Analisis Lagu Mari Menghadap Tuhan
MARI
MENGHADAP TUHAN
1= G 2/2
MB.161
5 . 3 4 |5 . 5
. |6 7
1_ 6 |
6 .5 0 |
Wa-hai sauda- ra, si-apkanlah di-ri,
5 .
7 1_ |2_.2_. |1_7 6 7 |1_.
. 0 |
Ma-ri menghadap Tuhan Allahmu.
5 . 3 4 |5 . 5 . |6 7
1_ 6 |6 .
5 0
|
Ma-ri sauda-ra, sa-tukanlah ha-ti,
5 . 7 1_| 2_.2_. | 1_ 7 6 7 | 1_. .
0 |

3_. 2_ 3_|4_. 3_. |2_7 1_2 |3_. 3_0
|
Walau tak pantas ka - rena do-sa,
4_ 3_ 2_ 7 |1_. 7 .
| 6 1_ 7 6
|5 . . 0
|
Tuhan Maha-rahim kan meng-ampun-i.
5 5 7 1_ |2_
. 2_. |1_
7 1_2_|3_ . . 0
|
Marilah menghadap Tuhan Al-lahmu,
4_ . 3_2_ |3_.1_. |2_ 1_ 7 2_|1_. . 0
||
Hilangkan ra-sa bimbang dan ra-gu.
A.
Latar
belakang atau Konteks lagu
Lagu
Mari Menghadap Tuhan merupakan hasil Loko PML di Kaliurang 1979. Lagu ini
disusun dengan tujuan membina persatuan kesadaran umat dalam mengikuti perayaan
Ekaristi. Kata-kata yang terdapat dalam lagu ini dipilih secara seksama agar
umat terbantu masuk dalam persatuan sebagai anggota Gereja. Dengan adanya
persatuan yang dibangun diharapkan umat sekalin dapat lebih menghayati perayaan
yang dilakukan.
Inspirasi
dalam lagu ini berangkat dari pengalaman kehidupan sehari-hari. Kita dapat
melihat bahwa umat cenderung menyukai kebersamaan dalam bercengkrama
sehari-hari. Kegiatan kumpul bersama dan saling bercanda menjadi hal yang
menarik dalam berelasi dengan sesama. Dalam kebersamaan tersebut masing-masing
pribadi membagikan pengalamannya. Ketika seseorang membagikan pengalamannya,
orang tersebut akan berpuas diri. Jika ada masalah yang dibagikan dalam
percakapan itu, maka orang akan merasa bahwa beban hidup terasa lebih ringan.
Kata-kata yang dipakai lagu ini sangat sederhana untuk memudahkan umat memahami
makna kebersamaan tersebut. Namun, kebersamaan yang hendak ditampilkan ialah
bukan lagi kebersamaan yang terbatas pada hubungan manusia dengan sesama,
melainkan manusia sebagai Gereja dengan Tuhan dalam perayaan Ekaristi. Dalam
kebersamaan itu seluruh umat diajak untuk membina persatuan dengan Tuhan.
Pembinaan persatuan itu harus sungguh berangkat dari hati setiap orang. Artinya
setiap orang sungguh mempersiapkan dirinya dengan meninggalkan segala sesuatu yang menghambat persatuan itu seperti
rasa ragu atau bimbang dan ketidakpantasan karena dosa. Dengan kata lain harus
ada keyakinan dari umat dalam mengikuti perayaan yang dilakukan karena jika umat
dapat masuk dalam persatuan dengan Allah, maka segala penghambat tersebut akan
dipulihkan oleh Allah yang Maharahim. Jadi, lagu ini terinspirasi dari
pengalaman hidup sehari-hari, tetapi kata-kata yang dipakai sebagai syair
berasal dari pengalaman iman umat dalam Kitab Suci, sehingga ada kesesuaian
antara makna dalam hidup sehari-hari dan unsur biblis.
B.
Analisa
teologis, biblis dan liturgis
Dalam
menganalisa unsur teologis, biblis dan liturgis, saya mencoba menguraikannya
dengan mengambil beberapa kalimat dari lagu tersebut. Berikut ini kalimat-kalimat dari lagu tersebut:
1. Wahai saudara, siapkanlah
diri, mari menghadap Tuhan Allahmu.
Kegiatan menghadap Tuhan
merupakan kegiatan ibadat. Kegiatan ini telah dimulai sejak Gereja Perdana (bdk.
Kis. 2: 41-47). Dalam melakukan kegiatan ini, umat perdana selalu mepersiapkan
diri mereka, baik dari segi rohani dan jasmani. Persiapan yang mereka lakukan
begitu kompleks, mulai dari persiapan tempat dan bahan perjamuan. Mereka secara
sungguh mempersiapkan kegiatan ini dengan baik sebagai wujud keseriusan mereka
atas kegiatan yang hendak mereka lakukan.
Kegiatan menghadap Tuhan
dalam lagu tersebut menunjuk pada Perayaan Ekaristi yang hendak dilakukan.
Perayaan Ekaristi sendiri merupakan puncak dan sumber kehidupan Gereja ( SC. 10
). Sebagai puncak dan sumber kehidupan Gereja, Perayaan Ekaristi mendapat
tempat yang begitu istimewa. Kedudukan Perayaan Ekaristi lebih tinggi
dibandingkan dengan kegiatan lain[1].
Oleh karena itu, dibutuhkan persiapan yang sungguh mendalam, sehingga umat
sekalian dapat mengikuti kegiatan ini secara khidmat.
Berkumpulnya umat
merupakan unsur pokok dan penting dalam mempersiapkan Ekaristi. Namun,
persiapan ini tidak hanya sekedar lahiriah atau asal hadir. Kesadaranlah yang
perlu dipersiapkan[2].
Kesadaran akan suatu kegiatan akan membuat orang sungguh mempersiapkan kegiatan
yang akan dilakukan. Misalnya saja dalam pesta pernikahan, persiapannya
dilakukan sangat lama karena orang menyadari bahwa pesta itu bernilai bagi
keluarga yang menyelenggarakannya. Jika dibandingkan dengan Perayaan Ekaristi,
kegiatan ini memiliki kedudukan yang
labih rendah. Perbedaan ini hendaknya membuat
orang sadar akan kedudukan Perayaan Ekaristi. Persiapan dalam Perayaan
Ekaristi tidak serumit kegiatan pernikahan. Persiapan yang dimaksudkan pada
Perayaan Ekaristi ialah persiapan persiapan pribadi dengan menyiapkan batin,
sehingga Perayaan Ekaristi dapat diikuti
dengan sadar, aktif dan penuh makna ( bdk. SC. 11). Jadi, kutipan
kalimat lagu ini merupakan ajakan kepada umat untuk melakukan persiapan diri
dalam mengikuti Kegiatan Ekaristi.
2.
Mari
Saudara, satukanlah hati, hilangkan rasa bimbang dan ragu.
Dalam mengikuti Perayaan Ekaristi, unsur persatuan
Gereja merupakan hal yang harus dibangun sejak awal karena ada nilai kebersaman
yang hendak dibangun yaitu kebersamaan dengan Tuhan . Orang hanya dapat masuk
dalam persatuan itu dengan menyatukan hati dan meninggalkan kebimbangan dan
keraguan. Kata ‘satukanlah hati’ dalam kegiatan ibadat sudah tidak asing lagi. Kebiasaan tersebut
sudah dimulai sejak Gereja berdri. “Adapun
kumpulan orang yang percaya itu, mereka sehati dan sejiwa, dan tidak seorangpun
yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi
segala sesuatu adalah kepunyaan mereka” (Kis 4:32). Persatuan hati dan jiwa
akan menyadarkan umat bahwa betapa indahnya membangun kebersamaan dalam
perayaan yang dilakukan. Semua orang yang mengikuti perayaan akan senantiasa
merasakan persatuan baik itu dengan Gereja maupun dengan Allah.
Kegiatan Perayaan
Ekaristi yang dilakukan umat sekalian menunjukkan bahwa ada kesamaan iman di
dalamnya. Seluruh umat yang hadir mengimani bahwa Allah sungguh hadir dan
menyapa setiap orang yang mengikuti perayaan tersebut. Iman sendiri adalah
tanggapan yang bebas, bertanggung jawab dan utuh (DV 4). Sebagai tanggapan
bebas, bertanggung jawab dan utuh, setiap orang dituntut untuk jangan lagi
ragu. “Hendaklah ia memintanya dalam
iman, dan sama sekali jangan bimbang, sebab orang yang bimbang sama dengan
gelombang laut, yang diombang-ambingkan kian kemari oleh angin” (Yak 1:6).
Di sini kita dapat melihat bahwa kebimbangan itu dapat membuat orang berada
dalam situasi yang tidak menentu. Jika kebimbangan itu terus dibawa dalam
Perayaan Ekaristi, maka orang akan masuk dalam keadaan yang tidak menentu itu.
Dengan demikian Perayaan Ekaristi yang dilakukan tidak lagi dihayati dan
menyulitkan orang masuk dalam persatuan dengan Gereja dan Allah yang hadir.
3.
Walau
tak pantas karena dosa, Tuhan Maharahim kan mengampuni.
Pada rangkaian kalimat
ini, yang menarik ialah pemahaman mengenai Tuhan yang Maharahim yang kan
memberi pengampunan walaupun manusia penuh dengan dosa. Allah yang Maharahim
sangat familiar penggunaannya dalam tradisi Gereja. Dalam perjanjian lama ada
tiga kata yang dipakai untuk mengungkapkan sikap Allah yang Maharahim itu. Hesed (Ibr = kebaikan) yang berarti
kasih setia yang dilandaskan pada ikatan perjanjian (Kej 20: 13) atau hubungan yang erat (1 Sam
20: 8.14-15). Rahimin (Ibr = rahim)
yang berarti belarasa dari dalam batin, seperti kasih seorang ibu kepada
anaknya (Yes 49: 15) . Hen (Ibr = rahmat) yang mengungkapkan
cara Allah memberikan rahmat secara cuma-cuma dan tidak bergantung pada jasa
orang yang menerimannya (Kel 33: 12-17). Manusia mengharapkan belas kasih dan
Allah berkenan memberikannya[3].
Pemahaman seperti hendak mengungkapkan bahwa kasih Allah itu tiada batas.
Betapapun besar dosa manusia Allah tetap memberi pengampunan. Kasih-Nya itu
berlimpah ( Lih. Mzm 69:14,17; 77:9; 136:1-25). Pemahaman tentang Allah
yang berlimpah kasih setia itu tampak menerobos dimensi ruang dan waktu. Hal
ini memberikan penerangan kepada manusia bahwa seluruh aspeknya selalu berada
di bawah tatapan kasih Bapa yang penuh kerahiman (bdk MV 8). Keberadaan manusia
dalam naungan kasih Allah, membuat manusia mendapatkan rahmat pengampunan yang
sungguh berlimpah dari Allah. Dengan
demikian, hubungan manusia kembali dipulihkan setelah memperoleh rahmat
pengampunan.
Dalam Perayaan Ekaristi, setiap
orang mendapat kesempatan untuk memperoleh rahmat pengampunan itu dalam ritus
tobat. Dalam ritus tobat ini umat menyatakan tobatnya dengan menyadari,
menyesali dan mengakui dosa-dosa di hadapan Allah dan sesama[4].
Maka dari itu, setiap orang sudah harus sudah menyadari sejak awal bahwa ia
akan memperoleh rahmat pengampunan tersebut. Lagu ini membantu menyadarkan umat
dengan kata-kata tersebut. Adanya kesadaran ini membuat orang semakin percaya
diri dalam mempersatukan diri dengan Tuhan karena dosa yang menjadi penghambat
relasi manusia dengan Tuhan telah dihapuskan.
C.
Fungsi
atau tempat dalam Liturgi
Dalam
perayaan Liturgi lagu ini digunakan sebagai nyanyian pembuka[5].
Sebagai nyanyian pembuka lagu ini berusaha membawa umat masuk dalam persekutuan
umat Allah untuk melaksanakan kegiatan Liturgi. Suatu lagu pembuka harus
memenuhi empat kaidah yaitu membuka Perayaan Ekaristi, membina kesatuan umat
yang berhimpun, mengantar masuk ke dalam misteri yang dirayakan dan mengiringi
perarakan masuk (bdk PUMR 47). Lagu ini dapat dikatakan memenuhi keempat kaidah
tersebut. Unsur membuka Perayaan Ekaristi tampak dalam ajakan kepada umat untuk
menghadap Tuhan. Unsur untuk membina kesatuan umat yang berhimpun tampak dalam
ajakan untuk menyatukan hati. Unsur masuk dalam misteri yang dirayakan tampak
dalam ajakan mempersiapkan diri dengan meninggalkan perasaan bimbang dan ragu.
Unsur mengiringi perarakan akan tampak ketika para pelayan liturgi berarak dan
umat menyanyikan lagu ini. Dengan demikian lagu ini sungguh memenuhi keempat
kaidah tersebut.
Letak
atau tempat lagu ini dalam perayaan liturgi hanya dapat dipakai dalam nyanyian
pembuka. Syairnya menunjukkan dengan jelas bahwa yang hendak diperlihatkan
dalam menyanyikan lagu ini ialah kemampuan lagu ini untuk mengantar umat
memasuki misteri yang akan dirayakan.
Dengan demikian lagu ini tidak dapat
dipakai pada bagian lain dalam perayaan liturgi, seperti bagian penutup.
D.
Usulan
pastoral
Dalam
memilih dan menentukan lagu yang akan dipakai dalam Perayaan liturgi, setiap
orang perlu melihat unsur-unsur dalam lagu tersebut. Apakah lagu tersebut cocok
atau tidak dipakai dalam Liturgi. Jika lagu yang dicari ialah lagu pembuka,
maka lagu tersebut harus memenuhi keempat kaidah sebagaimana dicantumkan dalam
PUMR 47. Selain itu, kata-kata atau syair dari suatu nyanyian juga harus
dilihat kesesuaiannya dengan ajaran Gereja. Dengan kata lainnya syair lagu yang
dipilih ikut memperdalam misteri iman yang akan dirayakan[6].
Adanya kesesuaian ini akan membantu umat untuk masuk dalam misteri yang
dirayakan. Hal ini perlu diperhatikan dengan baik oleh setiap orang yang
mempersiapkan lagu, sehingga pemilihan lagu tidak didasarkan pada minat atau
syair yang menarik saja. Adapun tujuan patoral nyanyian pembuka adalah mengajak
umat untuk mengarahkan perhatian pada perayaan yang akan dimulai[7].
Tujuan ini juga perlu menjadi perhatian dalam memilih suatu lagu, baik itu lagu
pembuka maupun lagu yang lain dalam perayaan liturgi. Jangan sampai lagu yang
dipakai justru mengaburkan perhatian umat. Untuk dapat mengarahkan perhatian
umat ini, petugas liturgi khususnya dirigen dan organis perlu mengadakan
persiapan yang sungguh matang dengan mempelajari teks lagu yang akan dipakai
dalam perayaan liturgi.
Jika
lagu ini dipakai dalam parayaan liturgi, maka orang membutuhkan pemusik yang
baik sehingga lagu ini dapat dibawakan dengan baik. Pemusik yang paling baik
adalah pemusik yang mampu menangkap gaya musik yang dapatt memperindah doa,
yang dapat membantu jemaat dalam seni bersuara dan yang dapat membantu
kata-kata serta lagu liturgi merentang sampai ke hidup sehari-hari jemaat[8].
Tentu saja hal ini membutuhkan keahlian khusus dari pemusik. Oleh karena itu
dibutuhkan latihan yang serius dari seorang pemusik, bukan tiba masa baru
melatih lagu yang hendak dipakai.
Musik
sendiri merupakan sarana untuk memuliakan Allah dan menguduskan umat beriman
(bdk. SC 112). Sebagai sarana, musik dalam perayaan liturgi harus menampakkan
bahwa umat beriman memuliakan Allah, bukan menjadi ajang untuk memperlihatkan
diri sebagai orang yang pandai bernyanyi. Selain itu, musik yang ada harus
mampu mengajak umat untuk berperan serta secara sadar, aktif dan penuh dalam
perayaan liturgi (bdk. SC 14). Musik hendaknya membantu umat untuk
mengungkapkan dan membagikan karunia iman yang terkandung di dalamnya. Musik
hendaknya menguatkan iman jemaat. Musik haruslah menunjang syair sehingga
setiap kata berbicara lebih mantap dan menyentuh. Hanya musiklah yang mampu
meningkatkan mutu sukacita dan gairah jemaat yang beribadat. Musik
membangkitkan rasa kebersamaan di kalangan jemaat, dan menciptakan suasana yang
cocok untuk perayaan tertentu... musik juga menyingkap makna dan rasa, ide dan
intuisi, yang tidak dapat diungkap melulu dengan kata[9].
Dalam hal ini kita dapat melihat bahwa betapa penting peran musik dalam
berliturgi. Terdapat berbagai hal yang perlu diperhatikan sehingga musik yang
dipakai dalam perayaan liturgi sungguh melayani umat, bukan dipakai asal-asalan
saja atau secara serapangan saja. Akhirnya dalam berpastoral tentang musik
liturgi yang perlu diperhatikan ialah kaidah musik liturgi dan persiapan
sebelum membawakan suatu nyanyian dalam perayaan liturgi.
E.
Daftar
Rujukan
Da Cunha, Bosco,
2012
EKARISTI Memahami Misa Kudus Demi
Penghayatan yang Utuh, Obor, Jakarta.
Huck,
Gabe,
2001 Liturgi
yang Anggun dan Menawan, Kanisius, Yogyakarta.
Komisi Liturgi KWI,
2003
Perayaan Ekaristi: Upaya untuk
Paham dan Perampil Berekaristi, Nusa Indah, Ende.
Lukasik, A.,
1991 Memahami Perayaan Ekaristi, Kanisius, Yogyakarta.
Martasudjita,
E.- Kristanto, J.,
2000 Musik dan Nyanyian Liturgi, Kanisius, Yogyakarta.
O’
Collins, G.- Edward, G. F,
1996 Kamus Teologi, Kanisius, Yogyakarta.
Pusat Musik Liturgi,
2007 Madah
Bakti, Bina Putera, Semarang.
Suryanugraha, C.H.,
2003 Lakukanlah
Ini Sekitar Misa Kita, Sangkris, Bandung.
[1] Bdk. C.H. Suryanugraha, Lakukanlah Ini Sekitar Misa Kita,
Sangkris, Bandung 2003, 14-15.
[2] A. Lukasik, Memahami Perayaan Ekaristi, Kanisius,
Yogyakarta 1991, 11.
[3]Gerald O’ Collins &
Edward G. F, Kamus Teologi, Kanisius,
Yogyakarta 1996, 41.
[4] Komisi Liturgi KWI, Perayaan Ekaristi: Upaya untuk Paham dan
Perampil Berekaristi, Nusa Indah, Ende 2003, 20.
[5] Pusat Musik Liturgi, Madah Bakti, Bina Putera, Semarang 2007,
355.
[6] Bdk. E. Martasudjita &
J Kristanto, Musik dan Nyanyian Liturgi,
Kanisius, Yogyakarta 2000, 19.
[7] Bosco da Cunha, EKARISTI Memahami Misa Kudus Demi
Penghayatan yang Utuh, Obor, Jakarta 2012, 22.
[9] Lih. Gabe Huck, Liturgi yang Anggun dan Menawan, 50-51.
Komentar
Posting Komentar