu yang ada di-luar memberitahu individu bahwa ia bukan apa-apa, sementara
segala yang ada di-dalam meyakinkan bahwa ia adalah segalanya. Ungkapan ini
memiliki makna yang begitu mendalam. Dengan melihat ke-dalam orang akan
menemukan ada sesuatu yang berusaha meyakinkan diri sendiri. Situasi seperti
ini dapat dialami melalui Zen. Seseorang dapat mengarahkan diri secara sungguh
dengan menilik dirinya sendiri melalui keheningan. Suasana hening itu akan
menghantar orang menemukan kekuatan-kekuatan yang ada padanya. Kekuatan itu akan
menjadi daya dorong untuk terus bergerak walaupun dalam kenyataannya orang itu
sendirian. Pengalaman seperti ini merupakan hasil dari kreatifitas dan
orisinalitas individu ketika ia mentransendensikan diri dari lingkup
pengintelekan dan abstraksi.[11]
Dalam
membahas Zen dan sains memang terdapat titik pemahaman yang berbeda. Akan
tetapi, perbedaan itu tidak berarti bahwa Zen menentang pendekatan yang
dilakukan ilmu pengetahuan atau sains. Zen hanya ingin menunjukkan bahwa ada
pendekatan lain yang dipandang sebagai pendekatan langsung dalam memahami diri.
Pendekatan itu dapat dikatakan lebih bersifat ‘subyektif’, tetapi pengertian
subyektif di sini tidak merujuk pada pemahaman dalam pendekatan sains. Sifat
subyektif itu ingin menekankan bahwa diri sendirilah yang dapat menemukan
pemahaman utuh mengenai ‘diri’.
Sisi
individualitas itu penting dalam memahami Diri, tetapi sifatnya lebih pada
politis dan etis serta berkaitan dengan ide tanggungjawab. Sisi tersebut dapat
dikatakan sebagai penegas diri. Individu akan memiliki kesadaran tentang orang
lain berkat sisi itu. Akan tetapi, sisi individualitas itu jangan sampai jatuh
pada penekakan invidualisme. Jika terjadi demikian, akan muncul sikap
ketegangan dalam kehidupan bersama. Dengan demikian kebebasan sejati tidak akan
ditemukan. Selain itu, sisi individualitas inilah yang membedakan setiap orang.
Jika sisi ini dihidupi secara kuat, akan ada hal-hal negatif yang muncul dalam
kehidupan. Orang akan cenderung menampilkan diri yang tidak berbanding lurus
dengan keadaan diri yang sebenarnya (munafik). Bentuk kehidupan seperti ini
dapat menyebabkan orang kehilangan orisinalitas dirinya.
Ketika
salah satu aspek Diri menjadi terlalu menonjol dan terlalu mengusai, Diri
sejati akan terdesak dan terekduksi menjadi suatu non-entitas. Hal ini kemudian
membuat Diri mengalami ‘penindasan’. Dalam keadaan ini orang tidak akan dapat
menyatakan diri secara alamiah sebagaimana keadaan diri sendiri. Akan tetapi,
tidak berarti bahwa Diri sejati ini hilang. Diri itu akan berkembang dan
berekspresi dengan cara yang berbeda. Ia akan mendobrak segala sesuatu yang
menjadi penghalang. Segala sesuatu dapat dilakukan sebagai bentuk
pengekspresian itu, baik secara halus maupun secara kasar.[12]
Suzuki
melihat bahwa pemahaman atas diri yang diperoleh melalui diri sendiri akan
lebih berguna bagi kehidupan. Dari pemahaman itu orang dapat melakukan
tindakan-tindakan moral sesuai dengan kesadarannya masing-masing.
Morality is always
conscious of itself; it speaks of decisions and individual responsibilities. .
. . Morality can never be innocent, spontaneous, self forgetful, and divinely
or devilishly above all worldly concerns. The saint ly man is, therefore, to be
distinguished from the moral man. The saintly man may not be strictly all-moral
or scrupulously correct. But the moral man can never be saintly so long as he
remains on the plane of morality which is the plane of relativity.[13]
Jadi, pemahaman diri itu perlu diperoleh melalui usaha
diri sendiri. Pemahaman yang baik tentang diri akan mengarahkan perilaku dan
tindakan dalam kehidupan sehari-hari. Orang akan dikatakan memahami dirinya
apabila mampu mempraktekkan tindakan-tindakan yang memuat nilai moral. Oleh
karena itulah orang perlu menyadari dirinya sendiri.
D. Tanggapan
Kritis dan Relevansi
Dalam
kehidupan ini orang selalu berusaha mencari dan menemukan arti keberadaan
dirinya di tengah dunia ini. Pencarian terhadap diri dilakukan dalam berbagai
cara. Pada umumnya orang akan selalu menggunakan berbagai teori kepribadian
untuk memahami dirinya. Teori yang paling sering dipakai ialah psikoanalisa
seperti yang dikemukan oleh Freud. Dari teori yang dikemukan dapat dilihat
bahwa unsur utama yang tampak ialah rasio. Melalui rasio itu dipaparkan teori
sistematis dalam memahami diri. Orang akan menggunakan teori itu dalam memahami
diri. Melihat fenomena ini, Suzuki mengangkat salah satu ajaran Buddhisme Zen
untuk menunjukkan bahwa usaha memahami diri melalui teori bukanlah satu-satunya
jalan. Orang dapat memahami diri melalui diri sendiri. Penggunaan cara ini
dipandang paling berdaya guna daripada teori.
Ketika
orang menggunakan teori dalam memahami diri berarti orang tersebut memakai hal
di luar dirinya untuk memahami diri. Secara umum, mungkin hal itu dapat
membantu, tetapi tidak akan menghasilkan pemahaman yang utuh karena diri
sendirilah yang mengetahui dengan pasti tentang kepribadian. Dengan menggunakan
teori secara tidak langsung orang memakai pengalaman orang lain untuk memahami
pengalaman diri sendiri. Hal inilah yang menjadi penyebab ketidakutuhan itu.
Zen memberi pencerahan bahwa usaha pemahaman itu sebaiknya dilakukan oleh diri
sendiri. Orang berangkat dari dalam diri untuk memperoleh pencerahan atau
pemahaman diri secara utuh.
Sekilas
dalam Buddhisme Zen juga memakai pengalaman orang lain. Hal itu tampak dalam
ajaran para pemikir Buddhisme Zen. Namun, hal itu tidak berarti bahwa apa yang
dikemukakan dalam ajaran Buddhisme Zen itu juga tidak akan utuh. Para pemikir
Buddhisme Zen berusaha menjelaskan usaha memahami diri dengan tidak menjadikan
diri sebagai objek. Berbeda dengan tokoh-tokoh dalam psikoanalisa yang menjadikan
diri sebagai objek dalam menerapkan teori yang sistematis.
Dalam
pemikiran Kristen ada kesedaran bahwa aku harus melepaskan ‘kehendak’ku
(hasrat, baik yang berasal dari luar maupun dari dalam diri) untuk kemudian
menjadi terbuka, responsif dan peka kehendak Allah. Buddhisme Zen melihat hal
ini sebagai usaha ‘menjadikan diri kosong’ yang berarti keterbukaan untuk
menerima. Dari kedua pemahaman ini dapat dikatakan bahwa ada suatu keputusan
sendiri untuk terbuka dalam memahami diri sendiri. Jika pemahaman Kristen mengartikan
keterbukaan itu diarahkan kepada kehendak Allah, Buddhisme Zen lebih melihatnya sebagai makna sejati dari
pelepasan kehendak (usaha sendiri, tanpa konsep ‘Allah’).[14]
Pengalaman
menemukan diri dalam Buddhisme Zen memberi pencerahan bahwa tidak semua hal
dari diri manusia dapat dipahami secara utuh melalui teori. Teori itu dapat
saja memberikan gambaran mengenai diri, tetapi tidak akan bersifat utuh karena
pemahaman tentang diri hanya dapat dipahami oleh diri sendiri. Dengan demikian
orang perlu menyadari bahwa ada saat di mana orang harus masuk ke dalam diri
sendiri untuk mengetahui secara dalam mengenai diri sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Crowe,
C. Lawson,
1965 “On the
‘Irrationality’ of Zen”, Philosophy East
and West 15.
Eliade, Mircea,
1987 The
Encyclopedia of Relgion, XIII, Macmillian Publishing Company, New York.
Kitagawa,
Joseph M.,
1967 “Daisetz
Teitarō Suzuki”, History of Religions 6.
Sutrisno, Mudji,
2002 ZEN
BUDDHIS: Ketimuran dan Paradoks Spiritualitas, Obor, Jakarta.
Suzuki, D. T.,
1935 Manual
Zen, Buddha Dharma Education Association Inc., Tokyo.
1952
“Ethics and Zen Buddhism”, dalam Moral Principles of Action, Harper, New
York and London.
1956 “Zen: A Reply to
Van Meter Ames”, Philosophy East
and West 5.
1957 Mysticism:
Christian and Buddhist, Routledge, London and New York.
1964 An
Introduction to Zen Buddhism, Grove Press, New York.
2004 ZEN
DAN PSIKOANALISIS, diterjemahkan dari Zen
Buddhism and Psychoanalysis, oleh Herlambang, Suwung, Yogyakarta.
[1] Joseph M.
Kitagawa, “Daisetz Teitarō Suzuki”, History of Religions 6 (1967) 265-269.
[2] Bdk. Mircea Eliade, The Encyclopedia of Relgion, XIII,
Macmillian Publishing Company, New York 1987, 184-186.
[3] Bdk. Dr. Mudji Sutrisno, ZEN BUDDHIS: Ketimuran dan Paradoks
Spiritualitas, Obor, Jakarta 2002, 48-54.
[4] C. Lawson
Crowe, “On the ‘Irrationality’ of Zen”, Philosophy
East and West 15 (1965) 32.
[5] D. T. Suzuki, ZEN DAN PSIKOANALISIS, diterjemahkan
dari Zen Buddhism and Psychoanalysis,
oleh Herlambang, Suwung, Yogyakarta 2004, 49.
[6] D. T. Suzuki, An
Introduction to Zen Buddhism, Grove Press, New York 1964, 38.
[7] Bdk. Dr. Mudji Sutrisno, ZEN BUDDHIS: Ketimuran dan Paradoks
Spiritualitas, 55.
[8] Dr. Mudji Sutrisno, ZEN BUDDHIS: Ketimuran dan Paradoks
Spiritualitas, 66.
[9] Dr. Mudji Sutrisno, ZEN BUDDHIS: Ketimuran dan Paradoks
Spiritualitas, 212.
[10] D. T. Suzuki, ZEN DAN PSIKOANALISIS, 50.
[11] Bdk. D.
T. Suzuki, “Zen: A Reply to Van Meter Ames”, Philosophy East and West 5 (1956) 350-351.
[12] Bdk. D. T. Suzuki, Manual Zen, Buddha Dharma Education
Association Inc., Tokyo 1935, 100-105.
[13] D. T. Suzuki, “Ethics and
Zen Buddhism”, dalam Moral Principles of
Action, Harper, New York and London 1952, 606-607.
[14] Bdk.
D.T. Suzuki, Mysticism: Christian and
Buddhist, Routledge, London and New York 1957, 124-137.
Komentar
Posting Komentar