Daisetsu Teitaro Suzuki


DAISETSU TEITARO SUZUKI

A. Konteks Politik, Sosial dan Religius
Daisetsu Teitaro Suzuki adalah salah seorang pemikir dan penulis Buddhisme Zen yang terkenal. Ia lahir pada 18 Oktober 1870 di Honda-machi, Jepang. Ia terlahir sebagai golongan Samurai yang mengalami kemunduran bersamaan dengan jatuhnya pemerintahan feodal. Kejatuhan pemerintahan feodal  itu ditandai dengan kegelisahan atau keresahan akibat tekanan budaya modern (budaya Barat) yang menghilangkan budaya lama. Ketika berusia lima tahun, ayah Suzuki meninggal dunia. Setelah ayahnya meninggal, ia dibesarkan oleh ibunya dalam keadaan miskin. Ibunya sendiri adalah seorang penganut agama Buddhis. Pada tahun 1889, ibunya meninggal dunia. Sejak saat itu, ia melanjutkan pendidikannya sendiri. Menjelang usia dewasa, Suzuki mulai membayangkan pada saat reinkarnasi nasibnya akan kembali seperti saat saat ini. Oleh karena itu, ia mulai mencari jawaban atas bayangannya itu pada berbagai ragam kepercayaan.[1]

B. Biografi Intelektual[2]
Pada usia muda Suzuki sudah mulai menekuni pelajaran dalam bahasa Cina, Sansekerta, Pali dan beberapa bahasa Eropa. Pengetahuan akan berbagai bahasa tersebut membantunya dalam memahami ajaran-ajaran pada berbagai ragam kepercayaan. Pengetahuan akan banyak bahasa itu membantunya dalam menerjemahkan berbagai ajaran Buddhisme ke dalam bahasa Jepang.
Pendidikan D.T. Suzuki ditempuh di Universitas Tokyo. Dalam proses belajar ini ia mulai berlatih Zen. Dalam proses latihan itu, ia mendapatkan pelajaran mengenai hal batin termasuk meditasi dalam waktu yang lama. Selama menjalani pendidikan, Suzuki menjalani kehidupan seperti seorang biksu. Pola kehidupan ini turut mempengaruhi pemikirannya. Selain itu, ia juga dekat dengan Shoyen Shaku (salah seorang guru besar Buddhisme Zen). Kedekatan ini membuat Shoyen Shaku memberi kepercayaan kepada Suzuki untuk membantu seorang ilmiawan Jerman dalam menerjemahkan literatur spiritual dunia Timur yang akan dipublikasikan di dunia Barat. Selama proses tersebut, Suzuki tinggal di LaSalle, Illonis sampai pada tahun 1908.
Suzuki juga melakukan perjalanan ke beberapa negara Eropa. Dalam perjalanan ini ia banyak belajar tentang hidup spiritual yang berkembang di Eropa. Pada tahun 1911, ia menikahi Beatrice Erskine Lane, seorang teosofi asal Amerika yang memiliki banyak kontak dengan kepercayaan Baha’i, baik di Amerika maupun di Jepang. Pada tahun 1921, Suzuki menjadi guru besar di Universitas Otani. Selama menjadi guru besar, ia mengelilingi universitas-universitas di Amerika. Bahkan, ia mendapat kesempatan mengajar di Universitas Columbia pada tahun 1952-1957. Akhirnya Suzuki meninggal dunia pada tanggal 12 Juli 1966 di Tokyo.


      

C. Pemikiran: Konsep Diri dalam Buddhisme Zen
Buddhisme Zen merupakan salah satu aliran dari Buddhisme Mahayana. Zen berkembang dari pemahaman Mahayana mengenai keselamatan yang diperoleh melalui upaya sendiri (jariki). Kata Zen sendiri secara harafiah dapat diartikan sebagai meditasi. Penekanan pokok pada meditasi dalam Buddhisme ini bisa jadi merupakan salah satu alasan penamaan Buddhisme Zen. Meditasi ini terkenal dalam bentuk lotus, yaitu meditasi dengan posisi duduk bersila. Cikal bakal Zen dimulai oleh Boddhidharma (520) di Cina. Perkembangan Zen mulai dinampakkan oleh Huineng (638-895). Huineng  dapat dikatakan sebagai penemu Zen Cina. Dalam perjalanan waktu Zen itu berinteraksi dengan pemikiran Cina:  Taoisme (menciptakan keselarasan individu dengan cara mengiyakan aturan hidup dalam alam) dan Confucianisme (menyediakan sikap praktis dan etis). Perjumpaan antara Mahayana dan Confucianisme ini kemudian melahirkan segi etis dan praktis pada Zen.
Perkembangan Zen yang begitu menarik membuat banyak tokoh dari luar yang datang ke Cina untuk belajar mengenai Zen. Di antara tokoh-tokoh itu, terdapat beberapa orang Jepang. Ketika orang-orang itu kembali ke Jepang, mereka mulai menghidupi Zen. Di Jepang, Zen mengalami perkembangan atau perubahan yang menjadi ciri khasnya. Perkembangan itu terjadi akibat adanya perbedaan tafsir mengenai pokok ajaran penerangan. Ada dua aliran yang muncul dari perkembangan itu, yaitu Soto dan Rinzai. Soto mengembangkan ajaran penerangan yang hening, sedangkan Rinzai mengembangkan usaha mencapai penerangan secara aktif. Jika dalam Soto penerangan itu dicapai dengan satu cara yaitu meditasi dengan posisi duduk bersila (Za-zen), dalam Rinzai dikembangkan dengan dua cara yaitu Koan (metode pemecahan masalah melalui meditasi) dan Mondo (dialog untuk mengetahui pengalaman penerangan). Sampai saat ini, baik Soto maupun Rinzai, masih berkembang di Jepang.[3]
Dalam Buddhisme Zen sendiri, ada empat pokok ajaran. Keempat pokok ajaran itu ialah Satori (penerangan), Zendo (tata tertib), Zazen (meditasi bersila) dan Konsep Diri. Dari keempat ajaran tersebut Suzuki mencoba berbicara mengenai Konsep Diri dalam Buddhisme Zen. Dari penjelasan Suzuki tampak bahwa ia mencoba memberikan penjelasan bahwa selain sains, ada jalan lain untuk mengenal diri sendiri. Jalan alternatif itu ialah konsep diri yang dimuat dalam ajaran Zen.
Pendekatan yang dilakukan dalam Zen itu bersifat anti-ilmiah. Zen bergerak berlawanan dengan arah atau metode yang digunakan dalam sains. Akan tetapi, hal ini tidak selalu berarti bahwa Zen bertentangan dengan sains. Dari pandangan ini, satu hal yang ingin ditekankan ialah bahwa ketika orang hendak memahami Zen orang harus mengambil posisi yang dianggap ‘tidak ilmiah’. Dengan mengambil posisi tersebut usaha untuk memahami Zen secara mendalam dapat dilakukan secara perlahan-lahan. "Zen is the most irrational, inconceivable thing in the world. Zen is one thing and logic is another.... Zen deals with facts and not with generalization”[4]
Secara umum dapat dipahami bahwa sains itu bersifat sentrifugal, ekstrovert, dan memandang secara objektif kajiannya. Sains berusaha menjaga jarak dan tidak pernah berusaha agar menyatu dengan objek kajian tersebut. Bahkan, ketika para ilmuwan melakukan penelitian dengan melihat ke-dalam (batin) untuk pemeriksaan diri, mereka tetap bersikap menjadikan diri ‘diri’ asing bagi diri mereka sendiri seolah-olah apa yang ada di-dalam (batin) bukanlah bagian dari mereka.[5] Teknik ini membuat, orang cenderung mengarah pada teori yang tidak mencakup keseluruhan dari ‘diri’ itu sendiri. Dengan kata lain, pengalaman batin tidak dimasukkan sebagai acuan dalam memahami diri.

Zen is decidedly not a system founded upon logic and analysis. If anything, it is the antipode to logic, by which I mean the dualistic mode of thinking. There may be an intellectual element in Zen, for Zen is the whole mind, and in it we find a great many things; but the mind is not a composite thing that is to be divided into so many faculties, leaving nothing behind when the dissection is over. Zen has nothing to teach us in the way of intellectual analysis ; nor has it any set doctrines which are imposed on its followers for acceptance.[6]

Selama ini ilmu pengetahuan berusaha menerangkan apa arti diri menggunakan sistem filsafat atau sistem berpikir lainnya. Menurut ajaran Zen, hal ini merupakan suatu kesia-siaan karena tujuan dari pendekatan itu ialah untuk menyelidiki, menerangkan dan bicara mengenai ‘diri’, tetapi tidak mengenai ‘diri’ itu sendiri. Dalam hal ini, ilmu pengetahuan menjadikan ‘diri’ sebagai objek kajian. Para ilmuwan tidak akan sampai pada pemahaman utuh mengenai ‘diri’ bila ‘diri’ dijadikan objek. Suzuki mengatakan bahwa ketika orang menempatkan ‘diri’ itu di luar, maka orang itu menjadi orang luar bagi dirinya sendiri.
Melalui Zen, orang dituntun untuk bertemu ‘diri’ itu sendiri tanpa menjadikan ‘diri’ sebagai objek. Pertemuan atau pemahaman tentang diri itu, hanya dapat dilakukan dengan bila orang meninggalkan keinginan untuk berpikir dan membangun penghayatan yang berpadu dengan ‘diri’ itu sendiri atau wahana Sang Diri (Sunyata).[7] Sang Diri (Sunyata) merupakan kekosongan namum berisi penuh seperti bulatan yang memiliki banyak pusat. Sang diri itu sendiri merupakan pusat dari alam semesta. Sang Diri merupakan asal semua dan tempat semua bernaung termasuk manusia. Sang Diri dalam diri setiap makhluk itu identik. Hal ini seolah-olah merupakan suatu kemustahilan, akan tetapi itulah kenyataan. Zen mencoba menjelaskan bahwa hal itu nyata, sehingga untuk menyadari ‘diri’ harus berangkat atau bertitik tolak dari Diri itu. Sang Diri itulah yang mengetahui atau menyadari dirinya sendiri. Dengan demikian pemahaman tentang diri itu dimulai dari dalam diri bukan dari luar diri.
Diri adalah sesuatu yang tidak akan mungkin disentuh (fuleatoku: Jepang), tidak mungkin dicapai (anupalabdha: Sansekerta), tidak mungkin diobjekkan (pu-ko-te: Cina). Diri itu memiliki sinonim dengan person yang memiliki arti moral, sinonim dengan individu yang mau dikontraskan dengan kelompok, sinonim dengan the self (Sang Diri) yang memiliki arti moral, psikologis maupun religius. Pemahaman tentang pengalaman ‘diri’ dilihat dari perbedaan  dengan pengalaman lain. Dalam pengalaman ‘diri’ itu selalu dibarengi dengan perasaan otonomi, bebas, hidup, serta penguasaan diri.[8]
Menurut Suzuki, ide dasar dari Zen  berhubungan dengan proses kerja batin dari keberadaan seseorang yang dilakukan  secara langsung tanpa apapun yang bersifat eksternal atau dari luar. Orang masuk ke dalam diri sendiri untuk menemukan insight mengenai hakekat diri sendiri. Pengenalan hakikat diri sendiri ini bukan suatu bentuk pengenalan intelektual, melainkan suatu ‘wawacara’ eksperensial. Zen pada dasarnya adalah seni melihat hakikat keberadaan diri seseorang, dan menunjukkan jalan dari perbudakan ke kebebasan...Bisa kita katakan bahwa membebaskan semua energi yang tersimpan secara alamiah dan semestinya dalam diri kita masing-masing, yang dalam keadaan bisa terkekang dan teralihkan sehingga tidak menemukan saluran yang memadai untuk beraktifitas.[9] Orang melakukan penyelidikan diri dari dalam memakai energi alamiah untuk memperoleh pengetahuan tentang diri. Inilah yang menjadi perbedaan sains dan Zen. Perbedaan ini antara kedua bentuk tersebut merupakan pusat nilai Zen, akan tetapi hal tersebut juga menjadi suatu kesulitan bagi orang Barat untuk memahami Zen. 
Pengetahuan ilmiah tentang Diri bukanlah pengetahuan sejati selama ia meng-obyektifikasi Diri. Pengetahuan ilmiah perlu membalik arah dalam memahami Diri. Diri harus dipahami dari dalam, bukan dari luar. Dengan kata lain, proses pengenalan Diri itu dilakukan tanpa harus keluar dari diri sendiri. Suzuki mengatakan bahwa pengetahuan diri dimungkinkan hanya bila terjadi identifikasi subyek dan obyek; maksudnya, ketika semua penelitian ilmiah berhenti, dan meletakkan semua perlengkapan eksperimentasinya, serta mengakui bahwa ternyata mereka tidak bisa melanjutkan penyelidikan lagi kecuali mereka mampu mentransendenkan diri dengan melakukan lompatan ajaib ke dalam subyektivitas absolut.[10] Subyektivitas absolut merupakan keadaan diri yang bergerak. Dengan kata lain Diri yang bersifat dinamis. Subyektivitas itu terus bergerak menuju kemandegan dan keheningan. Sifat subyektivitas absolut yang demikian membuat orang sulit menemukan diri dari sisi obyektivitas.
Para ilmuwan cenderung bersikap obyektif dan menghindari sikap subyektif karena mereka berpegang teguh pada kebenaran yang sejati selalu dibuktikan atau divalidasi secara obyektif. Sikap subyektif tidaklah cukup untuk memahami secara utuh tentang suatu hal. Dalam hal ini para ilmuwan berusaha menghindari sisi subyektivitas. Dengan melakukan hal itu, para ilmuwan ‘lupa’ suatu fakta bahwa seseorang itu menjalani kehidupan yang bersifat personal dan bukan kehidupan yang didefinisikan secara konseptual atau ilmiah. Menurut Suzuki, seseorang sungguh telah mengenal dirinya sendiri tiada lagi pernah kecanduan pada teoritisasi, tak menulis buku, tak gemar memberi pemahaman kepada orang lain, ia selalu menjalani kehidupan uniknya, kehidupan kreatif yang bersifat bebas.Dari pernyataan ini hendak ditekankan bahwa Sang Diri mengenal dirinya sendiri dari-dalam (batin) dan tidak pernah dari-luar.
Segala sesuatu yang ada di-luar memberitahu individu bahwa ia bukan apa-apa, sementara segala yang ada di-dalam meyakinkan bahwa ia adalah segalanya. Ungkapan ini memiliki makna yang begitu mendalam. Dengan melihat ke-dalam orang akan menemukan ada sesuatu yang berusaha meyakinkan diri sendiri. Situasi seperti ini dapat dialami melalui Zen. Seseorang dapat mengarahkan diri secara sungguh dengan menilik dirinya sendiri melalui keheningan. Suasana hening itu akan menghantar orang menemukan kekuatan-kekuatan yang ada padanya. Kekuatan itu akan menjadi daya dorong untuk terus bergerak walaupun dalam kenyataannya orang itu sendirian. Pengalaman seperti ini merupakan hasil dari kreatifitas dan orisinalitas individu ketika ia mentransendensikan diri dari lingkup pengintelekan dan abstraksi.[11]
Dalam membahas Zen dan sains memang terdapat titik pemahaman yang berbeda. Akan tetapi, perbedaan itu tidak berarti bahwa Zen menentang pendekatan yang dilakukan ilmu pengetahuan atau sains. Zen hanya ingin menunjukkan bahwa ada pendekatan lain yang dipandang sebagai pendekatan langsung dalam memahami diri. Pendekatan itu dapat dikatakan lebih bersifat ‘subyektif’, tetapi pengertian subyektif di sini tidak merujuk pada pemahaman dalam pendekatan sains. Sifat subyektif itu ingin menekankan bahwa diri sendirilah yang dapat menemukan pemahaman utuh mengenai ‘diri’.
Sisi individualitas itu penting dalam memahami Diri, tetapi sifatnya lebih pada politis dan etis serta berkaitan dengan ide tanggungjawab. Sisi tersebut dapat dikatakan sebagai penegas diri. Individu akan memiliki kesadaran tentang orang lain berkat sisi itu. Akan tetapi, sisi individualitas itu jangan sampai jatuh pada penekakan invidualisme. Jika terjadi demikian, akan muncul sikap ketegangan dalam kehidupan bersama. Dengan demikian kebebasan sejati tidak akan ditemukan. Selain itu, sisi individualitas inilah yang membedakan setiap orang. Jika sisi ini dihidupi secara kuat, akan ada hal-hal negatif yang muncul dalam kehidupan. Orang akan cenderung menampilkan diri yang tidak berbanding lurus dengan keadaan diri yang sebenarnya (munafik). Bentuk kehidupan seperti ini dapat menyebabkan orang kehilangan orisinalitas dirinya.
Ketika salah satu aspek Diri menjadi terlalu menonjol dan terlalu mengusai, Diri sejati akan terdesak dan terekduksi menjadi suatu non-entitas. Hal ini kemudian membuat Diri mengalami ‘penindasan’. Dalam keadaan ini orang tidak akan dapat menyatakan diri secara alamiah sebagaimana keadaan diri sendiri. Akan tetapi, tidak berarti bahwa Diri sejati ini hilang. Diri itu akan berkembang dan berekspresi dengan cara yang berbeda. Ia akan mendobrak segala sesuatu yang menjadi penghalang. Segala sesuatu dapat dilakukan sebagai bentuk pengekspresian itu, baik secara halus maupun secara kasar.[12]
Suzuki melihat bahwa pemahaman atas diri yang diperoleh melalui diri sendiri akan lebih berguna bagi kehidupan. Dari pemahaman itu orang dapat melakukan tindakan-tindakan moral sesuai dengan kesadarannya masing-masing.

Morality is always conscious of itself; it speaks of decisions and individual responsibilities. . . . Morality can never be innocent, spontaneous, self forgetful, and divinely or devilishly above all worldly concerns. The saint ly man is, therefore, to be distinguished from the moral man. The saintly man may not be strictly all-moral or scrupulously correct. But the moral man can never be saintly so long as he remains on the plane of morality which is the plane of relativity.[13]

Jadi, pemahaman diri itu perlu diperoleh melalui usaha diri sendiri. Pemahaman yang baik tentang diri akan mengarahkan perilaku dan tindakan dalam kehidupan sehari-hari. Orang akan dikatakan memahami dirinya apabila mampu mempraktekkan tindakan-tindakan yang memuat nilai moral. Oleh karena itulah orang perlu menyadari dirinya sendiri.






D. Tanggapan Kritis dan Relevansi
Dalam kehidupan ini orang selalu berusaha mencari dan menemukan arti keberadaan dirinya di tengah dunia ini. Pencarian terhadap diri dilakukan dalam berbagai cara. Pada umumnya orang akan selalu menggunakan berbagai teori kepribadian untuk memahami dirinya. Teori yang paling sering dipakai ialah psikoanalisa seperti yang dikemukan oleh Freud. Dari teori yang dikemukan dapat dilihat bahwa unsur utama yang tampak ialah rasio. Melalui rasio itu dipaparkan teori sistematis dalam memahami diri. Orang akan menggunakan teori itu dalam memahami diri. Melihat fenomena ini, Suzuki mengangkat salah satu ajaran Buddhisme Zen untuk menunjukkan bahwa usaha memahami diri melalui teori bukanlah satu-satunya jalan. Orang dapat memahami diri melalui diri sendiri. Penggunaan cara ini dipandang paling berdaya guna daripada teori.
Ketika orang menggunakan teori dalam memahami diri berarti orang tersebut memakai hal di luar dirinya untuk memahami diri. Secara umum, mungkin hal itu dapat membantu, tetapi tidak akan menghasilkan pemahaman yang utuh karena diri sendirilah yang mengetahui dengan pasti tentang kepribadian. Dengan menggunakan teori secara tidak langsung orang memakai pengalaman orang lain untuk memahami pengalaman diri sendiri. Hal inilah yang menjadi penyebab ketidakutuhan itu. Zen memberi pencerahan bahwa usaha pemahaman itu sebaiknya dilakukan oleh diri sendiri. Orang berangkat dari dalam diri untuk memperoleh pencerahan atau pemahaman diri secara utuh.
Sekilas dalam Buddhisme Zen juga memakai pengalaman orang lain. Hal itu tampak dalam ajaran para pemikir Buddhisme Zen. Namun, hal itu tidak berarti bahwa apa yang dikemukakan dalam ajaran Buddhisme Zen itu juga tidak akan utuh. Para pemikir Buddhisme Zen berusaha menjelaskan usaha memahami diri dengan tidak menjadikan diri sebagai objek. Berbeda dengan tokoh-tokoh dalam psikoanalisa yang menjadikan diri sebagai objek dalam menerapkan teori yang sistematis.
Dalam pemikiran Kristen ada kesedaran bahwa aku harus melepaskan ‘kehendak’ku (hasrat, baik yang berasal dari luar maupun dari dalam diri) untuk kemudian menjadi terbuka, responsif dan peka kehendak Allah. Buddhisme Zen melihat hal ini sebagai usaha ‘menjadikan diri kosong’ yang berarti keterbukaan untuk menerima. Dari kedua pemahaman ini dapat dikatakan bahwa ada suatu keputusan sendiri untuk terbuka dalam memahami diri sendiri. Jika pemahaman Kristen mengartikan keterbukaan itu diarahkan kepada kehendak Allah, Buddhisme Zen  lebih melihatnya sebagai makna sejati dari pelepasan kehendak (usaha sendiri, tanpa konsep ‘Allah’).[14]
Pengalaman menemukan diri dalam Buddhisme Zen memberi pencerahan bahwa tidak semua hal dari diri manusia dapat dipahami secara utuh melalui teori. Teori itu dapat saja memberikan gambaran mengenai diri, tetapi tidak akan bersifat utuh karena pemahaman tentang diri hanya dapat dipahami oleh diri sendiri. Dengan demikian orang perlu menyadari bahwa ada saat di mana orang harus masuk ke dalam diri sendiri untuk mengetahui secara dalam mengenai diri sendiri.






DAFTAR PUSTAKA

Crowe, C. Lawson,

1965    “On the ‘Irrationality’ of Zen”, Philosophy East and West 15.

Eliade, Mircea,

1987      The Encyclopedia of Relgion, XIII, Macmillian Publishing Company, New York.

Kitagawa, Joseph M.,

1967    “Daisetz Teitarō Suzuki”,  History of Religions 6.


Sutrisno, Mudji,

2002    ZEN BUDDHIS: Ketimuran dan Paradoks Spiritualitas, Obor, Jakarta.


Suzuki, D. T.,

1935    Manual Zen, Buddha Dharma Education Association Inc., Tokyo.

1952      “Ethics and Zen Buddhism”, dalam Moral Principles of Action, Harper, New York and London.

1956    “Zen: A Reply to Van Meter Ames”, Philosophy East and West 5.

1957    Mysticism: Christian and Buddhist, Routledge, London and New York.

1964    An Introduction to Zen Buddhism, Grove Press, New York.

2004      ZEN DAN PSIKOANALISIS, diterjemahkan dari Zen Buddhism and Psychoanalysis, oleh Herlambang, Suwung, Yogyakarta.





[1] Joseph M. Kitagawa, “Daisetz Teitarō Suzuki”,  History of Religions 6 (1967) 265-269.
[2] Bdk. Mircea Eliade, The Encyclopedia of Relgion, XIII, Macmillian Publishing Company, New York 1987, 184-186.
[3] Bdk. Dr. Mudji Sutrisno, ZEN BUDDHIS: Ketimuran dan Paradoks Spiritualitas, Obor, Jakarta 2002, 48-54.
[4] C. Lawson Crowe, “On the ‘Irrationality’ of Zen”, Philosophy East and West 15 (1965) 32.
[5] D. T. Suzuki, ZEN DAN PSIKOANALISIS, diterjemahkan dari Zen Buddhism and Psychoanalysis, oleh Herlambang, Suwung, Yogyakarta 2004, 49.
[6] D. T. Suzuki,  An Introduction to Zen Buddhism, Grove Press, New York 1964, 38.
[7] Bdk. Dr. Mudji Sutrisno, ZEN BUDDHIS: Ketimuran dan Paradoks Spiritualitas, 55.
[8] Dr. Mudji Sutrisno, ZEN BUDDHIS: Ketimuran dan Paradoks Spiritualitas, 66.
[9] Dr. Mudji Sutrisno, ZEN BUDDHIS: Ketimuran dan Paradoks Spiritualitas, 212.
[10] D. T. Suzuki, ZEN DAN PSIKOANALISIS, 50.
[11] Bdk. D. T. Suzuki, “Zen: A Reply to Van Meter Ames”, Philosophy East and West 5 (1956) 350-351.
[12] Bdk. D. T. Suzuki, Manual Zen, Buddha Dharma Education Association Inc., Tokyo 1935, 100-105.
[13] D. T. Suzuki, “Ethics and Zen Buddhism”, dalam Moral Principles of Action, Harper, New York and London 1952, 606-607.
[14] Bdk. D.T. Suzuki, Mysticism: Christian and Buddhist, Routledge, London and New York 1957, 124-137.

Komentar

Postingan Populer