ALAM PIKIR BUDDHA

ALAM PIKIR BUDDHA

1.      Pandangan tentang ‘Ada Tertinggi’
Dalam pandangan Buddhisme, pandangan tentang ‘ada tertinggi’ tidak begitu didalami. Hal ini kemudian menyulitkan untuk berbicara mengenai ‘ada tertinggi’. Ajaran dalam Buddhisme tidak membahas tentang ‘ada tertinggi’ bukan karena penganutnya tidak percaya terhadap keyakinan itu, melainkan mereka memilih untuk tidak berbicara mengenai hal itu. Bagi mereka, berbicara mengenai ‘ada tertinggi’ itu abstrak sehingga mereka memilih untuk tidak membicarakan hal itu. Disinilah salah satu perbedaan Buddhisme  dengan agama lain itu. Dalam hal ini buddhisme dapat dikatakan sebagai golongan  non-theis, bukan atheis.
Buddhisme itu lahir dari pengalaman batin seorang pertapa yang independen, sehingga tidak ada campur tangan kekuatan lain yang lebih berkuasa. Pertapa itu ialah Sang Buddha. Dalam proses pertapaannya, Sang Buddha berusaha untuk mencari pencerahan atas dasar kesadaran. Pencarian itu sampai pada kepenuhannya ketika Sang Buddha sampai pada pengalaman spiritual di bawah pohon bodhi. Pencapain kepenuhan itu diperoleh karena Sang Buddha menjadikan batin dan jasmani sebagai objek kajian. Kedua hal tersebut dikaji secara sendiri atas dasar kesadaran.[1]
Pembahasan mengenai ‘ada yang tertinggi’ ini sebaiknya tidak dilihat sebagai suatu kekuatan yang berada di luar diri (transenden) sebagaimana yang dipahami oleh penganut agama lain. ‘Ada yang tertinggi’ itu sebaiknya dipahami sebagai usaha pribadi dalam menerapkan dhamma (dokrin) dan vinaya (disiplin) seperti yang telah diungkapkan oleh Sang Buddha sendiri. Dengan melihat ‘ada yang tertinggi’ itu sebagai usaha pribadi yang ditempuh melalui penghayatan doktrin dan disiplin, orang akan sampai pada pencerahan. Akan tetapi, perlu diingat bahwa penghayatan itu harus selalu didasari oleh kesadaran individu, sehingga usaha individu menjadi semakin bermakna dan berdaya guna. Man is his own master, and there is no higher being or power that sits in judgment over his destiny.[2]
Pemujaan yang dilakukan oleh pengikut Buddhisme sendiri bukan untuk menyembah Sang Buddha, melainkan lebih pada permohonan agar usaha dalam menerapkan dhamma dan vinaya itu dapat berjalan dengan baik. Selain itu, dalam pemujaan itu diharapkan bahwa apa yang telah diteladankan Sang Buddha untuk mencapai pencerahan bisa menjadi model bagi penganut Buddhisme. Jadi, dapat dikatakan bahwa ritual keagamaan yang dilaksanakan itu bukan untuk memperoleh kesucian, melainkan keteladanan. Dengan keteladan itu, seorang pengikut Buddhisme dapat mengamalkan dhamma dan vinaya secara baik dan benar.
The freedom of thought allowed by the Buddha is unheard of elsewhere in the history of religions. This freedom is necessary because, according to the Buddha, man's emancipation depends on his own realization of Truth, and not on the benevolent grace of a god or any external power as a reward for his obedient good behaviour.”[3]
Pencapaian pencerahan itu adalah usaha pribadi yang dilakukan melalui kesadaran akan penghayatan dhamma dan vinaya sebagaimana yang telah diteladankan oleh Sang Buddha. Dengan melakukan hal itu secara baik dan benar, seseorang itu telah menjadi ‘ada yang tertinggi’ bagi diri sendiri.
2.      Pandangan tentang Alam Semesta
Alam semesta itu diatur oleh hukum adil dan tidak berubah. Hukum itu sudah berlangsung sejak masa lampau dan akan terus berlangsung sampai pada masa yang akan datang. Orang tidak bisa mengetahui awal dan akhir dari alam semesta. Alam semesta itu tidak tercipta oleh manusia karena manusia adalah bagian dari hukum alam yang berlangsung. Oleh karena itu, alam semesta itu dilihat sebagai keseluruhan gerak yang selaras dengan suatu kesatuan di balik keanekaragaman.[4]
Alam semesta ini sangat luas dan terdiri dari banyak tata surya yang jumlahnya tidak dapat dihitung. Dari waktu ke waktu tata surya itu saling terus bergerak dan berganti. Proses pergantian itu membuat alam semesta ini terus berkembang sampai sekarang. Proses pergantian itu tidak dapat diketahui karena hal itu merupakan bagian dari hukum alam.

The Buddhist cosmology talks of 10,000 world systems to say that there are innumerable solarsystems and planets. Each world system has its own 31 planes of existence. The Buddhist cosmology has even taken into account the possibility of our solar system expiring or being destroyed. If a being is in one of the first 16 planes and the world system (solar system) is destroyed for whatever reason, then that being must be reborn into a plane of existence at number 17 or higher. If this being does not get reborn to plane 17 or higher, then that being is reborn in a different world system. That different world system would be an alien solar system many light years from us. The Buddha stated that "the infinite world spheres are incalculable"[5]

Teknik atau cara memahami alam semesta dalam Buddhisme dilakukan melalui meditasi. Setiap orang dapat memahami alam semesta melalui meditasi. Dalam meditasi ini yang dilakukan ialah menenangkan pikiran dengan memusatkannya pada nafas. Dengan melakukan hal ini secara berulang-ulang, orang akan masuk ke dalam ketenangan. Ketenangan inilah yang membawa orang pada masa lampu, sehingga orang tersebut dapat memahami atau berbicara tentang alam semesta.[6] Dari penjelasan singkat ini, tampak bahwa Buddhisme tidak menggunakan teknik ilmiah. Oleh karena itu, untuk membuktikan pandangan itu secara empiris agak sedikit sulit. Selain itu, titik pemahaman alam semesta inilah yang membedakan pandangan Buddhisme dengan ilmu astronomi. Jika dalam ilmu astronomi pandangan alam semesta berusaha dijelaskan memakai teknik ilmiah, dalam pandangan Buddhisme yang digunakan ialah meditasi. Jadi, perbedaan dalam memahami alam semesta antara Buddhisme dan Astronomi haruslah dilihat secara berbeda karena titik tolaknya berbeda. Dengan kata lain, kedua pandangan tersebut jangan dipertentangkan.






3.      Pandangan tentang Manusia dan Ciptaan lain
Manusia dalam perspektif buddhisme adalah kumpulan dari energi fisik dan mental yang selalu berada dalam keadaan bergerak. Manusia memiliki lima aspek yaitu fisik, perasaan, pengertian atau penyerapan, dorongan bertindak dan kesadaran. Kelima aspek inilah yang menjadi penggerak bagi manusia.[7] Dalam kehidupan sehari-hari manusia dapat melakukan aktivitas karena kelima aspek tersebut. Manusia memiliki fisik yang dipakai untuk bekerja, manusia memiliki perasaan yang dapat meungkapkan isi hatinya, manusia memiliki pengertian atau penyerapan untuk menanggapi segala sesuatu yang berasal dari luar dirinya, manusia memiliki dorongan-dorongan dari dalam diri dalam melakukan suatu aktivitas, manusia memiliki kesadaran untuk bereaksi secara positif terhadap aktivitas yang dilakukan. Dengan demikian, segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia itu berasal dari lima hal tersebut.
Sumber utama dari penderitaan dalam diri manusia itu ialah keinginan. Keberadaan keinginan itu membuat manusia memunculkan sifat mementingkan diri (samudaya). Akibatnya segala tindakan dan perilaku itu lebih diarahkan kepada diri sendiri. Sifat ini kemudian menjadikan kehidupan itu ‘kotor’. Dalam hal ini kehidupan itu kemudian dipandang sebagai suatu kesukaran dan penuh dengan pertentangan (dukka). Untuk membersihkan ‘kotoran’ itu manusia membina kesadaran dalam melakukan setiap kegiatan. Dengan melakukan segala segala sesuatu atas kesadaran manusia dapat dibebaskan dari lingkaran yang membelenggu dirinya.
Manusia dan ciptaan lain itu tidak memiliki roh yang bersifat abadi. Pandangan ini disebut sebagai anatta. Dalam pandangan ini dikemukakan bahwa roh yang bersifat kekal atau abadi itu hanyalah khayalan belaka. There is no permanent, unchanging entity or substance like Self or Soul (atman).[8] Kepercayaan atas hal itu tidak didasari oleh suatu kebenaran. Kepercayaan akan hal itu membuat orang cenderung menutupi diri dari kenyataan bahwa dalam diri manusia itu terdapat berbagai hal yang bersifat negatif. Dalam hal ini, kepercayaan itu dapat menghalangi manusia dalam menemukan pencerahan sebagai titik akhir yang dituju sebagaimana yang telah diperlihatkan oleh Sang Buddha.
Tujuan akhir dari kehidupan manusia itu ialah mencapai pencerahan atau nibanna. Nibanna itu bukan benda atau kekuatan dan juga tidak terbatas pada ruang dan waktu. Oleh karena itu, nibbana ini tidak dapat dilukiskan, dipikirkan ataupun dipahami oleh pikiran manusia. Nibanna hanya dapat diketahui melalui pengalaman langsung yang dikenal sebagai akhir dari seluruh penderitaan (dukka).[9] Pencapaian terhadap nibbana ini ditandai dengan ketiadaan keinginan, harapan dan pikiran akan kelangsungan hidup. Tahap ini membuat manusia tidak lagi memiliki keinginan (nafsu-nafsu kotor). Segala sesuatu yang ada pada manusia sudah terlepas dari ikatan dunia ini. “All Buddhas say nibbāna is the supreme thing.” Supreme thing means “the ultimate and highest good for humanity.”[10]



4.      Pandangan tentang Hidup Sosial dan Politik
Salah satu ajaran utama yang paling penting dalam Buddhisme ialah jalan mulia yang berunsur delapan. Jalan itu merupakan suatu cara menuju kebahagiaan yang sejati. Jalan tersebut memliki delapan unsur yaitu kelompok kebijaksaan atau panna (pandangan benar dan pikiran benar), kelompok moralitas atau sila (ucapan benar, perbuatan benar dan penghidupan benar), kelompok konsentrasi atau samadhi (daya upaya benar, perhatian/perenungan benar dan konsentrasi benar).[11] Masing-masing unsur tersebut tidak berdiri sendiri. Semuanya saling terkait seperti jaring laba-laba. Semua unsur tersebut merupakan satu kesatuan yang harus dilakukan secara baik sebagai usaha mencapai pencerahan.
Dalam kehidupan sosial dan politik, delapan jalan kebenaran itu merupakan penuntun untuk bertindak dan berperilaku. Masing-masing jalan memiliki makna yang bertujuan untuk menghantar orang pada pencerahan. Semua jalan itu dilakukan atas kesadaran, sehingga segala sesuatu yang terjadi dapat membawa atau mengarahkan orang pada kebaikan. Dari kedelapan jalan tersebut yang paling berkaitan langsung dengan hidup sosial politik ialah penghidupan benar, perbuatan benar dan usaha benar.
Penghidupan benar merupakan wujud dari pikiran, perbuatan dan ucapan benar yang diterapkan dalam hidup bermasyarakat. Dengan kata lain, penghidupan benar itu ialah penghidupan yang meninggalkan ‘Penghidupan Salah’, dan mempertahankan penghidupannya dengan hal-hal yang benar. Dalam hal ini ada dua aspek yang perlu diperhatikan yaitu aspek diri sendiri dan aspek sosial. Aspek diri sendiri itu mencakup niat/pikiran perbuatan dan ucapan seseorang, sedangkan aspek sosial itu mencakup pertimbangan terhadap konsekuensi atau akibat yang dapat muncul terhadap orang lain ketika melakukan suatu tindakan. Apabila seorang melakukan penghidupan tanpa mempertimbangkan dampak terhadap orang lain maka dunia akan dipenuhi dengan kekacauan. Oleh karena itu, dasar untuk mengetahui perbuatan itu benar atau salah bersumber dari pandangan benar.[12]
Perbuatan benar (samma kammanta) merupakan tindakan yang berkaitan dengan badan jasmani. Tindakan-tindakan itu meliputi menghindari pembunuhan makhluk hidup, menghindari pengambilan barang yang tidak diberikan dan menghindari seksual yang salah. Pada dasarnya esensi dari perbuatan benar ialah selama tindakan itu tidak didorong oleh keserakahan, kebencian atau ketidaktahuan.[13] Dalam kehidupan sehari-hari orang tidak akan terlepas dari tindakan atau perbuatan. Setiap perbuatan itu akan berdampak bagi orang lain, entah berdampak baik atau buruk, tergantung pada bentuk tindakan yang dilakukan oleh orang tersebut. Ukuran dampak dari tindakan atau perbuatan  yang dilakukan itu baik atau salah dapat dilihat dari manfaat. Apabila tindakan itu bermanfaat bagi sesama, perbuatan itu benar. Sebaliknya apabila tindakan itu tidak bermanfaat atau merugikan, perbuatan itu salah.
Usaha benar atau daya upaya bukanlah usaha fisik, melainkan usaha yang dilakukan oleh batin, pikiran, kesadaran. Usaha atau daya upaya selalu diperlukan dalam berbagai lingkup kehidupan manusia. Kedudukan usaha begitu penting karena setiap orang berupaya untuk kebebasan dirinya sendiri. Selain itu, usaha juga merupakan suatu bentuk penghormatan terhadap Buddha. Usaha yang benar akan membawa konsentrasi selalu hidup. Dengan demikian pikiran dapat diarahkan ke dalam hal-hal yang baik.[14]
Dalam kehidupan bermasyarakat, setiap orang dituntut untuk memiliki karuna (compassion) yaitu kemampuan untuk merasakan penderitaan atas rasa sakit orang lain sebagaimana hal itu merupakan bagian dari pengalaman diri sendiri. Dalam diri setiap makhluk sudah terdapat kemampuan untuk berbuat demikian. Kemampuan itu akan berkembang melalui kesadaran. Setiap orang perlu menyadari kemampuan itu dan melakukan setiap kegiatan dengan kesadaran agar tindakan itu dapat bermakna bagi orang lain. Pada dasarnya refleksi terdahap kehidupan sendiri akan menghasilkan kemampuan untuk berbuat kasih terhadap sesama.

It is compassion that removes the heavy bar, opens the door freedom, makes the narrow heart as wide as the world. Compassion takes away from the heart the inert weigh, the paralysing heaviness; it gives wings to those who cling to the lowlands of self. Through compassion the fact of suffering remains vividly present to our mind, even at times when we personally are free from it. It gives us the rich experience of suffering, thus strengthening us to meet it prepared, when it does befall us. Commpassion reconciles us to our own destiny by showing us the life of others, often much harder than ours.[15]

Setiap hari orang dianjurkan untuk menerapkan karuna dengan meneladani Sang Buddha. Usaha untuk menerapkan karuna itu dibangun melalui hidup sederhana dan menerapkan aturan moral (sila) serta berbagi apa yang dimiliki demi kehagiaan makhluk lain. Kemampuan untuk melakukan hal ini selalu berasal dari dalam diri. Diperlukan pengendalian diri yang baik agar orang dapat menerapkan dan menghidupi karuna. Pengendalian diri yang dimaksudkan ialah berusaha untuk mengurangi pikiran-pikiran negatif kemudian menumbuhkan pikiran-pikiran positif yang dapat mengembangkan diri.
Hukum timbal-balik atau sebab-akibat menjadi sangat penting dalam kehidupan bersama ini. Melalui hukum tersebut, orang dapat menyadari kehidupan di dunia ini. Dalam hukum ini dipahami bahwa sifat mementingkan diri sendiri akan menimbulkan penderitaan pada diri sendiri. Sebaliknya, cinta kasih (karuna) akan menciptakan kebahagiaan yang sempurna bagi individu yaitu pencapaian pencerahan atau nibbana. Setiap orang dapat mencapai pecerahan  atau nibanna. Pencapaian terhadap nibanna dapat dialami, baik saat masih hidup maupun saat telah meninggal.[16] Jadi, setiap orang bertanggung jawab terhadap perbuatannya masing-masing.





DAFTAR PUSTAKA
 Bhikkhu, Buddhadasa,

1988    Buddha-Dhamma For Students, The Dhamma & Practice Group, Bangkok.

1990    The Buddha’s Doctrine of Anatta, Vuddhidamma Fund, Bangkok.

Burns, Douglas M.,

1982    BUDDHA DHAMMA versus DOGMA, diterjemahkan dari Buddhism, oleh Upasaka Sumana, Yayasan Dhammadipa Arama, Jakarta.

Bodhi, Bhikkhu,

2000    the VISION of DHAMMA, BPS Pariyati Editions, Canada.

Chandra, Fabian H.,

2012    Kosmologi Buddhis, Dhamma Cita Press, Perak.

Keene, Michael,

2006    Agama-Agama Dunia, Kanisius, Yogyakarta.

Santina, Peter D., 

1984    Fundamentals of Buddhism, Buddha Dharma Education Association Inc., Srilangka.

Snyder, David N.,

2006    The Complete Book of Buddha’s List-Explained, Vipassana Foundation, Las Vegas.

Sri Rahula, Walpola,

1995    What the Buddha Taught, Grove Press, New York.

Sutrisno, Mudji,

2002    Zen Buddhis: Ketimuran dan Paradoks Spiritualitas, Obor, Jakarta.

Wijaya, Willy Yandi,

2011    Perbuatan Benar, Vidyasena Production, Yogyakarta.

2012    Penghidupan Benar, Vidyasena Production, Yogyakarta.

2014    Usaha Benar, Vidyasena Production, Yogyakarta.





[1] Bdk. Michael Keene, Agama-Agama Dunia, Kanisius, Yogyakarta 2006, 68-69.
[2] Walpola Sri Rahula, What the Buddha Taught, Grove Press, New York 1995, 1.
[3] Walpola Sri Rahula, What the Buddha Taught, 2.
[4] Douglas M. Burns, BUDDHA DHAMMA versus DOGMA, diterjemahkan dari Buddhism, oleh Upasaka Sumana, Yayasan Dhammadipa Arama, Jakarta 1982, 7.
[5] David N. Snyder, The Complete Book of Buddha’s List-Explained, Vipassana Foundation, Las Vegas 2006, 67.
[6] Fabian H. Chandra, Kosmologi Buddhis, Dhamma Cita Press, Perak 2012, 131.

[7] Bdk. Dr. Mudji Sutrisno, Zen Buddhis: Ketimuran dan Paradoks Spiritualitas, Obor, Jakarta 2002, 15.
[8] Buddhadasa Bhikkhu, The Buddha’s Doctrine of Anatta, Vuddhidamma Fund, Bangkok 1990, 43.
[9] Bdk. Douglas M. Burns, BUDDHA DHAMMA versus DOGMA, 4.
[10] Buddhadasa Bhikkhu, Buddha-Dhamma For Students, The Dhamma & Practice Group, Bangkok 1988, 40.
[11] Bdk. Dr. Peter D. Santina,  Fundamentals of Buddhism, Buddha Dharma Education Association Inc., Srilangka 1984, 47.
[12] Bdk.  Willy Yandi Wijaya, Penghidupan Benar, Vidyasena Production, Yogyakarta 2012, 9-11.
[13] Willy Yandi Wijaya, Perbuatan Benar, Vidyasena Production, Yogyakarta 2011, 6.
[14] Willy Yandi Wijaya, Usaha Benar, Vidyasena Production, Yogyakarta 2014, 17-19.
[15] Bhikkhu Bodhi, the VISION of DHAMMA, BPS Pariyati Editions, Canada 2000, 264.
[16] Peter D. Santina,  Fundamentals of Buddhism, 133-134.

Komentar

Postingan Populer